Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obrolan di Atas Bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi)

22 Maret 2022   11:01 Diperbarui: 23 Maret 2022   10:58 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Penumpangek cedhek-cedhekan bae, padha mudhun Wates, "

"Ya Alhamdulillah, disyukuri bae. Iseh ana penumpangek, "

(-Penumpangnya dekat-dekat saja, pada turun di Wates) 

(-Ya Alhamdulillah, disyukuri saja. Masih ada penumpangnya) 

Itu tadi obrolan kondektur bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) jurusan Purwokerto-yogyakarta yang curhat dengan salah satu penumpang di dekatku. Memang kulihat banyak kursi yang kosong. Aku saja begitu bebas menikmati 6 bangku sekaligus di tempat duduk paling belakang. Kupilih di situ karena ku membawa tas punggung lumayan besar dan berat. Biasalah kalau mudik, hasil kebun pindah ke dalam tas, hihihi... 

Suasana dalam bis AKAP (Sumber: Dokpri)
Suasana dalam bis AKAP (Sumber: Dokpri)

Rasanya sudah lama saya tidak naik bis AKAP dengan berbagai cerita yang menarik. Saat kuliah dulu, naik bis AKAP saat mudik adalah rutinitas mingguan atau 2 mingguan. Terkadang sampai sebulan baru mudik kalau banyak praktikum dan tugas membuat laporan menyita waktu libur. Menggelantung di dalam bis adalah hal biasa saat penumpang penuh malam minggu saat mudik, atau senin pagi saat kembali ke kampus. Atau pulang jumat sore dan minggu pagi balik ke kos. Itu masih agak longgar. Tapi kalau minggu siang atau sore, alamat berdesak-desakan dan menunggu lama agar bisa terangkut. Perjuangan indah dan manis. 

Tadinya saya khawatir kalau bis umum seperti ini sudah tidak beroperasi, karena kalah dengan bis-bis patas yang kinclong dan bersih. Untuk jarak relatif dekat dari purworejo-jogja, kalau naik patas relatif mahal, karena tarifnya dihitung jogja-purwokerto. Itupun belum tentu mau berhenti di tengah perjalanan, biasanya harus di terminal. 

Tarif Purworejo-jogja sekitar 20-30 ribu. Soal harga ini memang kalah managemennya kalau dibandingkan bis Jawa timuran. Kalau bis Jawa timuran, semua penumpang pasti diberi karcis. Kalau ingin Tarif khusus sebagai pelanggan, harus bilang dulu pada kondektur nya, jadi bisa diberi Tarif khusus dan karcisnya juga ditandai untuk pertanggung jawaban pada petugas kontrol. Kalau berani berbuat curang, bisa dipecat, karena sudah tegas dilarang. 

Kemarin waktu naik dari jogja-purworejo ku bayar 20 ribu, kondektur nya diam saja. Mungkin penampilanku yang rada mirip preman dan membawa tas punggung dianggap pelanggan yang sudah biasa naik bis ini. Sedang tadi ku bayar 50 ribu dikasih kembalian 25 ribu. Tapi aku diam saja, secara 6 bangku kukuasai sendiri,dan tas ku dibantu mengangkat dan menaruhnya di tempat yang lapang, hihihi.. 

Sejenak bernostalgia, saat kuliah dulu, aku paling suka memilih duduk di depan. Terkadang di matras di atas mesin dekat sopir, karena tinggal di situ tempat duduk yang kosong dan bisa ditempati banyak orang. 

"Saat jadi mahasiswa, naik bis minta harga mahasiswa, saat sudah jadi orang, jadi pejabat, jadi wakil rakyat, lupa sama kita. Jangankan memperjuangkan nasib, kadang malah jadi tukang palak,"

 Kondektur curhat di sebelahku. Aku hanya diam. Saat itu kurang paham maksudnya. Sebab Aku bukan aktifis mahasiswa yang aktif dalam senat, atau suka berdemo memperjuangkan ketidak adilan. Saya hanya mahasiswi manis yang tahunya kuliah itu untuk belajar dan mempelajari ilmu. 

Kalau sekarang, menulispun cuma berani memaparkan fakta yang dilihat sendiri, apakah itu berguna dan dibaca, diperhatikan yang berwenang dan yang berhak menentukan atau tidak, aku tak terlalu memikirkannya. Yang kusuka hanya menulis, tentu saja dengan harapan bisa bermanfaat. 

