Pagi ini di bawah patung Merlion.
Abang topeng monyet melangkah sepi.Dung.. Dung.. Dung.. Lirih samar ragu.
Antara memperjuangkan geliat perut, perlintasan roda sang kala dan pecinta satwa yang gigih menerpa Mongky sahabatnya.
Gelak canda abang tukang parkir membelah pagi. Motor dan mobil berderet menyingkap rejeki.
Terbayang senyum riang anak dan sambutan manis sang bini.
Nonik berbaju merah mengurai bahagia dalam pose penuh asa.Â
Menatap mega bertopang tangan mengerling manja.
Ku tersenyum penuh rasa, tercampur sendu. Duka dan bahagia berpadu.
Ada pribumi yang tergusur, ada ketahanan pangan yang hilang karena sawah tergerus, tertanam gedung kokoh atas nama modernisasi.Â
Tanah yang menyempit terhimpit pabrik raksasa pendulang rupiah.
Â
Ada bayang-bayang tangis orang utan dibelakang ibu-ibu yang antri minyak murah.Â
Habitat yang yang terkerat oleh ranumnya sawit. Ekosistem yang tertindas dan musnah.Â
Ada tangis gajah, singa dan macan yang terseret kejamnya piramida makanan.
Medsos ku merintih melihat teriakan buruh migran.Â
Mendulang emas di negeri orang, suami terlena mengejar layangan putus.Â
Mahligai indah, istana sakinah di buldozer . Runtuh dalam sekejap memperturutkan nafsu.Â
Kepalaku pening dengan carut marut panggung dunia.Â
Tapi, itulah hidup.... Kata temanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H