Perhatian itu akhirnya menuai sikap hangat dari penjuru Barat. Peristiwa muallaf dan kisah lainnya yang bercucuran air mata membuka hati mereka menerima cahaya hidayah.
Barat, yang kita tahu pejabat zionis dan pendukung Israel adalah kediaman mereka. Bukan hanya itu depressi dan tingkat kriminalitas yang tinggi telah membuka tabir kelamnya.
Sepanjang sejarah, peristiwa korban perang pasti meninggalkan trauma dan kisah pilu. Sekali lagi Gaza berbeda, kita terlalu banyak mengedukasi diri tentang mengatasi trauma dan berbagai hal masalah mental lainnya. Nampaknya Gaza bisa menjadi pengingat diri bahwa masalah mental ditempa dengan berlapang dada dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Benar setiap orang dengan ujiannya masing-masing tapi dengan alibi itu rasanya akan sulit untuk berubah lebih baik.
Acapkali warga Gaza jika ditanyai kondisi mereka, kalimat tahmid dan tetap memuji Allah terus berhembus. Tabah dan berlapang dada meski sedih bergelayut lara pada hati mereka.
Mungkin memang kondisi atau sudah terlatih dari biasanya mereka tampak sabar dan tawakkal. Saya tak tega melihat kondisi naas pada bayi-bayi tak berdosa terpajang di beranda sosial media.
Kembali mengisahkan soal kisah cinta, sederhananya cinta pada dunia tak bisa kita genggam teramat sangat. Mungkin Gaza adalah wilayah yang memberikan kita hikmah bahwa dunia adalah tempat singgah. Di sana lebih nyata bahwa suatu masa kita akan kembali sepi dan bukan siapa-siapa.
Sesekali sayapun menyempatkan diskusi dengan guru-guru saya tentang persoalan Palestina. Jawaban mereka adalah butuhnya kepemimpinan yang satu dalam barisan yang benar.
Kondisi jihad dan perlawanan tanpa henti tak akan sanggup jika di atasi tanpa kekuatan militer. Meskipun boikot yang diserukan terus kita laksanakan namun itu bukan solusi hakiki untuk mengentaskan penjajahan yang biadab seperti Israel.
Puluhan bahkan jutaan video menyebar luas, biarpun kengerian yang tampak tapi cinta mereka terhadap sesama terus bersemi.
Keluarga memang tak lagi utuh, tapi semangat dan tulus akan tetap hidup meski tidak tahu kapan akan bertahan lama.
Bicara waktu yang mereka punya saat ini mereka berjuang dengan segenap yang tertinggal. Asa yang ada tak jua berhenti masih terdengar lantunan Al-Qur'an di kamp pengungsian mereka.
Hanya soal kesiapan saja. Mati jika tidak hari ini mungkin esok terjadi. Persiapan itu sudah sejak dulu terus bersemayam membayangi mereka.