Nggak nyaman sekali rasanya menjadi beban orang lain. Tapi ternyata stamina saya tidak sekuat yang muda-muda. Saya hanya melangkah pelan.
Anggap saja Mindful climbing. Mendaki penuh perasaan dan pemikiran. Alon-alon waton kelakon. Ah...ngeles saja si emak ini. Hiks...
Semakin lama kaki terasa berat untuk melangkah, sementara lutut dan tumit menjerit -jerit. Eh...memang bisa?
Hari semakin siang, sementara hasrat untuk menjemput sunrise semakin pudar. Akhirnya kita meminta Mas Hendrik, Mbak Lutfi dan Dek Wawa duluan.
Mereka betul-betul keluarga pecinta alam. Kalau Dek Wawa capek, Mas Hendrik dan Mbak Lutfi bergantian menggendong Wawa dan menggendong tas punggung.
Semakin lama mereka semakin jauh dan tak terlihat. Sementara saya masih saja jalan naik pelan-pelan. Bahkan mulai merangkak. Sepertinya suami sudah tak sabar.Â
Saat sudah terdengar keramaian, tanda puncak sudah semakin dekat, saya meminta suami duluan. Insyaallah saya menyusul.
Saat melangkah sendiri, saya justru melangkah lebih pelan dan hati-hati. Apalagi mendekati puncak,jalur semakin terjal menanjak, sehingga saya lebih banyak merangkak naik.Â
Sampai di sebuah batu besar dan Medan datar agak luas, saya berhenti untuk menyambut sang Surya yang telah bangun sejak tadi.
Setelah nafas kembali normal, saya melanjutkan perjalanan. Suasana mulai terang dalam kesegaran pagi. Bayang-bayang rumput yang gelap kini terlihat hijau.