"Alhamdulillah baik, Damar. Ya begini ini orang desa. Biasa bekerja keras, jadinya kapalan dan tambah gelap," Elang tertawa. Diam-diam kagum pada sahabatnya yang masih terlihat muda, bersih dan tampan meski sudah seusia dirinya. Tangannyapun begitu halus saat berjabat tangan tadi, tidak seperti dirinya yang kapalan.
Damar ikut tertawa. Paham dengan sindiran yang dilontarkan Elang.
"Nyaman hidup di desa sepertimu, Lang. Semua masih alami dan segar. Di kota terlalu bising dan panas," diam-diam dirinya justru iri pada elang yang terlihat begitu tangguh dan kuat. Sementara dirinya merasa lemah dan tak berdaya termanjakan oleh segala fasilitas dan kemudahan yang dinikmatinya.Â
"Tampaknya hidupmu begitu nyaman di kota, Damar," Elang tersenyum mengamati sahabatnya.
"Bagaimana kabar Miranti? Apa masih galak seperti dulu?" Damar tertawa, mengingat masa muda mereka.
"Dia sudah jadi istriku. Ternyata galaknya cuma sama kamu dan teman-teman yang suka menggodanya. Kalau sama aku, dia begitu lembut dan ngabekti," Elang terkekeh-kekeh, diikuti Damar. Miranti adalah salah satu teman seperguruan mereka dulu saat masih sama-sama berlatih silat.
"Bagaimana dengan istrimu Damar? Kenapa tak kau ajak?"
"Dia orang kota, Lang. Tak suka kalau kuajak menjelajah hutan seperti ini, sukanya shopping" Damar tertawa, untuk menutupi sedikit kegetiran dalam suaranya.
Sejujurnya saat ini dirinya tak tahu, istrinya ada di rumahnya yang mana. Rumahnya tersebar di hampir semua tempat, bahkan di luar negeri. Dirinya jarang bertemu Milly, istrinya. Urusan bisnis membuatnya selalu dinamis, tak pernah lama di satu tempat.
Terkadang dirinya merasa menjadi robot yang dipaksa terus bergerak oleh naluri manusia yang ingin meraup segalanya. Keberhasilan menangani bisnis membuat adrenalinnya terpacu.
Mungkin sekarang bukan lagi uang yang menjadi tujuannya. Tapi sebuah kepuasan ketika berhasil menyingkirkan pesaing bisnisnya dan membuat ekspansi usahanya semakin luas.