Mohon tunggu...
Istiani Aditia Rukmana
Istiani Aditia Rukmana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Mercu Buana Jakarta

Nama : Istiani Aditia Rukmana Nim : 41123010088 Jurusan : Teknik Sipil Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi Dan Etik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi sebagai Bentuk White Collar Creme

14 Desember 2023   15:05 Diperbarui: 14 Desember 2023   15:09 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://blogs.iu.edu

Nama : Istiani Aditia Rukmana

Nim : 41123010088

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Dosen Pengampu : APollo, Prof Dr, M.Si. Ak

Edwin H.Sutherland

Edwin H.Sutherland adalah seorang yang dianggap sebagai penulis buku kriminologi paling berpengaruh di abad ke-20. Prinsip asosiasi diferensial yang pertama kali dikemukakannya, yang menggambarkan perkembangan pola kebiasaan kriminal, dalam edisi ketiga berjudul Prinsip Kriminologi (1939: 4-8). dengan orang yang tidak melakukan kejahatan. Teori ini juga memuat unsur-unsur yang menyatakan bahwa konflik dan disorganisasi sosial merupakan penyebab mendasar terjadinya kejahatan dalam pola orang terkaitannya. Namun, ia berargumentasi bahwa kelas sosial merupakan faktor yang relevan, sehingga memunculkan ungkapan "Kriminal Keras Putih" dalam pidatonya. Kejahatannya hampir sama dengan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kehormatan dan status sosial yang tinggi pada masa ia menduduki jabatan tersebut'' (Buku 1949 Monograph White-Collar Crime).

Apa Itu White Collar Crime (Korupsi Kerah putih)

Pada dasarnya istilah White Colllar Crime yang mempunyai maksud lain adalah kejahatan kerah putih. Kerah putih adalah yang mempunyai jabatan. Kejahatan kerah putih sepintas dilakukan oleh orang-orang yang menduduki jabatan berwenang dan berpakaian rapi (berjas dan berkerah putih), sehingga “kejahatan kerah putih” disimbolkan sebagai jabatan yang diasosiasikan dengan orang tersebut.  Istilah "kejahatan kerah putih" diciptakan oleh sosiolog dan kriminolog Edwin Sutherland pada tahun 1930an. Sebelum Sutherland memperkenalkan konsep kejahatan kerah putih, masyarakat kelas atas dianggap mempunyai kapasitas yang kecil untuk terlibat dalam aktivitas kriminal tersebut. Keyakinan seperti itu sudah tertanam kuat dalam masyarakat sehingga ketika Sutherland menerbitkan buku pertamanya mengenai hal ini, beberapa perusahaan besar Amerika berhasil melakukan sensor ketat terhadap buku tersebut.

Istilah kejahatan kerah putih telah berkembang dengan konsep dan makna yang berbeda-beda.  Beberapa ahli menggunakan istilah organizational crime, organized crime, corporate crime, dan bussines crime sebagian lagi memakai istilah occupational deviance, corporate and government deviance, corporate dan illegal corporate behavior. Joanne Miller membagi kejahatan kerah putih menjadi empat kategori :

1. Kejahatan terorganisasi, khususnya kejahatan korporasi, dilakukan oleh pengelola untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan serta menimbulkan kerugian bagi masyarakat.Contohnya termasuk kejahatan lingkungan, kejahatan perpajakan, dan iklan yang menyesatkan.

 2. Kejahatan Pemerintahan.  Kategori kedua mencakup kejahatan yang dilakukan oleh pejabat dan birokrat, seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

3. Kejahatan akibat kerja, kejahatan dalam lingkungan profesi. Pelakunya meliputi kelompok profesi seperti dokter, akuntan, pengacara, notaris, dan berbagai kelompok profesi lainnya yang mempunyai kode etik tersendiri. Bentuk kejahatan ini biasa disebut malpraktik.

 4. Kejahatan Pekerjaan Perorangan. Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan pribadi.

Kriminolog yang pernah menemukan tentang White Collar Crime ( kejahatan kerah putih) antara lain:

1. Orang yang memperoleh kekayaan dengan melakukan perbuatan tercela, namun belum melakukan perbuatan yang dilarang oleh masyarakat. Sebenarnya menurut undang-undang mereka bersalah, namun di mata masyarakat dan menurut pendapat mereka tidak bersalah, sehingga perbuatannya tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana. Pelanggar undang-undang ini mungkin menyebut kesalahan mereka sebagai kejahatan, namun dengan berpihak pada moralitas, mereka dapat lolos dari hukuman dan kecaman (E. A Ross 1907 tentang Kejahatan).

2. Penjahat kelas atas adalah sekelompok penjahat yang status sosial, kecerdasan, dan keterampilan kriminalnya memungkinkan mereka untuk bergerak bebas di antara anggota masyarakat lainnya dan oleh karena itu tidak pernah teridentifikasi dengan jelas, dan yang mau tidak mau terhindar dari sorotan dan hukuman. Tidak ada perbedaan antara masyarakat dan penjahat tingkat tinggi, yang ada hanyalah wilayah abu-abu, hitam dan putih, yang membentuk bayangan alam bawah sadar. Di alam bayangan ini terdapat orang-orang yang bukan penjahat namun memiliki standar etika yang dipertanyakan. Beberapa dari orang-orang ini adalah penjahat semu yang selalu tunduk pada hukum tetapi bekerja dengan cara yang menimbulkan penderitaan seperti penjahat tradisional, misalnya pencopet dan perampok (Penjahat kelas atas Albert Morris 1935).

3. Shutterland menggunakan teori asosiasi diferensial untuk menyatakan bahwa kejahatan adalah proses pembelajaran. Selain mempelajari bisnis, para pelanggar hukum juga mempelajari teknik-teknik untuk melanggar hukum, disinilah terjadi pelanggaran hukum (Shuterland 1940, White Collar Crime).

4. Kejahatan korporasi. Korporasi harus dianggap sebagai organisasi besar yang melakukan kelakuan melanggar hukum. Cakupan dan pembagian tanggung jawab serta struktur organisasi perusahaan yang luas mendorong terjadinya penyimpangan organisasi. Selain lingkungan ekonomi berkaitan dengan kejahatan korporasi, terdapat pula interaksi antara lingkungan politik dengan kejahatan korporasi (MB Clinard dan P.C. Yeager 1980).

Dari pidato bersejarah Edwin H. Sutherland, "The White Collar ," 27 Desember 1939. Pidato tersebut mengungkapkan bahwa kejahatan kerah putih dilakukan oleh orang-orang dengan kedudukan  sosial tinggi dan dihormati dalam profesi dan jabatannya.Sutherland menekankan bahwa kejahatan kerah putih adalah kejahatan nyata. Kejahatan ini merupakan fenomena yang banyak ditemui di kalangan atas masyarakat modern. Karena tidak puas dengan harta benda yang diperolehnya melalui cara-cara yang baik (halal), mereka melakukan kejahatan di bidang ekonomi guna memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya untuk menambah kekayaannya. Sutherland mengingatkan, pelanggaran hukum  tidak hanya dilakukan oleh kalangan bawah, namun juga bisa dilakukan oleh kalangan atas yang menduduki jabatan lebih penting. Artinya tidak ada pengecualian terhadap kejahatan yang  dilakukan oleh siapapun, dimanapun, kapanpun, tanpa kehati-hatian.

Mengapa Terjadinya Korupsi ?

Sumber: koleksi pribadi canva.com
Sumber: koleksi pribadi canva.com

Terjadinya korupsi disebabkan oleh kemiskinan. Memang benar, Karena secara keseluruhan pelakunya tergolong orang kaya dan jauh dari kategori orang miskin, semuanya mempunyai kekayaan lebih dari orang biasa dan tentu saja mempunyai status sosial dan gengsi yang tinggi, karena hal itu menunjukkan bahwa dia menikmatinya. Reputasi di masyarakat sekitar; Kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi, terutama korupsi yang dilakukan oleh pekerja kelas menengah dan bawah. Faktor kemiskinan tersebut misalnya  rendahnya pendapatan atau gaji yang  tidak sebanding dengan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, serta mengatasi masalah tidak mencukupinya gaji dan pendapatan pekerja Indonesia.

 Hal yang paling mudah didapat dari B.Soerdarso, misalnya, gaji pegawai negeri yang tidak baik, kondisi perekonomian yang buruk, pegawai yang buruk, administrasi dan kepemimpinan yang kacau sehingga berujung pada birokrasi yang rumit.  Masih diakui oleh B.Soerdarso yaitu  “apa yang dikemukakan selama ini bukanlah penyebab mutlak, karena masih banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi”. Namun, aspek yang paling nyata dari meluasnya korupsi di Indonesia adalah kurangnya gaji dan pendapatan bagi pekerja (Andy Hamzah). Saat ini penyebab terjadinya korupsi, khususnya korupsi ekonomi, tidak lagi ditentukan oleh satu faktor saja, melainkan akibat interaksi dan saling pengaruh  dari berbagai faktor: faktor internal dan eksternal penyebab korupsi.

Faktor internal  adalah sifat keadaan yang melekat pada diri manusia itu sendiri, seperti keserakahan, konsumsi, ketidakjujuran, lemahnya pengendalian diri, kebutaan dan lemahnya ketaatan, serta kesalahan dalam memahami ajaran agama. Sehubungan dengan faktor internal tersebut, Thucydides, Plato, dan Alitores berpendapat bahwa kecenderungan, terutama di kalangan pemimpin, menjadi serakah dan memikirkan keuntungan pribadi adalah penyebab utama korupsi. Arifin Omar tidak sependapat dengan alasan bahwa tidak ada konsep tanggung jawab kepada Tuhan atau manusia. Dari sinilah benih-benih korupsi ditaburkan.

Sedangkan faktor eksternal di sini mencakup keadaan di luar diri individu, seperti buruknya pengelolaan dan pengendalian yang kurang efektif dan efisien, rendahnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat, lemahnya praktik keagamaan dan etika, antara lain lemahnya sistem pendidikan, tidak efektifnya proses hukum. , dan proses hukum. Tidak adanya hukuman pidana yang keras dan sebagainya.

Pencegahan Korupsi 

Mencegah terhadap korupsi merupakan tantangan yang penting dan sangat sulit. Dalam praktiknya, korupsi dilakukan oleh mereka yang menduduki jabatan atau kekuasaan publik, dan posisi ini memastikan bahwa para pelakunya relatif berpendidikan tinggi dan berpendidikan tinggi. Kelas menengah sosial atas. Sebagian orang  berpendapat bahwa pemberantasan korupsi tidak mungkin dilakukan dan tidak pernah bermimpi bahwa korupsi akan dapat diberantas. Pendapat ini ada benarnya. Sebab, meski telah berupaya semaksimal mungkin, mereka tampaknya belum berhasil mengekang atau bahkan memberantas korupsi sama sekali. Kenyataannya, korupsi masih ada dan semakin meningkat. Korupsi memang tidak bisa diberantas sepenuhnya. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah  penyakit korupsi semakin meluas. Mengurangi angka tindak pidana korupsi menjadi tujuan utama  upaya pencegahan. Pertanyaannya adalah alternatif apa yang ada untuk mencegah kejahatan korupsi itu sendiri? Dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi  di atas, maka upaya pencegahan korupsi tidak dapat dilakukan hanya melalui hukum pidana saja, tetapi juga harus melibatkan upaya-upaya di luar hukum pidana. Hal ini dapat dimaklumi, karena persoalan korupsi bukan lagi sekedar persoalan hukum, melainkan persoalan sosial yang kompleks apalagi jika kita fokus pada penyebabnya sendiri, kita akan semakin yakin bahwa pencegahan korupsi harus dilakukan tidak hanya melalui penerapan hukum pidana, tetapi juga melalui keterpaduan dan pemfungsian aktivitas sosial serta ketersediaan segala sarana potensi positif masyarakat yang ada. Mencegah tindak pidana korupsi melalui  hukum pidana berarti menetapkan hukum pidana sebagai pedoman yang harus dijalankan secara konsekuen, tanpa sedikitpun membatasi keterangan dan pernyataan yang terkandung dalam pasal-pasal tertentu. Oleh karena itu, setiap rumusan hukum memerlukan rumusan hukum yang menerapkan nilai-nilai yang diakui dan diterima serta dapat menjadi perisai dan penangkal penyakit korupsi.

Teori Asosiasi Diferensial

Teori asosiasi diferensial  dikemukakan oleh  sosiolog Amerika  Edwin H. Sutherland. Teori ini didasarkan pada tiga teori. Salah satunya adalah  Eco logical and Cultural Transmission Theory dari Shaw dan McKay Interaksionisme simbolik George Mead dan Culture Conflict Theory  (William III dan McShane, 1998: 49-50). Pada tahun 1939, Sutherland memperkenalkan teori systematic criminal behavior, dan culture conflict, social disorganization, serta differential association.  Romli Atmasmita menjelaskan, yang dimaksud dengan “terorganisir” adalah penjahat karir atau kegiatan kriminal terorganisir. Pengertian kejahatan terorganisir adalah tindakan menjunjung tinggi norma-norma yang telah ditetapkan dalam masyarakat (Atmasasmita, 1992: 13).

Tahun 1947, Sutherland mengganti istilah "disorganisasi sosial" dengan "organisasi sosial diferensial". Dengan mengubah istilah ini, Sutherland ingin menunjukkan adanya berbagai situasi sosial, masing-masing dengan nilai dan tujuan intrinsiknya sendiri, dan bagaimana situasi tersebut dapat digunakan sebagai cara berbeda untuk  mencapai tujuan tersebut. Teori ini mengakui adanya berbagai jenis organisasi sosial, yang walaupun terpisah, bersaing satu sama lain  berdasarkan norma dan nilai mereka sendiri. Sutherland percaya bahwa pentingnya asosiasi diferensial adalah  bahwa isi pola yang diwakili oleh asosiasi berbeda dari orang ke orang. Dalam hal ini, terlihat bahwa isi pola model yang diperkenalkan dalam klub berbeda-beda tergantung orangnya. Namun hanya berurusan dengan penjahat belum tentu berujung pada perbuatan jahat, yang  penting  isi  komunikasi dengan orang lain. (Widodo, 2013: 71) Menurutnya, teori asosiasi diferensial merupakan teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (Hadi, 2015: 6)

Dapat di simpulkan bahwa Sutherland mendalilkan bahwa manusia mengalami perubahan sesuai dengan keinginan dan pandangannya, yaitu dalam interaksinya dengan teman dekatnya. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka perbuatan jahat dapat terjadi melalui interaksi sosial.

Shuterland (1955) mengklasifikasikan asosiasi sebagai  kelompok. Dalam pandangan Shuterland, kelompok adalah kelompok yang melakukan perbuatan (kejahatan) yang menyimpang dari norma. Inilah sebabnya  berbicara tentang “asosiasi yang berbeda”, kelompok yang berbeda dari kelompok lain. Dalam kelompok asosiasi diferensial ini, kejahatan berasal dari proses pembelajaran. Belajar bukanlah suatu kegiatan belajar formal seperti pada pelajar atau mahasiswa. Proses pembelajaran ini bertujuan untuk meniru kejahatan yang dilakukan oleh anggota kelompok. Misalnya, jika terdapat lebih dari satu  pejabat korup dalam suatu kelompok pejabat, maka himpunan pejabat korup tersebut disebut differensial asosiasi. Praktik dan perjanjian yang  korup  dapat dipelajari oleh anggota mana pun melalui peniruan. Dalam prosesnya, proses peniruan   ini jelas menyebarkan perilaku tersebut ke luar kelompok, khususnya di  masyarakat. Proses peniruan ini menyebabkan sebagian orang membentuk kelompok baru untuk melakukan kejahatan.

Teori asosiasi diferensial mengutamakan proses pembelajaran manusia sehingga kejahatan, seperti perilaku manusia lainnya. Menurut Rose Giallombardo, ide dasar yang mendasari teori ini adalah: “Suatu kejahatan dikatakan benar bila ada keadaan yang ditentukan oleh orang yang menjadikannya pantas" (Hadisuprapto, 1997: 19). Dalam hal ini yang dikehendaki dan yang dilakukan orang tersebut menurut pemahamannya adalah Perilaku jahat nampaknya terjadi dalam  situasi tertentu, tergantung bagaimana Anda mendefinisikannya.  Berdasarkan teori asosiasi diferensial, perilaku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi. Subjek yang dipelajari pada kelompok ini adalah teknik  melakukan kejahatan dan alasan (nilai, motivasi, rasionalisasi, dan perilaku) yang mendukung kejahatannya(Widodo, 2013: 72). Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa  teori asosiasi diferensial mengakui sifat dan pengaruh pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia. Teori ini bersifat sosiologis karena berfokus pada hubungan sosial seperti frekuensi, kekuatan, dan peran asosiasi.

Teori ini tidak bergantung pada kualitas atau karakteristik individu atau pada sifat dunia ilmiah yang konkrit dan terlihat. Menurut Sutherland, keberadaan berbagai organisasi sosial di masyarakat sekitar merupakan fakta mendasar. Dengan kata lain, kombinasi individu yang berbeda menimbulkan kejahatan, yang merupakan konsekuensi logis dari prinsip belajar melalui kombinasi tersebut (pembelajaran sosial). Oleh karena itu, asosiasi yang berbeda berlaku untuk kelompok  kriminal dan antikriminal.

Sutherland menerbitkan sembilan makalah tentang proses terjadinya perilaku jahat, seperti yang dikemukakan oleh Baltras (Widodo, 2013: 72) 1.

 1. Perilaku buruk, seperti perilaku lainnya, dipelajari dari orang lain.  Perilaku buruk bukanlah perilaku yang diwariskan.

 2. Perilaku buruk dipelajari ketika kita berinteraksi dengan orang lain melalui proses komunikasi langsung dan tidak langsung.

 3. Bagian terpenting dalam menyelidiki perbuatan jahat dilakukan dalam kelompok kecil, yang lebih efektif dibandingkan alat komunikasi lain seperti film atau surat kabar.

 4.Penyidikan perbuatan jahat meliputi teknik, motif, dan dorongan untuk melakukan kejahatan.

 5. Arah  motif dan dorongan tertentu dipertimbangkan melalui pengertian peraturan hukum. Dalam masyarakat, anak-anak mungkin akan bersentuhan dengan orang-orang yang menganggap peraturan hukum dan hal-hal yang diatur oleh undang-undang sebagai hal yang harus dilindungi; Terkadang kita bersentuhan dengan orang-orang yang menganggap bahwa sesuatu itu harus dilindungi dan harus berhati-hati dalam memberikan diri Anda kesempatan untuk melakukan kejahatan.

 6. Orang menjadi nakal karena mereka melebih-lebihkan anggapan bahwa mereka memandang supremasi hukum sebagai  peluang untuk melakukan kejahatan, bukan memandang hukum sebagai sesuatu yang harus  dipatuhi.

 7. Berbagai asosiasi ini bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas. Oleh karena itu, dampak negatif dari kelompok sebaya berbeda-beda tergantung pada frekuensi, durasi, pengalaman, dan intensitas pertemuan sosial.

 8. Proses mempelajari perilaku jahat melalui asosiasi dengan  kejahatan dan pola pemberantasan kejahatan mencakup semua mekanisme yang digunakan dalam setiap proses pembelajaran. Oleh karena itu, mempelajari perilaku jahat tidak sebatas mencoba meniru perilaku tersebut.

 9. Sekalipun perilaku jahat mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai umum, perilaku tidak jahat juga mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama; Hal ini tidak dapat dijelaskan secara visual. Motivasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan berbeda dengan perilaku mereka pada umumnya, dan pemahaman dasar mereka juga berbeda.

Sutherland menjelaskan, tingkah laku adalah sesuatu yang kita pelajari dari orang lain melalui proses interaksi dan komunikasi, dan bukan merupakan faktor yang diturunkan atau diwariskan  sejak lahir. Karena perbuatan jahat yang diteliti adalah cara-cara melakukan kejahatan beserta motif dan pembenarannya, termasuk pengertian peraturan hukum, maka peraturan hukum digunakan untuk menggambarkan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus dilihat. Dan ikuti. Perilaku ini bervariasi tergantung pada frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas interaksi dengan kelompok intim. Motivasi seorang yang terlibat kenakalan berbeda dengan perilaku umum, begitu pula pemahaman dasarnya. Berdasarkan teori di atas, Sutherland dengan tegas membantah teori Cesare Lombrosso yang menyatakan bahwa perilaku jahat merupakan bawaan sejak lahir pada manusia (orang jahat). Menurut Sutherland, perilaku jahat dapat dipelajari dari orang lain melalui proses interaksi dan komunikasi. Karena karena his basics premise was that delinquency, like any other form of behavior, is a product of social interaction. Seperti kebanyakan perilaku, perilaku buruk adalah akibat dari interaksi sosial.Pendapat Sutherland didukung oleh Glaser yang menyatakan bahwa kejahatan dapat diinvestigasi tidak hanya  melalui interaksi langsung antar individu, tetapi juga ketika individu tersebut tidak bertemu dan media massa bertindak sebagai perantara. (Williams, 1991: 288).

Daftar Pustaka :

F.Firdausi. (2016). EKSISTENSI ‘WHITE COLLAR CRIME’ DI INDONESIA:. 97.

Neliti. (2019). VOL.3 NO.1 JUNI 2019 28. WHITE COLLAR CRIME (KEJAHATAN KERAH PUTIH) DALAM PENEGAKAN, 11.

Qamar, H. D. (JUNE 2018). Penerapan Teori-Teori Kriminologi dalam Penanggulangan Kejahatan Siber (Cyber Crime). Pandecta Research Law Journal 13(1):10-23, 13.

Muhammad, R. (April 2015). Korupsi Sebagai Suatu Bentuk White Collar Crime. 11

Reurink, A. (17 Januari 2017). Kejahatan Kerah Putih: Asal Usul Dan Evolusi Sebuah Konsep. Konsep Dan Potensinya Untuk Analisis Kejahatan , 6.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun