Terjadinya korupsi disebabkan oleh kemiskinan. Memang benar, Karena secara keseluruhan pelakunya tergolong orang kaya dan jauh dari kategori orang miskin, semuanya mempunyai kekayaan lebih dari orang biasa dan tentu saja mempunyai status sosial dan gengsi yang tinggi, karena hal itu menunjukkan bahwa dia menikmatinya. Reputasi di masyarakat sekitar; Kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi, terutama korupsi yang dilakukan oleh pekerja kelas menengah dan bawah. Faktor kemiskinan tersebut misalnya rendahnya pendapatan atau gaji yang tidak sebanding dengan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, serta mengatasi masalah tidak mencukupinya gaji dan pendapatan pekerja Indonesia.
Hal yang paling mudah didapat dari B.Soerdarso, misalnya, gaji pegawai negeri yang tidak baik, kondisi perekonomian yang buruk, pegawai yang buruk, administrasi dan kepemimpinan yang kacau sehingga berujung pada birokrasi yang rumit. Masih diakui oleh B.Soerdarso yaitu “apa yang dikemukakan selama ini bukanlah penyebab mutlak, karena masih banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi”. Namun, aspek yang paling nyata dari meluasnya korupsi di Indonesia adalah kurangnya gaji dan pendapatan bagi pekerja (Andy Hamzah). Saat ini penyebab terjadinya korupsi, khususnya korupsi ekonomi, tidak lagi ditentukan oleh satu faktor saja, melainkan akibat interaksi dan saling pengaruh dari berbagai faktor: faktor internal dan eksternal penyebab korupsi.
Faktor internal adalah sifat keadaan yang melekat pada diri manusia itu sendiri, seperti keserakahan, konsumsi, ketidakjujuran, lemahnya pengendalian diri, kebutaan dan lemahnya ketaatan, serta kesalahan dalam memahami ajaran agama. Sehubungan dengan faktor internal tersebut, Thucydides, Plato, dan Alitores berpendapat bahwa kecenderungan, terutama di kalangan pemimpin, menjadi serakah dan memikirkan keuntungan pribadi adalah penyebab utama korupsi. Arifin Omar tidak sependapat dengan alasan bahwa tidak ada konsep tanggung jawab kepada Tuhan atau manusia. Dari sinilah benih-benih korupsi ditaburkan.
Sedangkan faktor eksternal di sini mencakup keadaan di luar diri individu, seperti buruknya pengelolaan dan pengendalian yang kurang efektif dan efisien, rendahnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat, lemahnya praktik keagamaan dan etika, antara lain lemahnya sistem pendidikan, tidak efektifnya proses hukum. , dan proses hukum. Tidak adanya hukuman pidana yang keras dan sebagainya.
Pencegahan Korupsi
Mencegah terhadap korupsi merupakan tantangan yang penting dan sangat sulit. Dalam praktiknya, korupsi dilakukan oleh mereka yang menduduki jabatan atau kekuasaan publik, dan posisi ini memastikan bahwa para pelakunya relatif berpendidikan tinggi dan berpendidikan tinggi. Kelas menengah sosial atas. Sebagian orang berpendapat bahwa pemberantasan korupsi tidak mungkin dilakukan dan tidak pernah bermimpi bahwa korupsi akan dapat diberantas. Pendapat ini ada benarnya. Sebab, meski telah berupaya semaksimal mungkin, mereka tampaknya belum berhasil mengekang atau bahkan memberantas korupsi sama sekali. Kenyataannya, korupsi masih ada dan semakin meningkat. Korupsi memang tidak bisa diberantas sepenuhnya. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah penyakit korupsi semakin meluas. Mengurangi angka tindak pidana korupsi menjadi tujuan utama upaya pencegahan. Pertanyaannya adalah alternatif apa yang ada untuk mencegah kejahatan korupsi itu sendiri? Dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di atas, maka upaya pencegahan korupsi tidak dapat dilakukan hanya melalui hukum pidana saja, tetapi juga harus melibatkan upaya-upaya di luar hukum pidana. Hal ini dapat dimaklumi, karena persoalan korupsi bukan lagi sekedar persoalan hukum, melainkan persoalan sosial yang kompleks apalagi jika kita fokus pada penyebabnya sendiri, kita akan semakin yakin bahwa pencegahan korupsi harus dilakukan tidak hanya melalui penerapan hukum pidana, tetapi juga melalui keterpaduan dan pemfungsian aktivitas sosial serta ketersediaan segala sarana potensi positif masyarakat yang ada. Mencegah tindak pidana korupsi melalui hukum pidana berarti menetapkan hukum pidana sebagai pedoman yang harus dijalankan secara konsekuen, tanpa sedikitpun membatasi keterangan dan pernyataan yang terkandung dalam pasal-pasal tertentu. Oleh karena itu, setiap rumusan hukum memerlukan rumusan hukum yang menerapkan nilai-nilai yang diakui dan diterima serta dapat menjadi perisai dan penangkal penyakit korupsi.
Teori Asosiasi Diferensial
Teori asosiasi diferensial dikemukakan oleh sosiolog Amerika Edwin H. Sutherland. Teori ini didasarkan pada tiga teori. Salah satunya adalah Eco logical and Cultural Transmission Theory dari Shaw dan McKay Interaksionisme simbolik George Mead dan Culture Conflict Theory (William III dan McShane, 1998: 49-50). Pada tahun 1939, Sutherland memperkenalkan teori systematic criminal behavior, dan culture conflict, social disorganization, serta differential association. Romli Atmasmita menjelaskan, yang dimaksud dengan “terorganisir” adalah penjahat karir atau kegiatan kriminal terorganisir. Pengertian kejahatan terorganisir adalah tindakan menjunjung tinggi norma-norma yang telah ditetapkan dalam masyarakat (Atmasasmita, 1992: 13).
Tahun 1947, Sutherland mengganti istilah "disorganisasi sosial" dengan "organisasi sosial diferensial". Dengan mengubah istilah ini, Sutherland ingin menunjukkan adanya berbagai situasi sosial, masing-masing dengan nilai dan tujuan intrinsiknya sendiri, dan bagaimana situasi tersebut dapat digunakan sebagai cara berbeda untuk mencapai tujuan tersebut. Teori ini mengakui adanya berbagai jenis organisasi sosial, yang walaupun terpisah, bersaing satu sama lain berdasarkan norma dan nilai mereka sendiri. Sutherland percaya bahwa pentingnya asosiasi diferensial adalah bahwa isi pola yang diwakili oleh asosiasi berbeda dari orang ke orang. Dalam hal ini, terlihat bahwa isi pola model yang diperkenalkan dalam klub berbeda-beda tergantung orangnya. Namun hanya berurusan dengan penjahat belum tentu berujung pada perbuatan jahat, yang penting isi komunikasi dengan orang lain. (Widodo, 2013: 71) Menurutnya, teori asosiasi diferensial merupakan teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (Hadi, 2015: 6)
Dapat di simpulkan bahwa Sutherland mendalilkan bahwa manusia mengalami perubahan sesuai dengan keinginan dan pandangannya, yaitu dalam interaksinya dengan teman dekatnya. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka perbuatan jahat dapat terjadi melalui interaksi sosial.
Shuterland (1955) mengklasifikasikan asosiasi sebagai kelompok. Dalam pandangan Shuterland, kelompok adalah kelompok yang melakukan perbuatan (kejahatan) yang menyimpang dari norma. Inilah sebabnya berbicara tentang “asosiasi yang berbeda”, kelompok yang berbeda dari kelompok lain. Dalam kelompok asosiasi diferensial ini, kejahatan berasal dari proses pembelajaran. Belajar bukanlah suatu kegiatan belajar formal seperti pada pelajar atau mahasiswa. Proses pembelajaran ini bertujuan untuk meniru kejahatan yang dilakukan oleh anggota kelompok. Misalnya, jika terdapat lebih dari satu pejabat korup dalam suatu kelompok pejabat, maka himpunan pejabat korup tersebut disebut differensial asosiasi. Praktik dan perjanjian yang korup dapat dipelajari oleh anggota mana pun melalui peniruan. Dalam prosesnya, proses peniruan ini jelas menyebarkan perilaku tersebut ke luar kelompok, khususnya di masyarakat. Proses peniruan ini menyebabkan sebagian orang membentuk kelompok baru untuk melakukan kejahatan.