"Ibu.....! " Air mataku meleleh.Â
Ada sesak di dada. Ada haru dan pilu setiap mengenang Ibu. Teringat di saat-saat terakhir, bagaimana aku membersamai Ibu.Â
Mungkin masa kecilku lebih dekat dengan bapak. Saat kecil, aku sering memasak bersama bapak. Ikut Bapak ke  Tegal memanen jeruk. Bahkan belanja ke pasar bersama bapak. Itu karena ibu mengajar jauh di Kutoarjo, jadi harus berangkat pagi-pagi, dan saat pulang sudah lelah.
Sedang kantor bapak dekat dengan rumah,jadi bisa lebih cepat berada di rumah.
Tapi sebagai anak perempuan, tetap saja aku dekat dengan Ibu juga.
Apalagi sejak bapak berpulang ke Rahmatullah 23 tahun yang lalu, tentunya Aku semakin dekat dengan Ibu.
Saat anak-anakku dewasa, aku lebih dekat dengan Ibu. Lebih sering mengunjunginya karena Ibu mulai sakit-sakitan.
Sebagai satu-satunya anak yang tidak terikat pekerjaan formal, aku lebih bebas untuk kapan saja mengunjungi dan membersamai Ibu.
Sebenarnya Ibupun tipe orang tua mandiri yang tidak suka merepotkan putra putrinya. Tapi di saat sakit, tentunya ibu butuh teman. Baik untuk menemani ngobrol, maupun membantu melakukan aktivitas di saat sakit.
Tapi saat Ibu sembuh, akupun kembali pulang karena suamikupun membutuhkan kehadiranku.
Aku sempat punya rencana, jika suami pensiun, akan pulang dan membangun rumah di dekat Ibu. Tapi ternyata Ibu lebih dulu berpulang.
Tepat setahun yang lalu, di hari Ibu adalah hari-hari kelabu.Â
Sesungguhnya kami hanya ingin membahagiakan Ibu di hari tuanya. Tapi sayangnya, kami tak bisa membersamai nya karena tinggal berjauhan.Â
Tapi setiap kali liburan dan lebaran, kami pasti menyempatkan pulang.Â
"Selamat hari Ibu. Terima kasih semuanya ya,Bu."
 Kukirim pesan WA pada ibu sambil kusematkan emoticon cinta dan buket bunga.
" Terima kasih. Selamat hari Ibu juga buat Isti. Isti juga seorang ibu kan?" Begitu jawab Ibu, yang kubaca sambil tersenyum.
Biasanya, aku langsung menelepon kalau ibu langsung membalas pesanku. Berarti beliau sedang longgar.
Menelepon ibu bisa sampai satu jam lebih. Asyik bercerita apa saja. Dari tertawa sampai prihatin. Pokoknya seru. Kadang ngegosip juga. Eh...
Tapi setahun yang lalu, tepat di hari Ibu, ibu justru sedang terbaring koma. Baru saja melakukan cuci darah yang menguras emosi.Â
Cuci darah yang membuat was-was. Karena alarm mesin sering berbunyi, sementara tekanan darah ibu sempat mencapai 280 mmhg.Â
Saat waktu cuci darah berlalu, sungguh kelegaan luar biasa bagiku, kakak dan kakak iparku. Sedikit reda ketegangan yang meliputi.
 Ibu kembali dibawa ke ruang HCU dan kami kembali ke ruang tunggu pasien yang letaknya bersebelahan.
Bahkan tepat di hari ibu setahun yang lalu, aku masih sempat menulis artikel untuk ibu saat menunggui ibu.
Tapi malamnya, aku ingat betul. Kakakku pamit pulang, karena rumah kosong dan ada yang harus dikerjakan.
Sementara kakak ipar juga pamit, karena harus menyelesaikan tugas memeriksa pekerjaan rumah murid-muridnya. Aku sendiri.
Tiba-tiba ada perawat yang memanggil keluarga pasien atas nama ibu. Aku segera berlari gugup.
Saat itu ibu terbaring lemah dengan selang oksigen dan alat pemacu detak jantung.
Sementara di monitor detak jantung ibu sudah berupa garis lurus.
Dokter dan paramedis berusaha menyelamatkan ibu, sementara aku diajak membantu berdoa, membisikkan kalimat tauhid dan toyibah di telinga ibu.
Kuucap tahlil di mulutku, sementara di hatiku memohon keselamatan untuk ibu.
"Ya, Allah. Selamatkanlah Ibu bisikku dalam hati. Sementara kalimat tahlil kubisikkan tiada putus di telinga ibu.
Akhirnya detak jantung ibu kembali, dan monitor menunjukkan angka-angka yang kembali normal.
Mata ibu masih tetap terpejam. Kondisinya sudah normal. Aku segera menelepon kakak dan kakak ipar yang baru sampai rumah langsung kembali lagi.
Setelah itu kami bersama-sama mendoakan ibu dan membaca surat Yasin.
Kakakku segera menghubungi semua adikku.
Esoknya adikku yang dari Bandung sampai ke rumah sakit dan segera mendatangi ibu.
Awalnya dokter ingin mengajak kami membicarakan kondisi ibu, tapi entah kenapa tidak jadi dan justru menghindar setiap kali kami datangi.
Kondisi ibu belum stabil, masih naik turun.
Pada hari Jumat kondisi Ibu sempat membaik, membuat kami berbesar hati atas kesembuhan ibu.
Sabtu pagi, 24 Desember 2022. Aku pulang ke rumah Ibu, sementara adik dan kakakku menunggu.
Aku membersihkan rumah ibu, dan membuat sarapan.
Tapi saat aku berusaha mengiris sayuran, tak sengaja pisau yang kugunakan mengiris jari telunjukku begitu dalam. Darah memancar deras.Â
Ya, Allah. Semoga ini bukan pertanda buruk. Aku berusaha mencari perban di kotak PPPK, tapi tak kutemukan. Sementara darah terus  mengucur.
"Assalamualaikum..!"Â
Beruntung adik dan kakakku menyusul pulang, sementara adik ipar menunggui Ibu di RS.
Kakakku memberikan tensoplast, sehingga jariku bisa kubungkus dan darahnya sedikit terhambat.
Siang, aku dan adikku kembali ke rumah sakit, dan langsung menuju ruang HCU tempat ibu terbaring. Kondisinya belum berubah. Terkadang rekaman di monitor normal dan bagus, terkadang mengkhawatirkan.
Tapi entah kenapa, saat itu aku terbatuk. Batuk yang parah dan tidak berkesudahan.Â
Aku keluar jauh ke lorong rumah sakit di depan taman yang sunyi. Tapi batukku semakin keras tak kunjung reda.
Aku sampai berkeringat dan terengah-engah. Kepalaku  menjadi pusing dan agak limbung.
Beberapa hari ini aku memang batuk. Bahkan saat tidur di lantai ruang tunggu, aku malam-malam tak bisa tidur dan terus batuk.
Akhirnya aku minta ijin kakak dan adikku untuk beristirahat di rumah saja, dan nanti sore baru kembali di rumah sakit.
Di rumah aku berusaha tidur, meski batuk tak juga reda.
Akhirnya aku tertidur juga, dan terbangun saat adikku sekeluarga datang dari Semarang sehabis ashar.
Sehabis Maghrib, aku dan adikku kembali ke rumah sakit. Sementara adik ipar dan keponakan -keponakanku ditinggal di rumah, sebab biasanya kami hanya diijinkan 2 orang untuk menunggui Ibu.
Kami langsung ke ruang HCU. Tapi pintunya dikunci. Kami hanya mengintip lewat pintu kaca.
Akhirnya pintu dibuka dan kami diijinkan masuk. Kata perawatnya, kondisi ibu sangat kritis.
Aku dan adikku membisikkan tahlil di telinga ibu. Tak lama adikku yang perempuan dan suaminya ikut masuk. Begitu juga kakakku dan istrinya.
Kami mendoakan ibu bersama -sama, dan bergantian membisikkan Kalimat tahlil La ilaha illalah  di telinga Ibu.
Entah kapan Ibu menghembuskan nafas terakhirnya, semua terjadi tanpa kami sadari karena sibuk mendoakannya.
Akhirnya dokter dan perawat menghentikan upaya kami mendoakan Ibu, dan mengabarkan berpulangnya Ibu pada pukul sesuai rekaman medis yang tertera di monitor.
Innalilahi wainailaihi roji'uun. Ibu berpulang tanpa pesan terakhir. Tapi sudah banyak pesan dan tauladan yang beliau berikan kepada kami. Lebih banyak tauladan perbuatan daripada wejangan.
Buaian kasih ibu abadi, mengalir dalam setiap urat nadi kami. Mengiringi setiap langkah dengan doa dan puasa yang dijalani ibu setiap kali kami menghadapi peristiwa penting.
Ibu, bukan drama dan kepalsuan yang beliau ajarkan. Tapi kemandirian, kekuatan, dan kasih sayang yang tak terucap, tapi bisa kami rasakan dan menyirami jiwa kami.
Ibu adalah ibu terbaik yang kami punya. Kami sangat kehilangan, tapi Ibu pasti lebih bahagia kalau kami tabah dan meneruskan cita-cita dan kebaikan yang beliau tinggalkan.Â
"Rabbighfirli Waliwalidayya Warhamhuma Kamaa Rabbayani Saghira."
 ("Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku ketika aku masih kecil.")
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H