Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kepala Kambing

20 Juni 2022   21:22 Diperbarui: 24 Juni 2022   18:44 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala kambing itu tadinya terbungkus tas kresek hitam, tapi sekarang tergeletak begitu saja di meja dapur. 

Tiba-tiba matanya melotot. 

"Tolong...!"

Aku nyaris kabur, tapi tidak jadi. Itu pasti imajinasiku saja. Kutatap lagi mata kepala kambing itu terpejam. 

Tiba-tiba giginya meringis. 

Tolong...!!! Aku tersentak kaget dan menjerit. 

Ah itu pasti imajinasiku saja. 

Kepala kambing ini berukuran besar. Telinganya panjang dan lebar, mengingatkanku pada kambing etawa yang terkenal di daerah Kaligesing Purworejo. 

Kepala kambing ini sudah dibakar dan dikerok bulunya, menguarkan bau bulu terbakar sekaligus aroma prengus khas kambing. 

Kalau beli yang siap saji, sebenarnya lezat juga jika diolah dalam aneka menu yang menggoda. Gulai, tongseng, sate,  bakar, sop, krengsengan, semur, dan apa saja. 

Otaknya cukup digarami dan dikukus atau dipepes sudah menjadi hidangan istimewa. Bukan hanya rasanya yang lezat, tapi jarang orang yang suka mengkonsumsi kepala kambing karena alasan selera yang tak cocok atau alasan kesehatan. Membuat olahan kepala kambing terlihat eksklusif. 

Sejenak aku sebal. Di musim wabah PMK pada ternak, kok malah membeli kepala kambing, tempat mulut eksis dan menempatkan diri di kepala. Perutku rasanya seperti diaduk-aduk bercampur ngeri. Rasa tak nyaman menguasaiku. 

"Mas....! "

"Ada apa tereak-tereak. Suamiku sudah ada di belakangku! "

"Aku kan sudah bilang, jangan beli kepala kambing. Titik. Kalau pengin beli yang tinggal makan, jangan banyak-banyak dan langsung dihabiskan! "

"Murah, kok! " Suamiku masih berkelit. 

"Terserahlah! ", aku menyerah. Kusesap coklat panas dalam gelas besar. Baru habis separuh, perutku sudah terasa penuh. 

Suamiku pergi ke belakang, menyiram tanaman. Aku mengikutinya, pengin menyapu halaman belakang. 

Kutinggal coklat panas yang tinggal separuh. Kepala kambingnya juga. Biar nanti sehabis menyapu saja kupotong-potong dalam ukuran kecil, jadi bisa kurebus dalam wadah yang kecil. 

"Huftt...! "

 Selesai menyapu, tubuhku penuh keringat dan bajuku basah. Rasanya tak nyaman. Sepertinya mandi akan membuat badan segar. 

"Mas....! " Aku berseru kaget. 

"Kepala kambingnya hilang! "

Suamiku bergegas menghampiriku. 

"Tadi kamu taruh di mana? "

"Di meja dapur. Dan... 

" Apa? " Suamiku melotot karena aku memeluknya erat-erat. 

"Coklat panasku juga habis, tadi masih sisa separuh, " Bisikku bergidik. 

"Ah, paling kamu lupa... Belum pikun kok sudah tua, " Suamiku malah bercanda. 

"Digondol kucing mungkin, " Kata suamiku sambil mengelus jenggotnya. 

"Lha apa kuat, kepala kambing segede itu? " Coba cari di kolong meja, apa di mana? "

"Kalau diambil kucing kan ada bekas diseret apa gimana, gitu! " Balasku. 

"Hii.. ! " 

Bulu kuduk ku merinding. Di sekitar sini, rumornya memang agak angker. Ada yang pernah melihat penampakan, katanya. Ditambah suasana gelap dan rimbun, tak berlebihan kalau ada yang menceritakan hal aneh.


"Tok tok tok....! 

Pintu rumahku diketuk dengan keras. Cuaca mendung, jadi meski baru menjelang maghrib suasana sudah seperti malam. Suamiku baru saja berangkat ke masjid, di rumah aku sendiri.

Aku ragu-ragu dan takut. Jantungku berdetak tak karuan. Bingung antara mendiamkan atau membukakan pintu. 

Bisa saja yang datang orang jahat atau manusia jadi-jadian. Aku semakin Was-was. Melirik kini kanan, berusaha mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata jika yang mengetuk pintu adalah tamu tak diundang.

"Toktoktok... 

Pintu digedor semakin keras. Aku semakin ngeri. Kunyalakan lampu teras, terlihat bayangan hitam. Pelan-pelan kuambil potongan besi yang tak sengaja ada di dapur. 

"Cekrek!! "

Suara pintu dibuka, dan lampu kamar yang menyala membuatku terlompat.

"Bunda ngapain mengendap-endap seperti itu? "

Aku melongo. Kapan si bungsu datang? 

Si bungsu keluar membuka pintu.

"Terima kasih ya, Bu! "

"Sama-sama, " terdengar suara si bungsu dan tamunya.

"Ini bunda, tadi kepala kambingnya kuantar ke tukang masak, biar bunda nggak susah. Jadi menu gule, tongseng dan krengsengan, ! " Jawab si bungsu innocent.

Aku masih melongo, kapan dia datang. Kenapa tak mengucap salam dan memberitahu.

Kudatangi dan kujewer kupingnya.

"Ampun bunda,  tadi aku datang ucap salam tidak ada yang membalas, jadi langsung ke kamar, "

"Malah dengar ayah sama bunda meributkan kepala kambing. Ya sudah, kuantar ke tukang masak, dapat info dari mbah google, "

"Jadi.....? "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun