Hak e hak e....hak o hak o... Yoi...yesss...
Suara musik menghentak dan teriakan rancak mewarnai Petirtaan Dewi Sri Nguntoronadi.Â
Petirtaan Dewi Sri termasuk situs yang dilindungi negara, sebagai salah satu warisan sejarah peninggalan Kerajaan Daha yang terletak di Desa Simbatan, Nguntoronadi Magetan.Â
Petirtaan Dewi Sri dijadikan Desa Wisata dengan membangun taman wisata di sebelahnya. Taman wisata ini ditanami pepohonan rindang dan diberi beberapa gazebo untuk bersantai.Â
Sudah beberapa lama, setiap minggu juga diadakan pasar rakyat dengan banyak penjual jajanan tradisional seperti getuk, klepon, grontol, gatot, tiwul, bermacam jenang, dan lain-lain.Â
Kuliner tradisional seperti soto, nasi pecel, tahu tepo, rawon, bahkan bakso, cilok, dan siomay juga ada.Â
Awalnya saya berniat mencari sarapan di minggu pagi ini. Sejenak rehat setelah puasa qadha ramadan selesai ditunaikan. Kembali menikmati rutinitas mencari udara segar di minggu pagi. Besok baru mulai puasa sunah syawal.Â
Tapi ternyata saya datang kepagian. Baru pukul 06.30, di lokasi masih sepi. Tanya sana sini, ternyata bukanya jam 07.30.Â
Ada informasi yang menarik, bahwa hari itu akan diadakan pentas seni jaranan. Mereka menyebutnya jaran kepang.Â
Ya sudah, meluncurlah ke Alun-alun Magetan, menyatroni penjual pecel langganan.Â
Selesai sarapan, kembali ke Petirtaan di Simbatan. Suasana sudah ramai, persiapan pertunjukan Jaran Kepang dimulai.
Sambil melakukan persiapan, kekosongan acara diisi dengan atraksi tarian semi  akrobat. Penari bertubuh mungil menari lincah dan beberapa kali melakukan gerakan salto.Â
Lanjut keduanya berdialog memperkenalkan diri dan menghibur pengunjung, sementara persiapan masih tetap berjalan.Â
Beberapa pawang berpakaian loreng merah hitam dengan ikat kepala batik berdasar hijau sibuk mempersiapkan kebutuhan acara.Â
Dari membakar dupa, mempersiapkan minyak wangi menyan putih, pisang, nasi kuning, bunga rampai, cemeti dan wadrobe yang akan dikenakan.Â
"Cetarrr... Cetar... Cetar," dua  orang pawang mulai mempersiapkan tempat. Yang satu menaburkan beras kuning, dan satunya menangkis dengan pecutnya yang menggelegar. Satu per satu beraksi dan meminta doa restu kepala pawang yang paling sepuh.Â
Pertunjukan ini dipersembahkan oleh Grup Seni Jaranan "Putro Nitis Budoyo" dari Maospati Magetan. Setelah sekian lama mati suri karena pandemi, kini perlahan grup ini mulai bangkit kembali menerima tanggapan atau tawaran main.Â
Sejenak kardus diedarkan untuk mendapat saweran dari penonton. Nominalnya bebas, dari seribu, 2 ribu, 5 ribu, 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, seratus ribu juga alhamdulillah...Â
Acara berlanjut dengan penampilan penari jaran kepang bersama pawangnya masing-masing. Penari tampil satu persatu, menaiki kuda kepang, berkostum kuning dan bergelang kelintingan.Â
Pawangnya membawa pecut atau cemeti besar dan panjang dengan suara cetar-cetarnya, sementara penari jaran kepang membawa pecut kecil.Â
Setelah semua penari jaran kepang tunduk pada pawangnya masing-masing. Cerita dimulai tentang 6 prajurit berkuda yang akan melenyapkan pageblug yang diwujudkan penari sebagai babi hutan yang disebut "celeng gothang".
Sejenak saya berpikir, sepertinya pertunjukan ini mengadopsi tarian barong di pulau Bali yang menggambarkan penari kecak melawan rangda yang merupakan simbol angkara murka, perwujudan Calon Arang yang menebar Pageblug sehingga dengan kesaktiannya bisa berubah-ubah wujud.Â
Adegan pertama menceritakan celeng gothang yang menantang salah satu Prajurit berkuda (penari jaran kepang) untuk bertempur.Â
Kemudian karena sama-sama kuat, celeng gothang berubah menjadi monyet sakti yang semakin garang menyerang. Tapi prajurit berkuda yang siaga berubah menjadi para pawang sakti mandraguna yang dengan senjata pecutnya berhasil menjinakkan monyet, yang merupakan simbol kejahatan dan sifat buruk manusia.Â
Celeng ggothang belum menyerah, kemudian kembali berubah wujud menjadi mahesa sura, lembu sura yang digambarkan seorang penari membawa kepala kerbau atau sapi. Melambangkan Sura Dira Jayaningrat, yang ditundukkan dengan kelembutan dan kesabaran para pawang.Â
Makna dan Filosofi Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti
Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti berasal dari bahasa Jawa yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan kebijaksanaan, kelembutan, dan kesabaran.
Setelah suro tunduk, tiba-tiba tiba muncul singo barong yang lebih kuat dan berbahaya, sehingga kepala pawang harus turun tangan untuk menjinakkannya.
trance, sehingga perlu disembuhkan.Â
Tapi ternyata singo barong sangat kuat, setelah  berubah menjadi banyak dan bisa ditundukkan satu per satu. Sukmanya merasuki para prajurit, sehingga para penari banyak yang mengalamiTerakhir para penari yang mengalami trance bisa disembuhkan. Dan bersama-sama melantunkan shalawat dan tetap menghibur sampai waktu pertunjukan berakhir.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H