Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Orangtua Berstatus Jobless, Mungkinkah Menyekolahkan Anak lewat Jalur Mandiri?

29 Juli 2022   22:28 Diperbarui: 30 Juli 2022   14:02 2431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
llustrasi uang kuliah anak yang semakin tinggi (Sumber: Thinkstock)

Topik Kompasiana tentang biaya kuliah mahal, membuat saya teringat bagaimana nikmatnya menguliahkan anak sedang saya bukan pekerja, alias jobless. 

Penghasilan hanya satu, bersumber dari gaji suami. Sedang anak-anak saya hanya selisih umur satu tahun lebih sedikit, sedang tingkatan sekolah hanya selisih satu tahun, otomatis berurutan. 

Agak sulit dijelaskan jika saya nyaris tidak mengalami kesulitan dalam biaya. Meski kehidupan sehari-hari ala kadarnya dan tidak berlebihan, nyatanya urusan pembiayaan kuliah dan akomodasi anak-anak selama kuliah tidak ada masalah, meski mungkin anak-anak pernah terpaksa puasa karena tanggal tua, transferan belum saatnya dikirim, dan tidak berani meminta. Eh... (Semoga tidak). 

Sebenarnya, sejak anak-anak mulai masuk TK (play group), kami sudah mulai menabung. Mungkin tidak banyak. Bahkan mungkin para pakar ekonomi akan mencibir. Jumlah seperti itu tidak ada gunanya, karena faktor laju inflasi dan hal-hal yang mempengaruhi nilai uang, akan membuat nilai uang menurun dan merugi. 

Tapi kami membandel, biar saja menjadi orang bodoh, tapi mempunyai tabungan tentu berbeda dengan tidak mempunyai tabungan. 

Yang pertama, tabungan kami isi setiap bulan dengan nominal tetap, dan tak pernah diambil. 

Diambil setelah si sulung mulai kuliah, 12 tahun kemudian. 

Kebetulan, si sulung diterima di 3 universitas, tapi yang paling disukai, dia diterima lewat jalur mandiri. Seleksi paling akhir dibanding jalur lainnya. Dan diberlakukan UKT tertinggi. 

Kalau mau jujur, tabungan untuk biaya kuliah si sulung hanya cukup untuk membayar UKT 2 semester, atau setahun. Tapi untungnya, dengan hidup minimalis, kondisi keuangan kami cukup sehat, sehingga dengan disiplin keuangan, tidak ada masalah finansial saat si sulung mulai kuliah. 

Hanya pernah sekali telat bayar UKT gara-gara salah paham. Si sulung mengira, kampus memberi keringanan UKT, dikira bebas UKT. Ternyata UKT harus dibayar, tapi waktunya bisa mundur. 

Saat itu si sulung yang aktivis kemahasiswaan protes, karena nilai hasil semester belum keluar, kok sudah disuruh membayar UKT. 

Akhirnya disuruh mendaftar beasiswa. Tapi saat tahu si sulung masuk lewat jalur mandiri dengan uang UKT tertinggi, tidak jadi diusulkan beasiswa. Sebab beasiswa biasa diberikan kepada mahasiswa bidik misi yang membawa surat keterangan tidak mampu dari desa. Bukan untuk mahasiswa berprestasi. 

Kuliah tidak harus di tempat jauh (Sumber : youtube unair) 
Kuliah tidak harus di tempat jauh (Sumber : youtube unair) 

Itu juga pernah terjadi saat saya kuliah dan mendaftar beasiswa. Meski IPK berkisar di 3,5, namun tidak lolos seleksi beasiswa, karena kedua orangtua saya PNS dan saat itu golongan sekitar III/ c atau d sudah dianggap tinggi. Tidak seperti sekarang, bahkan guru golongan IV/c seperti suami saya pun sudah biasa dan banyak jumlahnya. 

Yang lebih mencederai perasaan, ada yang IP-nya cuma 2,9 dan 3 lebih sedikit, ke kampus naik motor, bahkan ada yang bawa mobil, tapi mendapat beasiswa. Sedang saya yang ke kampus jalan kaki dari tempat kos justru dianggap mampu karena kedua orangtua sama-sama PNS.

Padahal saat itu saya dan kedua adik saya kuliah di luar kota semua. Tapi tidak ada pertimbangan untuk itu. Ya sudah, saya tidak pernah tertarik lagi pada yang namanya beasiswa. 

Akhirnya saya tidak pernah mendapat beasiswa dan mengubah pandangan saya tentang beasiswa yang sering diceritakan ibu sebagai penghargaan pada anak berprestasi. Tapi berubah menjadi beasiswa adalah bantuan untuk keluarga tak mampu. 

Lain lagi si bungsu. Dia pernah mendapat beasiswa PPA, meski dia juga masuk lewat jalur mandiri. 

Di kampusnya, beasiswa PPA tidak harus memakai surat keterangan tidak mampu, tapi sepenuhnya berdasarkan IPK. Saat itu kembali pandangan saya berubah. Ternyata ada juga kampus yang menghargai prestasi mahasiswanya  tanpa embel-embel tidak mampu. 

Mengingat beasiswa tidak diberikan pada semua mahasiswa, lebih baik memikirkan biaya kuliah secara normal.

Si bungsu sebenarnya juga diterima di sebuah Politeknik di Jawa Tengah, sekolah vokasi D4 jurusan rekayasa otomotif. Jurusan yang disukai juga oleh si bungsu, tapi UKT-nya tinggi, dan ada uang sumbangan pembangunan yang lumayan besar untuk keluarga yang berpenghasilan tunggal seperti keluarga kami. 

Sebenarnya si bungsu agak kecewa, tapi saat itu juga sudah terlanjur mendaftar di IPB untuk program D3 vokasi Teknik komputer.

Akhirnya memilih yang IPB, dan sekarang sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri transfer dari D3 teknik komputer ke S1 Teknik Informatika. Kuliah dilakukan sambil tetap bekerja, karena kuliah dilaksanakan online. 

Kuliah di perguruan tinggi yang terkenal tentu membanggakan. Tapi kemampuan finansial juga harus diperhatikan. 

Sekarang banyak universitas didirikan di daerah baik negeri atau swasta. Untuk mengatasi masalah finansial saat anak mulai memasuki masa kuliah, bisa diperhatikan beberapa hal:

1. Memilih kuliah di lokasi terdekat dengan tempat tinggal bisa melakukan penghematan. Keuntungan kuliah di lokasi terdekat dengan tempat tinggal adalah tidak ada biaya uang kos, tidak perlu membayar uang sehari-hari yang tinggi karena tetap tinggal di rumah sendiri bersama orangtua, dan pengawasan pun lebih intensif. 

2. Memilih universitas dengan tawaran UKT yang murah. Sebab, UKT ini justru terdiri dari banyak tingkatan, dari yang 500 ribu sampai puluhan, bahkan ratusan juta. 

3. Memilih universitas yang sama sekali tidak meminta uang sumbangan pembangunan, atau uang gedung yang tinggi. Sayangnya, informasi UKT hanya diberikan kepada mahasiswa yang diterima, sehingga tidak bisa dipersiapkan sebelumnya. 

Tapi mempersiapkan biaya kuliah jauh sebelum anak masuk kuliah, misal saat anak-anak masih di TK, atau bahkan sejak dilahirkan adalah pilihan bijak. 

Sepertinya generasi sekarang lebih bijak mengatur finansial, sehingga siap menyongsong kehidupan di era yang akan datang. 

Bijak berinvestasi dengan banyak investasi yang sekarang gencar ditawarkan secara online maupun offline akan mempengaruhi kehidupan yang akan datang di bidang finansial. 

Tentunya mental, akhlak dan budi pekerti juga harus digembleng untuk bisa bersaing di era digital. 

Terimakasih. Semoga bermanfaat... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun