"Nggak ada. Dekat kok,Pak. Setelah naik, itu belok sedikit, terus di turunan sudah sampai di masjid!"
Suamiku terdiam. Mengukur kekuatan mobil sampai ke atas dengan kemiringan di atas 45 derajad.
"Kalau tempat kemah masih jauh, Bu?"
"Itu naik, terus saja ikuti jalan. Sampai di palang, masih terus. Pokoknya paling atas sampai aspal terakhir!"
Wajah suamiku memucat, dan seperti biasanya menyalahkan aku.
"Ini gara-gara menuruti kamu!" Katanya marah setengah putus asa. Aku hanya melongo, dan nyaris ikut terbawa emosi. Menuruti apa dan yang mana? Bisikku dalam hati.Â
Tapi aku diam saja, dan ikut masuk ke mobil untuk melanjutkan perjalanan meski sambil was-was. Sepertinya diam dan berdoa adalah langkah paling bijak bagiku.
Alhamdulillah tanjakan bisa dilalui dengan mulus, tapi masjid yang kami cari tidak kelihatan. Jalan mulai sepi dan gelap seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, sementara kami sama sekali tidak paham medan dan tidak tahu tujuan yang tepat. Bulu kuduk mulai meremang.
Mobil melaju pelan. Akhirnya sampai di palang yang sepertinya portal masuk ke suatu wilayah. Karena cuma terbuka separuh, suamiku mengarahkan mobil berbelok ke tempat yang cukup lapang, tapi suasana sangat sepi. Sepi sekali tidak ada yang bisa ditanyai.
 Sementara suara panduan google maps yang menyuruh berbelok membuat kami semakin panik. Dalam gelap, susah membedakan antara jalan atau tanah kosong, bahkan jurang.
Di depan ada lampu-lampu hias mirip perkampungan. Tapi sepi sekali, nyaris tidak ada suara manusia. Seperti perkampungan mati.