Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Nestapa di Akhir Warsa

5 Februari 2023   15:09 Diperbarui: 5 Februari 2023   20:06 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan sesekali menyiram bumi. Suhu dingin terkadang membuat menggigil. 

Ruang di ujung bangsal HCU yang dijadikan ruang tunggu terasa hening. 

Baru kemarin ibu dipindah ke HCU, setelah menjalani masa berliku di ICU dan ruang isolasi. 

Hari jumat sore Ibu masuk ICU karena batuk, sesak nafas, dan tak sadarkan diri. 

Sabtu sore aku sampai di rumah sakit. Ibu mulai siuman, meski tetap saja masih dalam pantauan di ruang ICU. 

Terkadang ibu berteriak dan ingin bangun, karena kondisi fisik ibu normal, meski pada serangan stroke sebelumnya, saraf ibu yang terkena, sehingga tidak bisa mengingat diri sendiri, juga orang lain. Ibu asyik dengan dunianya sendiri. 

Sesekali ibu terbatuk, terkadang dengan intensitas yang tinggi, membuatku khawatir akan batuknya. 

Petugas ICU menghampiriku. 

Baca juga: Ibu, Sang Notulis

"Maaf, ini hasil cek laboratorium Ibu ditemukan spot di paru-paru, jadi harus dilakukan tes PCR. Untuk itu kami memerlukan tanda tangan keluarga. Ibu putrinya? "

"Betul. Saya anak kandung ibu. Tapi sepertinya saya harus berembug dengan saudara-saudara saya, apakah setuju dilakukan tes PCR. " Jawabku. 

"Silakan.Kalau setuju, akan segera kami proses. Kalau tidak setuju, silakan pasien dibawa pulang, karena kasihan pasien lain, bisa tertular, " Kata petugas lagi. 

Akhirnya kami setuju ibu melakukan tes PCR, dengan harapan ibu bisa ditangani secara tepat, dan cepat sembuh. Apalagi di ruang isolasi ada kacanya, sehingga kami bisa tetap memantau kondisi ibu. 

Tak lama ibu dimasukkan ruang isolasi. Saat itu kondisi ibu sudah mulai membaik, hanya batuknya yang masih mengkhawatirkan. 

Tes PCR dilakukan 2 kali, pada hari senin dan selasa. Tapi hasilnya baru akan diberitahukan saat tes terakhir sudah dilaksanakan. 

Alhamdulillah, ternyata hasil PCR ibu negatif, sehingga pada hari rabu, ibu sudah bisa keluar dari ruang isolasi, dan dipindah ke ruang HCU. Sedikit lebih baik dari ruang ICU. Tapi saat itu kondisi ibu tak sadar, atau tertidur, dan tensinya kembali tinggi. Padahal sebelum masuk ruang isolasi kondisi ibu sudah membaik. 

Hari Kamis, 22 Desember adalah jadual ibu Hemodialisis, atau cuci darah. Sebelumnya, jadual ibu 2 kali seminggu. Tapi karena kondisi ginjalnya sudah membaik, bahkan dari hasil laboratorium sudah normal, jadi diubah menjadi seminggu sekali. 

Saat mau menjalani HD, tensi ibu sangat tinggi, mencapai 185/

Sangat beresiko sebenarnya. Tapi atas rekomendasi dokter dan petugas HD, cuci darah tetap dilaksanakan. 

Saat HD, kondisi ibu sempat ngedrop. Gulanya sangat rendah, sekitar 65, sehingga harus 2 kali disuntik cairan gula. Bahkan tensi ibu sempat mencapai angka 275/sekitar 150.

Saat itu saya sangat panik. Beruntung kakak sulung segera datang, paling tidak ada teman untuk berbagi rasa. 

Berkali-kali saya mengungkapkan kekhawatiran pada petugas HD yang saat itu cuma berdua  atau bertiga karena banyak yang cuti akhir tahun. Sementara berkali-kali alarm mesin HD banyak yang berbunyi, baik punya ibu, atau pasien lain. 

Dalam suasana mencekam, akhirnya proses HD ibu selesai, dan kembali dibawa ke ruang HCU. 

Karena tidak boleh ditunggu, saya, kakak, dan kakak ipar kembali ke ruang tunggu, sedang ibu kembali ditangani petugas ruang HCU. 

Menjelang maghrib, kakak saya pulang. 

Sesudah Isya', kakak ipar saya juga pamit pulang, karena banyak tugas mengajar yang harus dikerjakan dan diselesaikan. Sedang saya tetap menunggui di ruang tunggu HCU. 

Belum lama kakak ipar meninggalkan Rumah sakit, saya dipanggil petugas HCU yang tergogoh-gopoh. Saya pun berlari, dan diajak ke tempat ibu di ruang HCU. 

Saat itu petugas sudah memberi pertolongan dan pacu jantung pada ibu yang sudah tidak bernafas. Sementara rekaman detak jantung sudah berupa garis lurus dan tensi sudah sangat rendah, sekitar 65/40.

"Ibunya didoakan, ya! " Kami akan berusaha memberi pertolongan! " Kata petugas HCU. 

Jantungku berdebar keras, dan suaraku bergetar. Kubisikkan kalimat tahlil dan syahadat di telinga ibu. Sementara tanganku menggenggam tangan ibu yang sangat dingin. Dan tangan satunya mengelus-elus ibu. 

Ya Allah, selamatkanlah Ibu. Lailaha illalah muhamaddarasulullah.  Lahaula walaquwata illa billah. 

Entah doa apa saja yang kupanjatkan. Pokoknya kulantunkan untuk mendoakan ibu, sementara para perawat memberikan pertolongan medis. 

Alhamdulillah, akhirnya detak jantung ibu kembali terpantau monitor, dan tensinya mulai naik. 

Setelah kondisi mulai stabil, kutulis pesan WA di grup keluarga agar semua mendoakan Ibu secara khusus. 

Kakak dan kakak ipar yang baru saja sampai rumah langsung kembali lagi ke rumah sakit. 

Akhirnya kami bertiga bersama-sama menunggui dan mendoakan ibu. Tapi menjelang dini hari, kondisi ibu semakin stabil, sehingga kami dipersilakan kembali ke ruang tunggu dan mendoakan dari sana. Sedang ibu di bawah pengawasan perawat HCU. 

Jumat pagi, adik perempuan saya dan suaminya tiba dari Bandung, setelah dikabari kondisi ibu yang sempat kritis tadi malam. Sedang adik laki-laki saya belum datang karena baru 2 hari yang lalu kembali ke Semarang setelah 3 hari menunggui ibu. 

Jumat sore dan malam, kondisi ibu membaik. Tapi justru saya yang terserang batuk, semalaman batuk terus di ruang tunggu HCU. 

Paginya, sabtu pagi, kondisi ibu membaik. Bahkan normal. Sangat normal, jadi saya memutuskan pulang sebentar. Disusul adik dan kakak, sementara kakak ipar yang menunggu. 

Kemudian, adik dan adik ipar kembali menunggui, dan saya menyusul. 

Saya dan adik perempuan saya mendatangi ibu, dan bertemu perawat dan dokter piket. Saat itu petugas, baik dokter dan perawat banyak yang mengajukan cuti akhir tahun, jadi petugas medis sangat terbatas. 

"Perawat jaga memberikan hasil rontgen ibu dan menjelaskan kondisi ibu. Bahkan mempersilakan kami berkonsultasi dengan dokter piket. Tapi Bu dokter belum bersedia karena sedang ada urusan yang mungkin lebih penting dan harus segera diselesaikan. 

Akhirnya kami tidak jadi konsultasi. Bahkan batuk saya kembali datang dan tak berhenti  sambung menyambung mbuat payah dan lemas. Akhirnya saya minta ijin adik untuk istirahat di rumah saja, sedang adik perempuanku dan suaminya yang menunggu. 

Saya sempat istirahat, meski batuk saya belum sembuh juga. 

Sabtu sore dikagetkan pesan WA adik di grup keluarga. Kondisi ibu kembali menurun dan ngedrop. 

Menjelang maghrib, adik laki-laki saya sekeluarga datang dari Semarang. Setelah mandi dan shalat maghrib, saya dan adik laki-laki kembali ke rumah sakit. Sementara adik ipar dan para keponakan menunggu di rumah. 

Sampai di rumah sakit dihadang satpam, sebab yang menunggu hanya boleh maksimal 2 orang. Padahal di ruang tunggu sudah ada kakak dan kakak ipar, adik dan adik ipar. 

"Ini dipanggil perawat HCU, Pak! " Kata saya pada Pak Satpam yang tidak bertanya-tanya lagi dan mempersilakan kami untuk terus masuk. 

Sampai di sana, ternyata semua di luar. 

"Disuruh keluar sama perawatnya, " Kata adikku. 

"Perawatnya ganti, yang ini galak! " Kata kakak saya. 

Saya mengajak adik laki-laki saya berdiri memunggui ibu di depan pintu ruang HCU, sehingga tetap bisa melihat ibu dari kaca. 

"Ditunggu di luar saja. Alat-alatnya sedang kami persiapkan" Kata perawat jaga, dikiranya kami keluarga pasien yang baru saja dimasukkan ruang HCU. 

Akhirnya ada perawat lain yang mempersiapkan kami masuk. 

"Putranya? " Tanya petugas HCU. 

"Iya! "

"Masuk saja, Ibunya dituntun berdoa. Ini kondisinya sudah sangat kritis! "

Saya dan adik langsung masuk. Di sekitar tempat tidur ibu terlihat banyak alat, dari pemacu jantung,alat bantu nafas, sampai rekam jantung untuk orang yang sudah meninggal. Mungkin mereka sudah mempersiapkan ibu untuk kondisi terburuk. 

Alat bantu nafas juga sudah dicopot, tapi oksigen masih terpasang. 

Mata ibu sudah terpejam, dan bernafas tiap 3 detik sekali. Saya dan adik bergantian membisikkan tahlil di telinga ibu sambil mendoakan. Tak lama adik, kakak dan para ipar menyusul. Kami ber enam mendoakan dan menunggui ibu sambil membisikkan tahlil. 

Tak lama dokter yang selalu datang di saat ada pasien yang meninggal,tiba.

Perasaanku semakin tak enak. Antara berharap ibu segera pulih dan bersiap menghadapi kondisi terburuk. 

Akhirnya, saat yang sungguh tidak kami inginkan itu terjadi. 

Sang dokter maut membacakan hasil rekam medis ibu, bahwa pada pukul 19.15 wib ibu telah berpulang ke rahmatullah. 

Innalillahi wainnailaihi roji'uun...... 

Cerita akhir tahun yang membawa duka bagi kami semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun