"Wah, murah banget Mas, " Suamiku melongo. Mungkin karena tempatnya di desa, meski di pinggir jalan beraspal  sewanya jadi murah.Â
"Silakan, Pak, " Mas Mukhlis menyajikan pesanannya. Cukup menarik, meski saya terbelalak melihat porsinya yang jumbo.Â
Mie yang sudah direbus dengan tekstur yang pas, sawi putih yang kematangannya pas terlihat segar menggoda, matang tapi masih kres, 3 buah yamin (semacam pangsit rebus isi ayam), Abon ayam dan bawang merah goreng yang lumayan melimpah, dan sesendok acar.Â
Wow... Air liurku nyaris menetes, untung mienya sudah di depan mata. Langsung saja dinikmati. Hemmm.. Enak memang. Kutambah sesendok sambal tambah mantap, dah.Â
Suamiku lebih suka menikmati pakai sumpit, sementara aku lebih suka memakai sendok dan garpu. Kita memang selalu berbeda, hihihi...Â
"Salah, cara makannya tuh gini," Suamiku mengambil kuahnya sesendok dan sesuap mie. Sementara aku malah langsung mengguyurkan kuahnya ke mie. Toh mau langsung dinikmati.Â
" Entah cerita apa lagi suamiku ini, aku lebih tertarik untuk khusuk menikmati mienya tanpa suara. Menikmati tuh masalah selera, tidak ada yang salah. Berbeda dengan suamiku, semua harus jelas, harus ada yang salah dan salah satu yang benar. Suka-sukalah, hehehe...Â
Semoga pandemi ini segera berakhir, tidak digantikan wabah lain yang tidak berkesudahan. Biarkan perekonomian kembali bangkit dan menggeliat. Semoga...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H