Generasi yang lahir tahun 60-70 an, bahkan sebelum atau sesudahnya, siapa yang tak kenal Iwan Fals?Â
Penyanyi, musisi, pencipta lagu sekaligus kritikus legendaris  bernama asli Virgiawan Liestanto ini, masuk ke dalam daftar The Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa versi majalah Rolling Stone Indonesia (Wikipedia.id)
Gaya musiknya sering dianggap beraliran pop, rock, country, dan folk pop sedang liriknya banyak menceritakan masa-masa kelam dan kritik sosial era 1970 sampai sekarang.Â
Awal debutnya dimulai dengan merilis album bertajuk "Perjalanan" (1979),Â
Pria kelahiran 3 September 1961 ini menikah dengan Rosanna pada tahun 1980 yang setia menemaninya sampai sekarang dan memberikan 3 orang putra putri, yaitu : Galang Rambu Anarki, Annisa Cikal Rambu Basae dan Rayya Rambu Rabbani.Â
Iwan Fals menciptakan lagu untuk putra sulungnya Galang. Salah satu lagunya  berjudul Galang Rambu Anarki pada album Opini, yang bercerita tentang kondisi awal tahun 1982 yaitu pada hari kelahiran Galang (1 Januari 1982) di mana saat itu harga BBM melambung tinggi, sampai susu tak terbeli. Sementara banyak orang pintar cari subsidi.Â
Ketika putra sulungnya ini meninggal tahun 1997, Iwan Fals ditimpa kesedihan yang mendalam, sehingga kegiatan bermusiknya sempat vakum sampai kembali muncul tahun 2002.
Pada bulan April tahun 1984 Iwan Fals sempat diintrogasi dan ditahan selama 2 minggu gara-gara menyanyikan lagu Demokrasi Nasi di sebuah konser di Pekanbaru.Â
Lagu- lagu Iwan Fals banyak memberikan kritik sosial dengan lirik tajam seperti Oemar Bakri, yang menceritakan kehidupan guru pada masa itu.
Sarjana Muda, yang menceritakan susahnya mencari kerja berbekal ijazah sarjana muda.Â
Ethiopia, tentang bencana kelaparan di negeri itu.Â
22 Januari, tragedi kereta di Bintaro.Â
Dan lagu-lagu kritik sosialnya yang banyak menyoroti penderitaan rakyat di akar rumput, seperti Si Budi Kecil.Â
Saat bergabung dengan kelompok SWAMI dan merilis album bertajuk SWAMI pada 1989, nama Iwan semakin meroket dengan mencetak hits Bento dan Bongkar yang sangat fenomenal.
Bento ini menceritakan seorang konglomerat yang kerjanya menjagal apa saja sesukanya.Â
Sedang Bongkar bercerita tentang pembongkaran dalam penggusuran.Â
Perjalanan karier Iwan Fals terus menanjak ketika dia bergabung dengan Kantata Takwa pada 1990.
Lagu-lagu Iwan Fals juga diwarnai dengan lagu-lagu romantis bernuansa cinta. Baik cinta pada Ibu yang tertuang dalam lagu Ibu. Kemudian lagu yang lincah ruang seperti Mata indah bola pingpong, Buku Ini Aku pinjam, sampai lagu yang mengkritik kereta yang selalu terlambat, padahal sudah tergesa-gesa berangkat ke stasiun Kereta.Â
Beberapa tahun ini, Iwan Fals seperti tertidur dari lagu bernuansa kritik sosial yang tajam. Â Tapi baru-baru ini terdengar kabar yang menggembirakan akan kebangkitannya mengkritik kondisi carut marut lenyapnya minyak goreng yang misterius.Â
Bersama Raja Pane, Iwan Fals merilis lagu berjudul Minyak Goreng.Â
Minyak goreng menguap hilang dan lenyap di pasar
Ibu-ibu menggerutu pun bapak-bapaknya sudah barang tentu.
Dalam liriknya, Iwan Fals menggambarkan secara vulgar tentang lenyapnya minyak goreng di pasar. Membuat penderitaan bagi ibu-ibu yang tentu saja juga berimbas pada para suami atau bapak-bapak yang mungkin saja kegemarannya makan gorengan harus ditekan dan dikurangi. Bisa juga para istri menuntut uang belanja lebih yang membuat bapak-bapak menggerutu.Â
Aneh rasanya kok bisa hilang, kalaupun ada harganya selangit.
Usut punya usut ternyata ditimbun.
Oleh siapa? Konon oleh tujuh konglomerat  Aku kesal kok konglomerat tega.Â
Dalam lirik selanjutnya Iwan Fals menyatakan keheranannya tentang lenyapnya minyak goreng. Padahal produsen mengatakan kalau sudah berproduksi sesuai anjuran pemerintah dan telah mendistribusikan nya. Kenyataannya di pasar minyak goreng ( dengan harga murah) lenyap. Kalaupun ada, harganya justru melangit, jauh lebih mahal dari HET yang 14 ribu/liter atau 20 ribu per kemasan 2 liter.Â
Ternyata justru para konglomerat yang menimbun. Membeli dengan harga murah, tapi menimbunnya. Ketika minyak langka, baru dikeluarkan. Rakyat yang terjepit mau tak mau harus membeli berapapun harganya karena butuh. Seperti halnya para pedagang gorengan. Mereka yang harus mengais rupiah tak seberapa justru menjadi korban permainan konglomerat yang begitu tega memanfaatkan kesusahan mereka.Â
Aku resah kok polisi tidak berdaya
Aku marah kok pemerintah begitu mudah dipermainkan.Â
Aparat hukum dan pemerintah sepertinya kalah. Tak mampu mengatasi keadaan. Pemerintah lemah, bahkan mudah dipermainkan. Tidak ada ketegasan dan hanya angkat tangan, sementara penderitaan terus berjalan. Padahal bila dirunut, kasus ini begitu mudah dipecahkan dan diselesaikan.Â
Kasus seperti ini selalu berulang dan kembali terjadi. Padahal Indonesia kaya akan perkebunan sawit yang melimpah. Jutaan hektar kebun sawit, tapi kenapa minyak goreng mengulang hilang dan lenyap. Misteri yang menimbulkan tanda tanya. Mafia yang tak peduli orang susah, yang penting untung berlimpah, meski harus main kotor dan main mata. Antara siapa dan siapa? Entah
Aku geram kok kasus ini terus berulang  Ini seperti tikus mati di lumbung padi.
bahan kita banyak sawit jutaan hektar
Lalu kenapa hilang dan menghilang?
Ah dasar mafia, masa bodoh orang susah.
Keadaan seperti ini tentu menimbulkan kecurigaan yang mendasar. Keadaan berlarut tanpa langkah yang berarti justru kembali pada penanggung jawab. Pemerintah dan mafia. Di sini Iwan Fals terlihat kembali menemukan jati dirinya. Memberikan kritik pada pemerintah menyelesaikan masalah minyak. Dibutuhkan langkah nyata dan ketegasan untuk mengurai benang ruwet perminyak gorengan.
Mungkin mafia dan aparat ada main,
Pura-pura hilang tapi diumpetin
Tanpa ragu-ragu Iwan Fals memberikan solusi yang tegas dan jelas. Tembak langsung atau hukum seumur hidup bagi pelaku penjahat minyak goreng yang menyusahkan hampir seluruh rakyat yang sudah susah. Meski begitu, hukuman seperti itu saja belum tentu bisa membuat para oknum dan mafia jera. Tapi apa salahnya berusaha?
kok susah amat memberantasnya
Tembak saja atau hukum seumur hidup
Jera-jera
Ah belum tentu....Â
Bisa jadi lagu ini hanya lewat bagai angin lalu dan yang berwenang tetap tutup telinga. Tapi sang legenda musik itu telah bangkit dan menunjukkan taringnya, mengkritik lewat musik. Yang sempat terhimpit karena covid. Semoga empati dan sensitifitasnya menangkap fenomena dan menyoroti kesenjangan, akan kembali mewarnai blantika musik dan menjadi inspirasi untuk mengedepankan seni dan intelektualitas dalam memberikan kritik sosial yang tajam dan independen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H