Mohon tunggu...
Istiqomah
Istiqomah Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Istri dan Ibu

Menulis harus fokus setajam sorot lensa📸 menulis bagiku meruncingkan ujung pena🖋menulis itu menebarkan kebaikan🧕🏻Menulis itu meningkatkan keimanan📖

Selanjutnya

Tutup

Diary

Gaza dan Secuil Cinta Ketulusan Sejati

30 Agustus 2024   11:18 Diperbarui: 30 Agustus 2024   11:36 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sungguh betapa malangnya jika untuk makan dan minum serta hajat hajat yang lainnya tak bisa dilakukan. Seperti tepi barat Palestina yang hampir tidak ada yang menepis kabar dukanya. Mayat-mayat berjatuhan tanpa penanganan yang serius.

Sejak 7 Oktober lalu hingga hari ini kabar tentang Gaza masih ramai bergulir. Deklarasi Balfour yang dikeluarkan Inggris sejak Perang Dunia I menjadi polemik panjang tak berkesudahan. Meski pada awalnya ada pertentangan yang jelas dengan pernyataan samar-samarnya tentang pendirian "rumah nasional untuk yahudi".

Hal ini yang nantinya disimpulkan sebagai pendirian negara Israel. Pendirian negara Israel jelas menjadi kecaman karena memicu keterpaksaan penduduk asli. Tak peduli entitas apapun Israel keji menindas.

Berkali-kali kebusukan mereka yang terendus selalu memunculkan kemarahan bagi kita. Petinggi-petinggi besar dunia menutup mata bergandengan tangan dengan yahudi Israel berperang melawan warga Gaza. Walaupun alasan mereka adalah memerangi Hamas, tapi mana mungkin teroris adalah anak-anak dan ibu-ibu hamil.

Pemimpin muslim dunia lainnya mengecam. Sangat amat sulit melawan dengan senjata, solusi dua negara bagai pepesan kosong yang tak mungkin akan terwujud.

Buruk dan lemahnya kita sebagai pemeluk agama islam di dunia karena hilangnya perisai. Perang hittin yang gagah oleh pemimpin wibawa sudahlah tinggal sejarah. Al Ayyubi telah menjadi tokoh yang tenggelam dalam hati dan tak ada lagi yang seperti dirinya.

Kenestapaan yang kita saksikan justru tak membuat rakyat Gaza melemah. Mereka banyak kehilangan namun nyawa mereka yang hilang sia-sia semoga di tempatkan penuh berkah dan  damai.

Dunia ini bukan tempat mereka, tempat mereka adalah tempat yang indah dan berharap lebih baik dari dunia ini. Ramai netizen mengistilahkan bila mereka adalah penduduk surga yang terkepung di bumi.

Tanah ribath yang mereka tempati menjadi saksi ketulusan sejati. Munculnya kisah-kisah cinta mereka tumpah ruah di instagram dan tiktok. Aplikasi yang update setiap saat mengenai pemberitaan konflik Gaza.

Gaza berbeda. Dunia yang sibuk dengan berbagai dinamika hidup tidak ada di Gaza. Mereka hanya mendamba keluarga yang utuh. Seperti cuplikan video segerombolan anak-anak yang tengah diwawancarai tentang mimpi mimpi mereka.

Diantaranya mereka menjawab menginginkan makan bersama ibu, yang lain menimpali untuk duduk bersama makan dengan saudara tercinta. Senyuman tidak lepas dari wajah polos dan sederhananya itu. Tak terbendung air mata mengalir bahwa potret yang mereka impikan 'cuma' ingin bertemu.

Perhatian itu akhirnya menuai sikap hangat dari penjuru Barat. Peristiwa muallaf dan kisah lainnya yang bercucuran air mata membuka hati mereka menerima cahaya hidayah.

Barat, yang kita tahu pejabat zionis dan pendukung Israel adalah kediaman mereka. Bukan hanya itu depressi dan tingkat kriminalitas yang tinggi telah membuka tabir kelamnya.

Sepanjang sejarah, peristiwa korban perang pasti meninggalkan trauma dan kisah pilu. Sekali lagi Gaza berbeda, kita terlalu banyak mengedukasi diri tentang mengatasi trauma dan berbagai hal masalah mental lainnya. Nampaknya Gaza bisa menjadi pengingat diri bahwa masalah mental ditempa dengan berlapang dada dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Benar setiap orang dengan ujiannya masing-masing tapi dengan alibi itu rasanya akan sulit untuk berubah lebih baik.

Acapkali warga Gaza jika ditanyai kondisi mereka, kalimat tahmid dan tetap memuji Allah terus berhembus. Tabah dan berlapang dada meski sedih bergelayut lara pada hati mereka.

Mungkin memang kondisi atau sudah terlatih dari biasanya mereka tampak sabar dan tawakkal. Saya tak tega melihat kondisi naas pada bayi-bayi tak berdosa terpajang di beranda sosial media.

Kembali mengisahkan soal kisah cinta, sederhananya cinta pada dunia tak bisa kita genggam teramat sangat. Mungkin Gaza adalah wilayah yang memberikan kita hikmah bahwa dunia adalah tempat singgah. Di sana lebih nyata bahwa suatu masa kita akan kembali sepi dan bukan siapa-siapa.

Sesekali sayapun menyempatkan diskusi dengan guru-guru saya tentang persoalan Palestina. Jawaban mereka adalah butuhnya kepemimpinan yang satu dalam barisan yang benar.

Kondisi jihad dan perlawanan tanpa henti tak akan sanggup jika di atasi tanpa kekuatan militer. Meskipun boikot yang diserukan terus kita laksanakan namun itu bukan solusi hakiki untuk mengentaskan penjajahan yang biadab seperti Israel.

Puluhan bahkan jutaan video menyebar luas, biarpun kengerian yang tampak tapi cinta mereka terhadap sesama terus bersemi.

Keluarga memang tak lagi utuh, tapi semangat dan tulus akan tetap hidup meski tidak tahu kapan akan bertahan lama.

Bicara waktu yang mereka punya saat ini mereka berjuang dengan segenap yang tertinggal. Asa yang ada tak jua berhenti masih terdengar lantunan Al-Qur'an di kamp pengungsian mereka.
Hanya soal kesiapan saja. Mati jika tidak hari ini mungkin esok terjadi. Persiapan itu sudah sejak dulu terus bersemayam membayangi mereka.

Banyak PR bagi saya pribadi untuk membenahi diri. Apatah lagi harus membela mereka, kadang merasa bersalah karena belum bisa mengambil tindakan nyata.

Kiranya, tulisan ini bisa mewakili bahwa bagaimanapun cinta yang kita miliki pasti akan sirna jika sampai batas dunia.

Keluarga, pertemanan yang kita punya patut kita syukuri. Kadang kita membenci atau adu caci maki dengan alasan ego dan mengemis perhatian sesama. Bagi saya, memaknai erat kasih sayang keluarga lebih penting dari lainnya. Gaza membawa kesadaran itu seiring berjalannya waktu.

Gaza menghembuskan napas harapan yang panjang untuk memaknai hidup. Karena kehidupan di sana begitu mahal harganya. Selagi masih ada selagi masih mampu selagi kesempatan berbuat baik mereka maksimalkan.

Begitu kisah yang ada atas setiap pemberitaan tentang mereka. Satu lagi, keabadian yang tercipta bukanlah soal harta Gaza telah jelas menyemai cinta yang abadi. Secuil cinta yang mereka taburkan justru bersemayam abadi.

Menembus batas-batas negeri yang tak hingga dilalui. Semua tahu soal tentangnya, atau bahkan ingin merenggut kisah yang bisa merekam jauh melampau batas.

Duka dan lara semoga segera berakhir. Apapun ujungnya, doa-doa yang kita panjatkan pasti akan tersemogakan untuk Gaza dan rakyatnya kembali damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun