Mohon tunggu...
Kelana Swandani
Kelana Swandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nahdlatul Ulama (NU) dan Sufi Jawa

6 Februari 2023   13:40 Diperbarui: 7 Februari 2023   00:39 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nahdlatul Ulama (NU) Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, akan memperingati usia ke-100 tahun pada 16 Rajab 1444 H atau tepat pada Selasa (7/2/2023) mendatang.

Sebagai diketahui, dalam acara Harlah NU tersebut, akan diadakan mulai pukul 00.00 WIB atau tepat dimulainya hari Selasa (7/2/2023), dan rangkaian acara itu akan berlangsung hingga malam hari lagi(suarasurabaya.net)

Sementara, di sekitar rumah saya terdengar kemeriahan anak-anak RA dan MI yang berpawai menggunakan odong-odong atau kereta kelinci,  untuk memperingati harlah NU ke-100 (seabad NU) 

Pawai anak-anak RA/MI menyambut harlah ke-100 NU (dok IYeeS) 
Pawai anak-anak RA/MI menyambut harlah ke-100 NU (dok IYeeS) 

NU adalah organisasi Islam terbesar yang tokoh-tokohnya banyak berasal dari kalangan sufi. 

Di samping itu, NU juga akrab dengan kehidupan pesantren. 

Karakter para pendakwah NU yang damai, lemah lembut, ramah, toleran dan moderat membuat organisasi ini berkembang pesat di tanah air yang terdiri dari keberagaman atau pluralisme. 

Karakter tokoh-tokoh NU yang tidak frontal, cenderung menggunakan makna kias, tidak bisa terlepas dari karakter sufi Jawa yang penuh simbol dan kiasan. 

Mereka biasa menggunakan sindiran-sindiran dan filosofi yang biasanya harus dirasakan dari hati dan olah pikir. 

Mengenai olah pikir ini, yang biasa dikiaskan dengan ngopi, juga sejalan dengan filosofi para santri tentang kopi. 

KH Saifuddin Zuhri, dalam karyanya yang berjudul "Guruku orang-orang Pesantren menyatakan, bahwa jika sesama santri saling bersilaturahmi, maka pasti akan disuguhkan kopi. 

Kopi di sini mengandung makna yang mendalam. Di samping mereka akan berbincang sambil ngopi (ngolah pikir), maka suguhan kopi juga menunjukkan kesungguhan dan kesediaan tuan rumah menerima tamu, sehingga dengan suguhan kopi, tamu akan bertahan(betah melek). Sebab salah satu karakteristik santri adalah biasa begadang mempelajari ilmu atau belajar hafalan surat-surat Al Qur'an. 

Bapak saya(saat itu beliau masih hidup) pernah bercerita tentang kisah kyai dan santrinya yang diceritakan oleh almarhum Mbah Kakung. 

Alm. Mbah Kakung, semasa mudanya pernah nyantri, atau mondok di Kediri. 

Untuk nyantri /mondok, Mbah Kakung mencapainya dengan berjalan kaki Purworejo - Kediri. 

Entah itu dilakukan karena jaman dahulu berjalan kaki ke mana saja merupakan kelaziman, atau karena sebagai seorang santri harus "nglakoni". Menempuh tirakat sebagai syarat untuk mendapatkan ilmu. 

Bahkan saudara Mbah Kakung ada juga yang sekarang mempunyai pondok di sana. Tapi sayangnya, Mbah Kakung sudah meninggal di tahun 60-an, jadi komunikasi terputus. 

Mbah Kakung bercerita, bahwa saat mondok dulu, Pak Kyai menyuruh salah satu santrinya membelikan rokok. 

"Belikan rokok!" Kata Kyai pada santrinya. 

"Uangnya mana Kyai? "

"Itu di sakumu! " Jawab Pak Kyai. 

Ternyata benar, di saku si santri betul-betul ada uang, yang segera dibelikan rokok untuk sang Kyai. 

Bahkan keajaiban berlanjut, saat sang Kyai mau menyulut rokok, ada api/ korek yang datang sendiri. 

Mungkin cerita di atas akan mendapat tanggapan beragam. 

1. Golongan radikal akan menolak mentah-mentah cerita itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebohongan. 

2. Golongan yang beriman dan patuh yang sami'na wa atho'na(mendengar dan patuh) akan percaya sepenuhnya, bahwa seorang Kyai mempunyai kharomah yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Sehingga mungkin saja keajaiban-keajaiban itu betul terjadi. 

3. Golongan cendikiawan yang percaya, tapi dengan pendapat berbeda. 

Mungkin saja si santri akan menggunakan uang pribadinya untuk membelikan sang Kyai rokok. Jadi uang yg ada di saku sebenarnya milik si santri. 

Sedang korek yang datang sendiri, merupakan upaya sang santri, atau santri lain yang akan tergerak melayani kyai nya yang sangat dihormati dengan menyediakan korek tanpa diminta. 

Begitulah Ajaran NU yang diwarnai oleh karakter sufi Jawa yang berperilaku dalam budaya yang halus dan penuh simbol. 

Jika mereka tidak suka, tidak akan menunjuk langsung pada pelaku, tapi akan menggunakan media perantara, sehingga tidak terjadi benturan frontal. 

Masih dalam buku "Guruku Orang-orang pesantren", K. H. Saifuddin Zuhri menuturkan,  suatu hari Idham Chalid datang ke Parlemen dengan membawa mobil bekas yang baru dibelinya. 

Kyai Ilyas yang baru keluar dari sidang Parlemen ingin ikut nebeng mobil "baru" Idham Chalid sampai ke rumahnya. 

Idham Chalid langsung duduk di kursi kemudi, mengemudikan sendiri mobil barunya. Padahal setahu Kyai Saifuddin, Idham Chalid belum pernah belajar menyetir mobil. 

Saat mobil keluar dari halaman Parlemen, jalannya mobil tidak lurus, tidak stabil dan rem sering diinjak tiba-tiba, lalu tiba-tiba di gas tak tanggung-tanggung. 

Kyai Ilyas melirik padaku, barangkali ingin bertanya, "kok begini nyetirnya? "

Tapi aku tak membalas lirikannya, cuma diam sambil bersholawat. Benar saja, di dekat stasiun Gambir, mobil hampir menyerempet sepeda. 

"Ya akhir, kalau ada orang jual rokok di depan, berhentilah! "

Seru Kyai Ilyas pada Idham Chalid. 

Di depan penjual rokok, Idham Chalid menghentikan mobilnya, tapi keterusan karena telat menginjak rem. 

Kyai Ilyas turun, tapi tidak membeli rokok, malah terus berjalan ke depan. 

"Ayo, naiklah! " Kenapa turun? " Tanyaku pada Kyai Ilyas. 

"Terima kasih! Jalan kaki lebih aman! " Jawab Kyai Ilyas sambil mempercepat jalannya ke arah prapatan. 

"Penakut! " Kata Idham Chalid tak merasa bersalah. 

Sedang aku tetap ikut di mobil, membiarkan Idham Chalid mengemudikan mobil semaunya. Sementara aku terus memperbanyak shalawat. 

Alhamdulillah, aku sampai ke tujuan dengan selamat, tapi kepalaku pening! 

Begitulah, tokoh-tokoh NU itu lebih banyak berkomunikasi dengan simbol. Maksud dan tujuannya harus dipikirkan sambil "ngopi".

Begitu pula dalam harlah NU ke-100 ini, Cucu ke-25 Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Muhammad Fadhil al-Jailani telah tiba di Surabaya, Jawa Timur, pada Ahad (5/2/2023).

Syeikh Fadhil menyampaikan bahwa kedatangannya ke Surabaya semata-mata untuk menghadiri dan mengambil keberkahan dari kegiatan akbar 1 Abad NU di Sidoarjo, Selasa (7/2/2023) besok. 

Ia berharap, ibunda tercinta yang tengah sakit, dan rela ditinggalkannya di Turki segera diberi kesembuhan dari berkah harlah NU yang dihadirinya. 

Selamat harlah Nahdlatul Ulama ke-100 (1 abad NU). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun