Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senja di Kedung Malem (2)

9 Januari 2020   10:03 Diperbarui: 10 Januari 2020   16:52 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elang Cemani pelan-pelan keluar dari persembunyiannya. Diamatinya lelaki yang sepertinya terlelap di atas batu besar di hadapannya. Acuh dan tak peduli sekitarnya. Elang sudah sering menjumpai banyak orang yang datang ke Kedung Malem, dari yang aneh-aneh sampai yang sekedar refreshing di kawasan air terjun ini.

Sebagian anak-anak muda yang suka bertualang, sebab untuk mencapai tempat ini memang relatif sulit. Sedang dirinya sering ke sini sekedar untuk menikmati keindahan alam dan bermuhasabah. Di samping melatih kebugarannya dan menguji stamina. 

Sebagai pimpinan sekaligus pemilik padepokan silat dirinya dituntut untuk selalu tampil prima dan menjaga kepekaan inderanya. Di sini Elang Cemani merasa bisa lebih fokus dan waskita mengakrabi alam.

Tak jarang Ia membersihkan tempat ini dari sampah dan kadang bunga sesajian dan makanan, karena Ia tak ingin tempat ini dijadikan tempat angker dan wingit. 

Elang Cemani terpaku mengamati tubuh manusia yang tergolek nyaman di batu besar di hadapannya. Dahinya mengernyit, seperti ada yang berusaha diingatnya. Wajahnya mendekat pada wajah yang terbaring di hadapannya. 

Haittttt.....tiba-tiba Damar Sukmo melompat dari tidurnya, tersadar ada orang berbaju hitam di dekatnya. Elang Cemani tak kalah waspada segera pasang kuda-kuda. Keduanya saling menatap tajam.

Mata mereka beradu pandang, mengukur kekuatan masing-masing. Saling mengamati dengan seksama, siap meladeni bila salah satu menyerang, tapi keduanya sama-sama bertahan pada posisinya masing-masing.

"Damar? Kaukah itu?" Elang cemani mengamati sosok di depannya lebih intens. Kewaskitaannya sudah berbicara dari tadi, kalau dirinya seperti mengenal sosok yang dari tadi diamatinya.

"E...lang? Damar Sukmo berteriak gembira. Dirangkulnya Elang dan ditepuk- tepuk punggungnya. Keduanya larut dalam kegembiraan. Teman lama yang tidak pernah saling tahu kabar masing-masing.

" Apa kabar Elang? Kamu masih gagah dan perkasa seperti dulu," Damar Sukmo menarik tangan Elang Cemani untuk sama-sama duduk di batu besar tempat dirinya tadi terbaring.

"Alhamdulillah baik, Damar. Ya begini ini orang desa. Biasa bekerja keras, jadinya kapalan dan tambah gelap," Elang tertawa. Diam-diam kagum pada sahabatnya yang masih terlihat muda, bersih dan tampan meski sudah seusia dirinya. Tangannyapun begitu halus saat berjabat tangan tadi, tidak seperti dirinya yang kapalan.

Damar ikut tertawa. Paham dengan sindiran yang dilontarkan Elang.

"Nyaman hidup di desa sepertimu, Lang. Semua masih alami dan segar. Di kota terlalu bising dan panas," diam-diam dirinya justru iri pada elang yang terlihat begitu tangguh dan kuat. Sementara dirinya merasa lemah dan tak berdaya termanjakan oleh segala fasilitas dan kemudahan yang dinikmatinya. 

"Tampaknya hidupmu begitu nyaman di kota, Damar," Elang tersenyum mengamati sahabatnya.

"Bagaimana kabar Miranti? Apa masih galak seperti dulu?" Damar tertawa, mengingat masa muda mereka.

"Dia sudah jadi istriku. Ternyata galaknya cuma sama kamu dan teman-teman yang suka menggodanya. Kalau sama aku, dia begitu lembut dan ngabekti," Elang terkekeh-kekeh, diikuti Damar. Miranti adalah salah satu teman seperguruan mereka dulu saat masih sama-sama berlatih silat.

"Bagaimana dengan istrimu Damar? Kenapa tak kau ajak?"

"Dia orang kota, Lang. Tak suka kalau kuajak menjelajah hutan seperti ini, sukanya shopping" Damar tertawa, untuk menutupi sedikit kegetiran dalam suaranya.

Sejujurnya saat ini dirinya tak tahu, istrinya ada di rumahnya yang mana. Rumahnya tersebar di hampir semua tempat, bahkan di luar negeri. Dirinya jarang bertemu Milly, istrinya. Urusan bisnis membuatnya selalu dinamis, tak pernah lama di satu tempat.

Terkadang dirinya merasa menjadi robot yang dipaksa terus bergerak oleh naluri manusia yang ingin meraup segalanya. Keberhasilan menangani bisnis membuat adrenalinnya terpacu.

Mungkin sekarang bukan lagi uang yang menjadi tujuannya. Tapi sebuah kepuasan ketika berhasil menyingkirkan pesaing bisnisnya dan membuat ekspansi usahanya semakin luas.

Soal perempuan  tak terhitung yang telah sukarela melayani kelelakiannya. Mempunyai istri baginya hanya formalitas.Semua kenikmatan dunia bisa didapatnya dengan mudah.

" Damar, kamu ini tak berubah. Sejak dulu sukanya melamun. Ayo mampir ke rumahku saja. Siapa tahu Miranti akan senang membuatkan kopi dan merebus ketela untuk kita," Elang Cemani menyikut sahabatnya yang segera tersadar.

"Oke, tawaran menarik. Ayuk...," Damar segera berdiri dan bergegas, meninggalkan elang yang hanya geleng-geleng kepala. Saking bersemangatnya, Damar Sukmo tak sadar menjejak batu berlumut. Dan, brakkk....!!"

"Damarrr....Elang Cemani sigap menangkap tangan sahabatnya. Tapi sedikit terlambat, kepala Damar terantuk batang pohon yang roboh, Damar Sukmo pingsan.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun