Pawangnya membawa pecut atau cemeti besar dan panjang dengan suara cetar-cetarnya, sementara penari jaran kepang membawa pecut kecil.Â
Setelah semua penari jaran kepang tunduk pada pawangnya masing-masing. Cerita dimulai tentang 6 prajurit berkuda yang akan melenyapkan pageblug yang diwujudkan penari sebagai babi hutan yang disebut "celeng gothang".
Sejenak saya berpikir, sepertinya pertunjukan ini mengadopsi tarian barong di pulau Bali yang menggambarkan penari kecak melawan rangda yang merupakan simbol angkara murka, perwujudan Calon Arang yang menebar Pageblug sehingga dengan kesaktiannya bisa berubah-ubah wujud.Â
Adegan pertama menceritakan celeng gothang yang menantang salah satu Prajurit berkuda (penari jaran kepang) untuk bertempur.Â
Kemudian karena sama-sama kuat, celeng gothang berubah menjadi monyet sakti yang semakin garang menyerang. Tapi prajurit berkuda yang siaga berubah menjadi para pawang sakti mandraguna yang dengan senjata pecutnya berhasil menjinakkan monyet, yang merupakan simbol kejahatan dan sifat buruk manusia.Â
Celeng ggothang belum menyerah, kemudian kembali berubah wujud menjadi mahesa sura, lembu sura yang digambarkan seorang penari membawa kepala kerbau atau sapi. Melambangkan Sura Dira Jayaningrat, yang ditundukkan dengan kelembutan dan kesabaran para pawang.Â
Makna dan Filosofi Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti
Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti berasal dari bahasa Jawa yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan kebijaksanaan, kelembutan, dan kesabaran.