Sejenak bernostalgia, saat kuliah dulu, aku paling suka memilih duduk di depan. Terkadang di matras di atas mesin dekat sopir, karena tinggal di situ tempat duduk yang kosong dan bisa ditempati banyak orang.Â
"Saat jadi mahasiswa, naik bis minta harga mahasiswa, saat sudah jadi orang, jadi pejabat, jadi wakil rakyat, lupa sama kita. Jangankan memperjuangkan nasib, kadang malah jadi tukang palak,"
 Kondektur curhat di sebelahku. Aku hanya diam. Saat itu kurang paham maksudnya. Sebab Aku bukan aktifis mahasiswa yang aktif dalam senat, atau suka berdemo memperjuangkan ketidak adilan. Saya hanya mahasiswi manis yang tahunya kuliah itu untuk belajar dan mempelajari ilmu.Â
Kalau sekarang, menulispun cuma berani memaparkan fakta yang dilihat sendiri, apakah itu berguna dan dibaca, diperhatikan yang berwenang dan yang berhak menentukan atau tidak, aku tak terlalu memikirkannya. Yang kusuka hanya menulis, tentu saja dengan harapan bisa bermanfaat.Â
Terlepas dari hal-hal yang bersifat politis yang penuh analitis, naik bis umum AKAP seperti ini, banyak cerita yang terukir. Apalagi kalau bukan romantika anak muda yang penuh warna.Â
Saya ingat, dulu pernah naik bis dari purworejo ke Jogja, bersebelahan dengan seorang  laki-laki macho bertato. Uang bis ku dibayarin. Dia ngakunya pemilik sebuah PO bis. Tapi jurusan kota lain, bukan jurusan jogja. Aku sudah lupa nama POnya dan nama orangnya. Bahkan sebenarnya aku juga dikasih kartu nama. Tapi sudah hilang entah kemana. Iseng tanya-tanya sudah punya pacar apa belum, dan sebagainya. Aku jawab sudah.Â
"Kalau pacaran ke mana saja? " Tanyanya. Gawat. Aku kan sebenarnya belum punya pacar dan belum pernah pacaran. Tapi kalau ngaku nanti dikira culun gitu.Â
" Ya, makan bareng, nyari buku bareng, belajar bareng," Â jawabku berusaha mengingat teman-temanku yang sudah punya pacar dan bagaimana mereka menghabiskan waktu berdua.Â
Laki-laki itu menatapku tajam, tapi sepertinya dia bukan orang jahat.Â
"Kalau kamu jadi pacarku, kujadikan istri, kukurungi, "
Aku melotot. Enak saja dikurungi. Memangnya aku ayam jagonya kakakku yang dikurung dan dijemur setiap hari? Entah apa maksudnya. Aku cuma tersenyum, dan tetap waspada dan menjaga jarak. Untungnya laki-laki itu tidak banyak bertanya lagi, mungkin tahu kalau aku ngeri, takut dikurungi, hihihi. Saat sampai di jogja dia mengajakku sarapan dan mau mentraktir.