Selepas Isya, kubuka tudung saji di meja makan. Padahal tahu persis kalau cuma ada gulai daun singkong dan sambal terasi. Parahnya, aku juga lupa memasak nasi. Hohoho... Maklum faktor u yang terus bertambah membuat ingatan melemah (padahal sengaja, lagi malas masak).Â
"Mas, mau makan nggak? "
"Nggak!!! " Jawab suamiku jutek. Antara sewot karena aku malas masak, atau memang sudah kenyang karena barusan makan roti.Â
"Cari belut, yuk! "
"Di sawah? "
"Belut matang, Maaasss! " Gantian aku yang jutek. Eh...Â
"Ayooook..! Di mana?Â
" Di sungai! " Kataku sambil tertawa.Â
"Ikut sajalah! " Lanjutku.Â
Suamiku mengganti gamisnya dari masjid dengan kaos dan jaket.Â
Aku meraih kerudung dan masker.Â
Kami keluar berboncengan naik motor.Â
Beberapa ratus meter dari rumahku, di sepanjang jalan penuh penjual makanan.Â
Suasana ramai dan semarak. Angkringan, kios bakso, kios buah, sate ponorogo yang baunya menggoda, mie ayam, mie goreng, mie rebus, nasgor, aromanya menyelinap di penciuman.Â
Angkringan-angkringan bertumbuh di sepanjang jalan, menggoda untuk mampir. Tapi aku tetap istiqomah, malam ini harus makan berlauk belut. Ah, Jangan-jangan ngidam. Eh... Alamak..!!! Bisa dikira cucu, nanti.Â
Memasuki jalan utama, semerbak durian kembali mengendus hidung. Untung nya kemarin sudah dibelikan suami 2 buah, dan baru habis tadi. Jadi tidak tergoda. Weeee...Â
Bebek goreng, pecel lele, burung dara goreng. Duh... Kenapa begitu banyak godaan?Â
Sabar... Sabar.. Sabar... Istiqomah yaa..Â
Sebentar lagi sampai pom bensin. Menurut status di fesbuk, tempatnya tepat di seberang pom bensin. Tepatnya sih cari saja, nanti.Â
"Sebelah mana, Dek? " Suamiku tidak sabar merasakan aku masih bingung celingukan.Â
"Stop.Berhenti di depan pom bensin saja, nanti kucari! "
Duh, kenapa gelap? Yang terang cuma satu toko, itu jelas bukan warung makan. Lainnya tutup. Pintu-pintunya pada digembok.Â
Akhirnya aku turun di dekat angkringan, dan berbalik arah mengamati kios satu persatu.Â
Kudatangi kios yang sedang buka dan lampunya terangÂ
Ya ampuuun.. Ternyata warung rica-rica belut kemanginya tutup. Dasar penduduk +62, tahu jelas-jelas tutup, aku masih juga bertanya pada toko sebelah yang buka.Â
"Warung belutnya tutup, Mas? "
"Tutup, Bu! " Bukanya besok! "
"Terimakasih, Mas! "
Kuberbalik ke tempat suamiku menunggu.Â
"Tutup, Mas! " Tapi kayaknya di Pagotan ada. Kalau nggak salah, dekat Masjid Trowong. Nanti deh, dicari. Apa balik aja beli bebek di warung tenda? "
"Cari belut saja. Bosen makan bebek terus!"
 "Ya, sudah. Ayok! "
"Sampai dah di Masjid Trowong. Hemm tapi sebelah mana, ya? "
"Tanya Dek, mungkin ada yang tahu! "
Aku turun dari boncengan, dan tanya di warung bakso.Â
"Mas, mau tanya. Warung yang jual belut goreng, rica-rica, atau sambal belut itu di mana ya, yang dekat sini? "
"Owh, itu masuk jalan kecil, turun sampai jembatan, terus belok kiri. Warungnya di situ. Pokoknya nanti terlihat terang, dan ada tulisannya! "
"Terimakasih, Mas! " Mari..! "
"Sama-sama, monggo..! "
Suamiku menjalankan motornya. Ternyata jalannya gelap dan sempit, dengan turunan yang lumayan curam menuju jembatan.Â
Aku agak ragu sebenarnya, tapi ternyata benar, setelah jembatan, terlihat tulisan Nasi pecel, wader, dan belut geprek.Â
Nah ini. Sudah sampai. Di sebelah kanannya hutan sengon sepertinya.Â
Suasananya pedesaan banget. Apa malah hutan? Eh...Â
Aku segera turun dan menghampiri warung, sementara suamiku memarkir motornya.Â
"Mbak, belut geprek 2,ya! "
"Gepreknya habis, Bu. Tinggal belut goreng krispi, udang sama wader, "
"Ya, sudah! Belut saja. Terus sama sambal lalap, atau bagaimana, Mbak? "
"Adanya nasi pecel, Bu! "
"Ya sudah, nasi pecel belut dua, teh tawar satu, jeruk panas satu! "
"Jeruknya habis, Bu! "
"Teh panas saja kalau gitu."
"Satu manis, satu tawar? "
"Ya, Mbak. Saya duduk di bawah saja ya? "
"Ya, Bu! Silakan ditunggu! "
Menunggu sebentar, akhirnya pesanan tersaji. Ternyata memakai daun jati. Pas deh sama suasananya.Â
Suamiku langsung tak sabar ingin menyantapnya.Â
"Sebentar! " Bisikku.Â
Cekrek!Â
Suamiku sudah terlanjur menyantap nasi pecel dan mengunyah belutnya.Â
Giliran aku yang menyantap nasi pecel belutnya.Â
Wow.. Hahiha pangah (dibaca :Nasinya panas, glek! Geli sendiri)Â
Nasinya masih panas, empuk dan pulen. Sepertinya masaknya didang(dikukus) meski dimasukkan magic com biar tetap panas/hangat.
Pecelnya juga yummi. Manis dan legit. Rasanya paaasss... banget! Pokoknya enak.Â
Belutnya? Sudah dingin ternyata. Sejenak membayangkan belut krispi yang dijual kemasan yang terkadang keras bahkan alot.Â
Wow... Ternyata renyah. Renyah bingitz. Serenyah kripik atau rempeyek. Endeus dan rekomended pokoknya.Â
Tak heran dalam sekejap sudah habis. Kalau ini sih karena gembul. Eh...Â
"Sudah, Mbak! " Aku menghampiri penjualnya untuk membayar makanan yang sudah kami nikmati.Â
"Pecel belut 2, teh hangat 2 ya, Bu? "
"Ya, Mbak!. Sama beli belutnya saja, dibungkus boleh? "
"Waduh, maaf sekali Bu. Ini nasinya masih banyak, takutnya nanti lauknya habis, nasinya masih banyak, Bu. Maaf sekali ya! "
"Ya sudah, nggak papa. Kapan-kapan saja ke sini lagi, " Jawabku.Â
"Jadi berapa semua? "
"20 ribu, Bu! "
Segera kubayar dan berpamitan. Hari semakin malam, jadi kami langsung pulang meski besok libur. Sepertinya bisa tidur nyenyak dan mimpi indah, nih. Sudah kelakon makan berlauk belut, dan menulis fiksi kuliner. Eh...Â
Semoga tidak malah bermimpi dikejar ular. Oh, noooo.....Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI