Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Perjuangan Mencapai Puncak Cumbri dan Akses Internet yang "Waswuswes"

26 Februari 2024   12:17 Diperbarui: 27 Februari 2024   00:09 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di puncak Cumbri 638 dpl, bersama Mas Hendrik, Mbak Lutfi dan Si kecil Wawa (dokpri)

Pernah mendengar Bukit Cumbri? Mungkin ada beberapa ulasan yang bisa dibaca di internet dengan foto-foto yang menakjubkan. Dengan perkembangan internet cepat, semua informasi bisa diakses dengan mudah dan cepat.

Tapi mungkin masih jarang yang tahu kalau di basecamp bukit Cumbri tersedia hotspot dengan wifi gratis yang passwordnya dibagikan bebas pada semua pengguna internet. Dengan begitu, internet cepat bisa dinikmati sekalipun di tempat yang jauh dari keramaian seperti di basecamp bukit Cumbri.

Jika dalam banyak ulasan terdapat foto-foto yang menakjubkan, saya lebih suka menyajikan ulasan wajar yang bisa dinikmati apa adanya, agar siapapun yang berminat mendaki gunung Cumbri bisa mendapatkan gambaran nyata tanpa rekayasa. Apalagi dengan adanya internet cepat, semua informasi bisa langsung dibagikan live. 

Suasana bakda subuh di dusun Temon, Desa Pagerukir, Kecamatan Sampung, Ponorogo (dokpri)
Suasana bakda subuh di dusun Temon, Desa Pagerukir, Kecamatan Sampung, Ponorogo (dokpri)

Sebenarnya saya baru kali ini berkunjung ke bukit Cumbri. Suasana di sana belum ada gambaran sama sekali kecuali referensi yang serba sedikit dari beberapa artikel yang saya baca dari internet.

Perjalanan saya ke bukit Cumbri karena diajak suami yang mendampingi giat pecinta alam PPA Smando Pala, kegiatan ekskul di SMAN Dolopo.

Saya dan suami menumpang mobil Mas Hendrik yang berangkat bersama keluarga.

Sampai di Desa Pagerukir sudah masuk waktu Maghrib. Di basecamp Pagerukir ini terdapat mushalla yang langsung bisa dimanfaatkan untuk menunaikan shalat Maghrib dan isya.

"Ada Wifi-nya, passwordnya "Ponorogo hebat!" 

Mbak Lutfi berbisik padaku. Aku langsung mengecek koneksi internet di hape. Untuk masuk blog dan membuka situs memang agak susah. Tapi kalau sekedar buka WA masih lancar. 

Saya lihat sinyal memang tidak terlalu bagus. Tadinya tidak bermaksud memanfaatkan wifi gratis, karena paket internet jarang saya gunakan. Di rumah biasa pakai wifi. Kalau keluar, baru paket data saya pakai. Tapi ternyata sulit dan lemot untuk mengakses Kompasiana. Kebetulan hari itu saya belum memposting artikel.

Akhirnya saya buka wifi yang tersedia, dan benar saja, akses internet menjadi mudah dan cepat. Bahkan Waswuswes. Akses internet cepat yang sangat membantu dan bermanfaat. Betul-betul "Ponorogo hebat" password-nya. Hihihi....

Sebenarnya ada 2 jalur yang bisa dilalui untuk mendaki bukit Cumbri, yaitu:

1. Dari Desa Kepyar, Purwantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Jalur ini lebih mudah dilalui, tapi lebih jauh dan lama sekitar 1-2 jam pendakian untuk mencapai puncak.

2. Dari Desa Pagerukir, Sampung, Ponorogo,Jawa Timur. Jalur ini lebih cepat, tapi trek pendakian lebih terjal dan menanjak. Waktu pendakian lebih singkat sekitar 30 menit.

Saya mengikuti suami dalam kegiatan PPA Smando Pala yang memilih jalur Pagerukir, Sampung, Ponorogo.

Malamnya, suami saya  dan Mas Hendrik ikut memandu dan memberangkatkan peserta inagurasi dan pengambilan scarf angkatan ke-35 PPA Smandopala. Tapi tidak ikut sampai puncak, balik ke basecamp dan beristirahat bersama saya, Mbak Lutfi dan Si kecil Wawa 

Bakda subuh telah tiba di Pagerukir (dokpri)
Bakda subuh telah tiba di Pagerukir (dokpri)

Tak terasa subuh telah tiba. Setelah menunaikan shalat subuh dan mempersiapkan perbekalan pendakian, kami siap-siap mendaki ke puncak Cumbri.

Karena sudah mengumpulkan informasi tentang pendakian dan waktu tempuh, saya berniat ikut mendaki. 

Rata-rata yang saya tanya mengatakan lokasinya dekat. Tapi kalau mendengar waktu tempuh yang setengah jam, itu seperti nya lumayan jauh. Apalagi medannya terus naik.

Tapi Mbak Lutfi dan Dek Wawa ikut juga, jadi saya juga ikut. Nggak asyik kan kalau sudah sampai sini cuma numpang makan dan tidur tanpa kegiatan berarti?

Akhirnya bismillah saja kita berangkat.

Masuk gerbang bambu, jalan mulai menanjak meski jalan setapak sudah terkondisikan.

Baru jalan naik beberapa langkah, nafas saya sudah memburu. Kaki mulai ngilu. Diam-diam saya berdoa agar dikuatkan. Eh..cengeng ya. Baru segitu saja sudah mohon pertolongan. Hehehe..

Sementara di atas Dek Wawa melangkah riang bersama Ayah dan mamahnya. Ayuk semangat...

Jadi semangat lagi deh.

"Ayuk cepat. Nanti nggak kebagian sunrise!" suami ikut menyemangati.

Perjalanan berlanjut. Nafas semakin memburu dan tak terkontrol. Megap-megap sendiri. Sementara tenggorokan seperti tercekik.

"Yowes, istirahat dulu!" kata suamiku.

"Kalau capek istirahat dulu, Bu. Jangan dipaksa," kata Mas Hendrik. Sementara Mbak Lutfi dan Dek Wawa masih segar bugar.

Saya istirahat sejenak dan minum 2 teguk air. Setelah agak nyaman, kita lanjut mendaki. Batuan dan tanah sedikit basah sebenarnya  nyaman untuk dilewati. 

Tapi jika undak-undakan terlalu lebar, kaki saya yang pendek susah menjangkau trap berikutnya, sehingga terpaksa minta tolong suami dan Mas Hendrik.

Nggak nyaman sekali rasanya menjadi beban orang lain. Tapi ternyata stamina saya tidak sekuat yang muda-muda. Saya hanya melangkah pelan.

Anggap saja Mindful climbing. Mendaki penuh perasaan dan pemikiran. Alon-alon waton kelakon. Ah...ngeles saja si emak ini. Hiks...

Semakin lama kaki terasa berat untuk melangkah, sementara lutut dan tumit menjerit -jerit. Eh...memang bisa?

Hari semakin siang, sementara hasrat untuk menjemput sunrise semakin pudar. Akhirnya kita meminta Mas Hendrik, Mbak Lutfi dan Dek Wawa duluan.

Mereka betul-betul keluarga pecinta alam. Kalau Dek Wawa capek, Mas Hendrik dan Mbak Lutfi bergantian menggendong Wawa dan menggendong tas punggung.

Semakin lama mereka semakin jauh dan tak terlihat. Sementara saya masih saja jalan naik pelan-pelan. Bahkan mulai merangkak. Sepertinya suami sudah tak sabar. 

Saat sudah terdengar keramaian, tanda puncak sudah semakin dekat, saya meminta suami duluan. Insyaallah saya menyusul.

Saat melangkah sendiri, saya justru melangkah lebih pelan dan hati-hati. Apalagi mendekati puncak,jalur semakin terjal menanjak, sehingga saya lebih banyak merangkak naik. 

Sampai di sebuah batu besar dan Medan datar agak luas, saya berhenti untuk menyambut sang Surya yang telah bangun sejak tadi.

Memotret sunrise sambil istirahat sejenak di batu besar(dokpri)
Memotret sunrise sambil istirahat sejenak di batu besar(dokpri)

Setelah nafas kembali normal, saya melanjutkan perjalanan. Suasana mulai terang dalam kesegaran pagi. Bayang-bayang rumput yang gelap kini terlihat hijau.

Suara keramaian semakin jelas. Banyak rombongan pendaki lain yang sudah sampai di atas saya.

Rumput hijau, dan rombongan pendaki lain terlihat jelas (dokpri)
Rumput hijau, dan rombongan pendaki lain terlihat jelas (dokpri)

Saya berjalan santai sambil merangkak. Baju dan celana saya rata basah kuyup mandi keringat. Mungkin yang tidak tahu saya seperti baru saja melampaui hujan lebat, padahal baju dan celana saya basah oleh keringat. Anggap saja pertanda sehat. Eh...

Meski suara keramaian sudah jelas, ternyata puncak masih jauh. Sabar....(dokpri)
Meski suara keramaian sudah jelas, ternyata puncak masih jauh. Sabar....(dokpri)

Tadi suara keramaian sudah terdengar jelas, tapi kenapa puncak masih jauh dan tinggi? Sementara kaki semakin berat melangkah.

Kuat...kuat...kuat! Sehat... sehat ...sehat! Menyemangati diri sendiri. Ayo...kamu pasti bisa!

Akhirnya.... Alhamdulillah sampai juga. Suami sudah sibuk selfa Selfi dan memberi arahan pada para peserta inagurasi yang sudah berhasil mendapatkan scarf. 

Saya ikut sibuk foto sana sini. Memfoto orang, belum bisa Selfi 

Dari puncak Cumbri 638 dpl, memandang ke barat terlihat kabupaten Wonogiri (dokpri)
Dari puncak Cumbri 638 dpl, memandang ke barat terlihat kabupaten Wonogiri (dokpri)

Peserta membawa kardus berisi sampah agar puncak Cumbri tetap bersih (dokpri)
Peserta membawa kardus berisi sampah agar puncak Cumbri tetap bersih (dokpri)

Tak lupa, panitia meminta para peserta memunguti sampah tak terurai seperti plastik pembungkus dan botol minuman agar bukit kembali bersih.

Saya asyik foto sana sini. Terlihat Mas Hendrik, Mbak Lutfi, dan Si kecil Wawa asyik berfoto di dekat tebing.

Saya tak melewatkan pemandangan ini untuk memfoto mereka. Keluarga pecinta alam yang telah berhasil mencapai puncak Cumbri bersama -sama.

Keluarga pecinta alam (dokpri)
Keluarga pecinta alam (dokpri)

Selain di puncak Cumbri yang lapang dan relatif datar ini, masih ada 2 puncak lagi yang bisa dicapai kalau belum puas.

Dalam penunjuk papan tertulis puncak watumul +-136 m.

Puncak Watumul +-136 m dpl(dokpri)
Puncak Watumul +-136 m dpl(dokpri)

Di puncak Cumbri ini ada 2 batu besar yang berdiri kokoh dengan sebuah celah di tengahnya. 

Banyak pendaki lelaki yang memanjat batu dan berdiri di atasnya. Tapi sejujurnya saya tidak berani. Terlalu riskan dan butuh effort yang besar untuk itu.

Tapi suami saya dan Mas Hendrik tak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka berfoto bersama di atas batu puncak Cumbri.

Suami saya dan Mas Hendrik di puncak watumul, bukit Cumbri (dokpri)
Suami saya dan Mas Hendrik di puncak watumul, bukit Cumbri (dokpri)

Sementara di sisi Utara arah barat, juga terdapat puncak dengan vegetasi hijau di puncaknya. Gumpalan awan terlihat indah dan menakjubkan. Pemandangan seperti ini yang terkadang membuat puncak Cumbri juga disebut negeri di atas awan. Ciptaan Allah yang luar biasa.

Puncak Cumbri tertinggi,berasa negeri di atas awan(Dokpri)
Puncak Cumbri tertinggi,berasa negeri di atas awan(Dokpri)

Acara Inagurasi dan pengambilan scarf usai. Peserta dan panitia pamit turun. Saya, suami dan keluarga Mas Hendrik istirahat sejenak turun belakangan. Masih belum puas mengeksplor puncak Cumbri.

Mendakinya penuh perjuangan, sayang kan kalau langsung turun. Hehehe...

Cieee....Selfi nih. Iya dong. Bangga, kan? hehehe...(dokpri)
Cieee....Selfi nih. Iya dong. Bangga, kan? hehehe...(dokpri)

Mumpung sepi, bisa Selfi nih. Gaya-gaya dikit nggak ada yang lihat. Cuekin baju dan celana yang kotor basah kuyup. Yang penting sukses mencapai puncak. 

Syukur tak terkira. Untuk menyaksikan indahnya puncak yang luar biasa butuh perjalanan panjang yang tak mudah.

Foto sama suami dulu ah, sedikit pencitraan biar dianggap rukun, akur, dan harmonis. Eh...

Horray... Alhamdulillah, sampai puncak juga akhirnya (dokpri)
Horray... Alhamdulillah, sampai puncak juga akhirnya (dokpri)

Setelah puas menikmati keindahan puncak Cumbri, saatnya kembali turun ke basecamp. Matahari mulai tersenyum. Genit mencubit dengan cahaya yang terang dan hangat. Membiaskan indahnya langit.

Saat turun jalan terlihat jelas dan terasa lebih dekat. Tinggal menggelinding. Eh...

Nggak ya, justru saat turun kaki harus mencengkeram agar tidak tergelincir.

"Jalannya miring!" Ayah memberi arahan.

Eh, ternyata benar. Lebih mudah. Tapi saat melewati trap yang panjang, saya terpaksa duduk dan meluncur.

"Kotor tuh celananya. Jorok!" Kata ayah.

"Biar saja. Kotor tinggal dicuci kok repot. Berani kotor itu hebat! Hahaha... suka-suka gue lah! Eh...baru akur sudah bertengkar lagi.

Sudah ya. Selamat berjumpa lagi di next trip.

Salam.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun