Innalillahi wainnailaihi roji'uun.Â
Hari ini Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Ahmad Syafii Maarif, atau lebih dikenal dengan sapaan Buya Syafii Maarif atau Buya Syafii, telah berpulang ke rahmatullah, hari ini, Jumat, 27 Mei 2022, pukul 10.15 wib di Yogyakarta dalam usia 87 tahun ( 1935-2022)Â
Buya dilahirkan di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau, 31 Mei 1935.
Beliau adalah seorang Ulama, dosen, aktivis, sejarawan,sekaligus agamawan.
Buya sempat menjadi kontroversi saat membela Ahok dalam kasus penistaan agama. Banyak celaan, hinaan dan hujatan yang ditujukan padanya, tapi Buya tetap diam dan tersenyum. Ini karena prinsipnya yang indipenden, tidak mengikatkan diri pada politik dan kelompok manapun, di mana dia berhasil membawa Muhammadiyah kembali pada khittahnya.Â
Menurut  Haedar Nashir (ketua umum PP Muhammadiyah) keteladanan penting Syafi'Ma'arif terutama adalah usahanya dalam menjaga posisi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah kultural murni yang berdikari dan terbebas dari ancaman menjadi tunggangan politik praktis.
Buya pernah memimpin Muhammadiyah, menggantikan Amien Rais yang terjun ke politik praktis pada tahun 1998-2000. Kemudian kembali terpilih untuk melanjutkan kepemimpinannya pada tahun 2000-2005.
Menurut Haedar, Buya Syafii bagi Muhammadiyah ibarat burung Rajawali, yang gagah dan terbang ke angkasa tinggi, tetapi tak mau membangun sarangnya sendiri.Â
Hidupnya banyak berkhidmad pada Muhammadiyah. Sosok Buya Syafii Maarif adalah rajawali yang enggan membangun sarangnya. Buya Syafii Maarif tak membangun dinasti untuk diri dan keluarganya, tetapi untuk Muhammadiyah.
Buya selalu mengingat pesan KHA. Ahmad Dahlan, "jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah, tapi hidupilah Muhammadiyah"Â
Bahkan penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul 'Si Anak Kampung', yang telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).Â
Sedang Budi Munawar Rachman mengelompokkan Syafii termasuk ke dalam golongan neo-modernis Islam bersama Nurcholish Madjid dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menentang pemberlakuan hukum Islam secara formal dalam kehidupan bernegara.Â
Buya mengatakan "Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap"Â
Wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya tercitra begitu negatif, sehingga jauh dari nilai sejatinya sebagai agama damai.Â
Mudah sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam namun perilakunya intoleran, kasar dan merasa paling suci, membuat hal-hal baik gagal ditegakkan.
Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbol-simbol saja dan menjauh dari esensi (Buya Ma'arif)Â
Agama dipakai tidak untuk mengarahkan pemeluknya kepada hal-hal yang lebih baik. Tapi sekedar simbol yang justru menumbuhkan arogansi.
 Orang memakai tasbih saja seakan-akan sudah Islam. Ini pembodohan," kata Syafi'i seperti dikutip Antaranews (22/10/2017).
Masih menurut Buya, hendaknya seorang Muslim di masa kini bisa membedakan antara Arabisme dan Islam.
Di masa Orde Baru, waktu masih ada lembaga prestisius bernama Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), pergesekan antarumat beragama sulit ditemukan. Ini karena adanya tekanan dan pengaturan dari negara.Â
Setelah Orde Baru runtuh, berpuluh tahun setelah Kopkamtib dibubarkan, maka dengan mudah konflik antaragama meledak.
Kondisi ini membuat banyak orang dengan mudah merindukan stabilitas keamanan ala Orde Baru.Â
Tapi mereka tak sadar bahwa toleransi tinggalan Orde Baru itu semu toleransi yang dilaksanakan bukan dari keinginan dan kesadaran paling dalam. Tetapi toleransi ada karena kemauan pemerintah.
Buya tidak hanya bicara, tapi juga bertindak nyata, Untuk menguatkan pemikiran-pemikiran pluralisme, toleransi, kebangsaan, keislaman, sosial,dan kemanusiaan, maka didirikan lembaga Ma'arif Institute.
Kini Buya Syafii Ma'arif telah paripurna menjalankan tugasnya di dunia, semoga semangat dan keteladanannya tetap hidup di kalangan generasi penerusnya untuk tetap meyakini keimanan dan agamanya, tapi nilai toleransi, pluralisme, dan kemanusiaan tetap mendapat porsi yang tepat.
Selamat jalan salah satu putra terbaik sekaligus bapak bangsa. Semoga Allah memberikan tempat dan akhir yang indah untukmu di sisiNya.Â
Innalillahi wainnailaihi roji'uun...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H