Terlepas dari hal-hal yang bersifat politis yang penuh analitis, naik bis umum AKAP seperti ini, banyak cerita yang terukir. Apalagi kalau bukan romantika anak muda yang penuh warna. 

Saya ingat, dulu pernah naik bis dari purworejo ke Jogja, bersebelahan dengan seorang  laki-laki macho bertato. Uang bis ku dibayarin. Dia ngakunya pemilik sebuah PO bis. Tapi jurusan kota lain, bukan jurusan jogja. Aku sudah lupa nama POnya dan nama orangnya. Bahkan sebenarnya aku juga dikasih kartu nama. Tapi sudah hilang entah kemana. Iseng tanya-tanya sudah punya pacar apa belum, dan sebagainya. Aku jawab sudah. 

"Kalau pacaran ke mana saja? " Tanyanya. Gawat. Aku kan sebenarnya belum punya pacar dan belum pernah pacaran. Tapi kalau ngaku nanti dikira culun gitu. 

" Ya, makan bareng, nyari buku bareng, belajar bareng,"  jawabku berusaha mengingat teman-temanku yang sudah punya pacar dan bagaimana mereka menghabiskan waktu berdua. 

Laki-laki itu menatapku tajam, tapi sepertinya dia bukan orang jahat. 

"Kalau kamu jadi pacarku, kujadikan istri, kukurungi, "

Aku melotot. Enak saja dikurungi. Memangnya aku ayam jagonya kakakku yang dikurung dan dijemur setiap hari? Entah apa maksudnya. Aku cuma tersenyum, dan tetap waspada dan menjaga jarak. Untungnya laki-laki itu tidak banyak bertanya lagi, mungkin tahu kalau aku ngeri, takut dikurungi, hihihi. Saat sampai di jogja dia mengajakku sarapan dan mau mentraktir.

Tapi dengan halus ku tolak, karena terburu-buru mengejar waktu ada praktikum di jam pertama. Alhamdulillah, laki-laki itu mempersilakan dengan sopan. Aku langsung ngacir lega banget. Kartu namanya kubuang. Ehh... 

Ada lagi penumpang yang unik waktu naik bis Jawa timuran. Sebelahku laki-laki berkacamata. Bertubuh besar. Bercerita kalau setiap sabtu minggu kuliah S2 di ITS jurusan perairan, hidrologi, atau apa aku lupa. Bercerita kalau posisinya sudah tinggi, tanda tangannya berharga. Tapi sering bertentangan dengan hati nurani. Mendapat uang yang banyak, tapi tahu kalau proyeknya penuh kecurangan. Padahal dia sudah merasa berkecukupan dengan gajinya untuk hidup sendiri.

Aku hanya manggut-manggut mendengar ceritanya separuh mengantuk. Sepertinya dia laki-laki yang baik, tapi sedikit kaku dan membosankan. Di ulurkan nya Kartu mahasiswa nya padaku. Kuterima dengan bingung dan kubaca sekilas. Ada tanggal lahirnya, juga alamatnya. Aku nyengir, usianya hampir 2 kali umurku. 

"Terima kasih, " Kukembalikan kartu mahasiswanya sambil tersenyum. Tapi aku tidak gantian mengeluarkan kartu mahasiswa ku. Entah lupa ku taruh di mana. Sepertinya Mas, atau Bapak ini menjadi canggung, padahal aku tak berniat apapun. Aku jadi tak enak hati kalau menyakitinya. Kemudian dia mengeluarkan buku dan membacanya. Akupun pura-pura tidur. Pura-pura saja, kalau tidur beneran takut tersandar di pundak atau di dadanya, hihihi... 

"Jogja terakhir...! " Kondektur berteriak. Aku terjaga dari lamunan penuh nostalgia dan kelucuan.Padahal masih banyak cerita menarik yang terjadi di atas bis AKAP.

Aku langsung mengambil tas punggung dan bergegas  ke toilet. Sekilas kulihat bis yang kunaiki dikerumuni 5 atau 7 petugas berseragam yang membawa entah buku atau lembaran kertas dan ballpoint. Seperti ada perdebatan antara kru dan petugas. Semoga tidak ada masalah serius, kasihan terseok-seok mengais rejeki kalau harus kena masalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun