Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hening Dalam Riuhnya Malam

1 Juli 2022   05:16 Diperbarui: 1 Juli 2022   08:57 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah malam berselimut awan. Tenggelam dalam eksotika pekat. 

"Mei, Ibu tak bisa tidur, "

Meira memandang lembut wajah ibu. Dielusnya punggung yang mulai renta. 

"Kenapa, Bu? " Jangan terlalu banyak berpikir. Berpikirlah yang indah dan menyenangkan! "

Meira kembali mengipas pelan agar Ibu tak kedinginan, tapi juga tak kepanasan. 

Meira sendiri merasakan hawa panas yang tak biasa. Ditambah dengan kelindan makhluk penghisap darah yang diam-diam menyesap darahnya dengan rakus. 

"Rasanya tak karuan, " Ibu kembali mencurahkan apa yang dirasa. 

Meinar mengelus punggung ibu dengan sebelah tangan, sedang sebelah lainnya memainkankan kipas dari anyaman bambu. 

Suara jengkerik dan jam dinding jelas terdengar dalam keheningan malam. 

"Perut ibu sakit, " Ibu kembali mengatakan apa yang dirasa. 

Meira tersenyum samar, sambil  menggosok perut ibu dengan minyak kayu putih. 

"Jalani saja? "

 Ibu bertanya pada Meira, seperti apa yang biasa Meira katakan. Apa lagi yang bisa kita lakukan, kecuali menjalani apa yang bisa kita jalani? 

Meira mengangguk sambil tersenyum tipis. 

"Sambil berdoa, Bu. Allah yang menciptakan penyakit, Allah pula yang menyembuhkan. Kita hanya bisa berikhtiar, "

"Sabar dan ikhlas itu berat, tapi kalau dijalani takkan terasa. 

Meira masih mengelus-elus pundak ibu. 

" Tapi kepala Ibu pusing, dan rasanya mau muntah, "

"Ibu sudah minum obat kan? "

"Sudah! " Ibu mengangguk mantap.

"Ibu sudah mengikuti anjuran dokter, kan? "

"Sudah, " Ibu mengangguk lagi.

"Ibu sudah berdoa untuk kesembuhan, kan? "

"Sudah, " Kali ini jawaban Ibu pelan dan lirih. 

"Apalagi? " 

Kita sudah mengambil peran yang diberikan oleh Sang Dalang kehidupan. Cukup tunduk dan pasrah, bagaimana Dia memainkan peran kita, " 

Meira mencium kening ibu. 

Ibu mulai memejamkan mata kembali. Pelan-pelan cuaca berubah sejuk. 

Suara lantunan ayat-ayat suci berkumandang dari masjid. Menandakan waktu sudah berganti hari memasuki dini hari. 

Meira  masih mengelus-elus punggung ibu, dan mengayun-ayun pelan kipas anyaman bambu, sampai tangannya terkulai, dan kipas jatuh ke kolong tempat tidur. Hatinya terus berdzikir dan memohon pada penguasa sekalian alam. 

Pelan-pelan bayangan hitam itu menjauh, luruh, dan perlahan menghilang seperti liukan asap yang mengepul dan hilang bersama angin malam. 

Bayangan buruk itu akan menghantui hati yang yang dipenuhi keinginan ragawi semata. Karma mungkin akan menyambut takdirnya dalam pekatnya malam.

 Membersihkan jiwa dari keriuhan dunia yang memperdaya akan membantu membasuh raga yang lemah tak berdaya. 

Meira memusatkan konsentrasinya. Berusaha melepas jerat-jerat halusinasi dan fatamorgana yang membelenggu kesucian jiwa. 

Perlahan Ibu tidur dengan tenang. 

Makhluk yang datang kali ini lebih banyak dan nyata. 

"Pletak.. Pletak.. Pletak!!! "

Bunyi benturan makhluk-makhluk kecil pencipta teror itu berakhir dalam raket kejut beraliran listrik beberapa watt. 

Meira ikut terlelap bersama Ibu....... 

Allāhumma rabban nāsi, adzhibil ba'sa. Isyfi. Antas syāfi. Lā syāfiya illā anta syifā'an lā yughādiru saqaman

Artinya: "Ya Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit. Berikanlah kesembuhan karena Kau adalah penyembuh. Tiada yang dapat menyembuhkan penyakit kecuali Engkau, dengan kesembuhan yang tidak menyisakan rasa nyeri." (HR Bukhori).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun