Peran teknologi dalam membentuk warga negara
cerdas di era digital
Penulis : Istianah Merdeka SariÂ
Email   : istianahmerdekasari@gmail.com
Siapa diri kita sebenarnya? Dan apa tujuan hidup kita? Sudahkah bermanfaat bagi orang
lain? Apakah pernah terlintas di benak anda pertanyaan tersebut? Jika pertanyaan-
pertanyaan tersebut terlintas di benak anda, artinya anda mengalami krisis identitas. Krisis
identitas tidak hanya di alami pada fase remaja, hingga fase lansia pun juga dapat
mengalami krisis identitas. Namun, krisis identitas pada fase remaja yang lebih sering kita
jumpai. Remaja mengalami krisis identitas karena memiliki masalah dengan kemampuan
nya mengendalikan emosi, bermasalah menempatkan diri dengan teman sebayanya, tidak
percaya diri dengan penampilannya, tidak mendapat figur yang tepat untuk mencapai
identitas diri yang baik. Saat remaja mengalami krisis identitas, perilaku yang di cerminkan
dapat mengacu pada tindakan-tindakan negatif.
Berita yang dilansir dari Tribunnews pada 26 november 2018, remaja perempuan mengaku
konsumsi narkoba karena terpengaruh teman. Gadis 19 tahun asal perumahan Bumi Sedati
Indah, Desa Pepe, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, diringkus polisi usai berpesta sabu di
Kavling Pepe Indah, Desa Pepe, Sedati, Sidoarjo. Setelah di gelandang polisi, gadis itu
mengaku gemar mengkonsumsi sabu karena di ajak teman-temannya, terutama pacarnya.
"ikut-ikutan aja, karena di ajak". Jawab remaja putri tersebut di sela menjalani pemeriksaan
di Polsek Sedati.
Fenomena ini menunjukan remaja mudah dipengaruhi temannya. Suharto, Mulyana, &
Nurwati (2018) Masa remaja merupakan tahap pencarian identitas, karena merupakan tahap
peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa remaja seorang
individu tidak lagi tergantung kepada orang tuanya. Remaja sudah mulai berhubungan
dengan lingkungan sosialnya khususnya teman sebaya. Orang tua ikut serta dalam
pembentukan identitas diri seorang remaja, dikarenakan kehadiran orang tua dapat
membantu remaja membentuk identitas remaja secara positif. Akan tetapi ada kalanya
orang tua tidak dapat hadir dalam kehidupan remaja, salah satunya harus bekerja diluar
negeri dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian identitas remaja lebih banyak diisi
oleh teman sebayanya. Hasil assessment menunjukkan bahwa remaja yang tidak diasuh
oleh kedua orang tuanya cenderung mempunyai identitas yang negatif. Hal ini dikarenakan
pengaruh teman sebaya yang besar. Dengan demikian diperlukan treatment untuk
membantu remaja membentuk identitas dirinya serta mengurangi pengaruh negatif dari
lingkungan sosial. Treatment bisa di lakukan dengan memberikan pengarahan oleh guru
bimbingan konseling (BK).
Patricia H. Miller (2011) menjelaskan dalam teori Erikson, sejak lahir hingga lansia di dalam
diri kita mempunyai rasa tanya "who am i", siapa saya? Hingga dewasa atau lansia pun kita
bisa mengalami krisis identitas. Menurut Erikson, tema utama kehidupan kita adalah
pencarian identitas. Identitas adalah pemahaman dan penerimaan diri terhadap diri dan
masyarakat. Pada buku erikson yang berjudul psychobiagraphis berisi tentang bagaimana
seseorang menunjukan jati dirinya di tengah-tengah lingkungan sosial. Erikson percaya
pada ilustrasi Hitler bahwa pentingnya mengetahui seperti apa jati diri kita, dan seperti apa
karakter positif yang kita miliki. Erikson menjelaskan emerging adulthood seseorang tidak
hanya dilihat dari usia. Seseorang yang berumur sekitar 20 tahun bisa dikatakan dewasa
secara umur. Namun, belum tentu dewasa secara sikap dan perilaku.
Ketika seseorang berada pada fase remaja dan mengalami krisis identitas, orang tua
ataupun guru BK dapat memberikan pengarahan terhadap anak. Sehingga anak dapat
memahami identitas dirinya / jati dirinya.
Siapa diri kita sebenarnya? Dan apa tujuan hidup kita? Sudahkah bermanfaat bagi orang
lain? Apakah pernah terlintas di benak anda pertanyaan tersebut? Jika pertanyaan-
pertanyaan tersebut terlintas di benak anda, artinya anda mengalami krisis identitas. Krisis
identitas tidak hanya di alami pada fase remaja, hingga fase lansia pun juga dapat
mengalami krisis identitas. Namun, krisis identitas pada fase remaja yang lebih sering kita
jumpai. Remaja mengalami krisis identitas karena memiliki masalah dengan kemampuan
nya mengendalikan emosi, bermasalah menempatkan diri dengan teman sebayanya, tidak
percaya diri dengan penampilannya, tidak mendapat figur yang tepat untuk mencapai
identitas diri yang baik. Saat remaja mengalami krisis identitas, perilaku yang di cerminkan
dapat mengacu pada tindakan-tindakan negatif.
Berita yang dilansir dari Tribunnews pada 26 november 2018, remaja perempuan mengaku
konsumsi narkoba karena terpengaruh teman. Gadis 19 tahun asal perumahan Bumi Sedati
Indah, Desa Pepe, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, diringkus polisi usai berpesta sabu di
Kavling Pepe Indah, Desa Pepe, Sedati, Sidoarjo. Setelah di gelandang polisi, gadis itu
mengaku gemar mengkonsumsi sabu karena di ajak teman-temannya, terutama pacarnya.
"ikut-ikutan aja, karena di ajak". Jawab remaja putri tersebut di sela menjalani pemeriksaan
di Polsek Sedati.
Fenomena ini menunjukan remaja mudah dipengaruhi temannya. Suharto, Mulyana, &
Nurwati (2018) Masa remaja merupakan tahap pencarian identitas, karena merupakan tahap
peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa remaja seorang
individu tidak lagi tergantung kepada orang tuanya. Remaja sudah mulai berhubungan
dengan lingkungan sosialnya khususnya teman sebaya. Orang tua ikut serta dalam
pembentukan identitas diri seorang remaja, dikarenakan kehadiran orang tua dapat
membantu remaja membentuk identitas remaja secara positif. Akan tetapi ada kalanya
orang tua tidak dapat hadir dalam kehidupan remaja, salah satunya harus bekerja diluar
negeri dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian identitas remaja lebih banyak diisi
oleh teman sebayanya. Hasil assessment menunjukkan bahwa remaja yang tidak diasuh
oleh kedua orang tuanya cenderung mempunyai identitas yang negatif. Hal ini dikarenakan
pengaruh teman sebaya yang besar. Dengan demikian diperlukan treatment untuk
membantu remaja membentuk identitas dirinya serta mengurangi pengaruh negatif dari
lingkungan sosial. Treatment bisa di lakukan dengan memberikan pengarahan oleh guru
bimbingan konseling (BK).
Patricia H. Miller (2011) menjelaskan dalam teori Erikson, sejak lahir hingga lansia di dalam
diri kita mempunyai rasa tanya "who am i", siapa saya? Hingga dewasa atau lansia pun kita
bisa mengalami krisis identitas. Menurut Erikson, tema utama kehidupan kita adalah
pencarian identitas. Identitas adalah pemahaman dan penerimaan diri terhadap diri dan
masyarakat. Pada buku erikson yang berjudul psychobiagraphis berisi tentang bagaimana
seseorang menunjukan jati dirinya di tengah-tengah lingkungan sosial. Erikson percaya
pada ilustrasi Hitler bahwa pentingnya mengetahui seperti apa jati diri kita, dan seperti apa
karakter positif yang kita miliki. Erikson menjelaskan emerging adulthood seseorang tidak
hanya dilihat dari usia. Seseorang yang berumur sekitar 20 tahun bisa dikatakan dewasa
secara umur. Namun, belum tentu dewasa secara sikap dan perilaku.
Ketika seseorang berada pada fase remaja dan mengalami krisis identitas, orang tua
ataupun guru BK dapat memberikan pengarahan terhadap anak. Sehingga anak dapat
memahami identitas dirinya / jati dirinya.
iapa diri kita sebenarnya? Dan apa tujuan hidup kita? Sudahkah bermanfaat bagi orang
lain? Apakah pernah terlintas di benak anda pertanyaan tersebut? Jika pertanyaan-
pertanyaan tersebut terlintas di benak anda, artinya anda mengalami krisis identitas. Krisis
identitas tidak hanya di alami pada fase remaja, hingga fase lansia pun juga dapat
mengalami krisis identitas. Namun, krisis identitas pada fase remaja yang lebih sering kita
jumpai. Remaja mengalami krisis identitas karena memiliki masalah dengan kemampuan
nya mengendalikan emosi, bermasalah menempatkan diri dengan teman sebayanya, tidak
percaya diri dengan penampilannya, tidak mendapat figur yang tepat untuk mencapai
identitas diri yang baik. Saat remaja mengalami krisis identitas, perilaku yang di cerminkan
dapat mengacu pada tindakan-tindakan negatif.
Berita yang dilansir dari Tribunnews pada 26 november 2018, remaja perempuan mengaku
konsumsi narkoba karena terpengaruh teman. Gadis 19 tahun asal perumahan Bumi Sedati
Indah, Desa Pepe, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, diringkus polisi usai berpesta sabu di
Kavling Pepe Indah, Desa Pepe, Sedati, Sidoarjo. Setelah di gelandang polisi, gadis itu
mengaku gemar mengkonsumsi sabu karena di ajak teman-temannya, terutama pacarnya.
"ikut-ikutan aja, karena di ajak". Jawab remaja putri tersebut di sela menjalani pemeriksaan
di Polsek Sedati.
Fenomena ini menunjukan remaja mudah dipengaruhi temannya. Suharto, Mulyana, &
Nurwati (2018) Masa remaja merupakan tahap pencarian identitas, karena merupakan tahap
peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa remaja seorang
individu tidak lagi tergantung kepada orang tuanya. Remaja sudah mulai berhubungan
dengan lingkungan sosialnya khususnya teman sebaya. Orang tua ikut serta dalam
pembentukan identitas diri seorang remaja, dikarenakan kehadiran orang tua dapat
membantu remaja membentuk identitas remaja secara positif. Akan tetapi ada kalanya
orang tua tidak dapat hadir dalam kehidupan remaja, salah satunya harus bekerja diluar
negeri dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian identitas remaja lebih banyak diisi
oleh teman sebayanya. Hasil assessment menunjukkan bahwa remaja yang tidak diasuh
oleh kedua orang tuanya cenderung mempunyai identitas yang negatif. Hal ini dikarenakan
pengaruh teman sebaya yang besar. Dengan demikian diperlukan treatment untuk
membantu remaja membentuk identitas dirinya serta mengurangi pengaruh negatif dari
lingkungan sosial. Treatment bisa di lakukan dengan memberikan pengarahan oleh guru
bimbingan konseling (BK).
Patricia H. Miller (2011) menjelaskan dalam teori Erikson, sejak lahir hingga lansia di dalam
diri kita mempunyai rasa tanya "who am i", siapa saya? Hingga dewasa atau lansia pun kita
bisa mengalami krisis identitas. Menurut Erikson, tema utama kehidupan kita adalah
pencarian identitas. Identitas adalah pemahaman dan penerimaan diri terhadap diri dan
masyarakat. Pada buku erikson yang berjudul psychobiagraphis berisi tentang bagaimana
seseorang menunjukan jati dirinya di tengah-tengah lingkungan sosial. Erikson percaya
pada ilustrasi Hitler bahwa pentingnya mengetahui seperti apa jati diri kita, dan seperti apa
karakter positif yang kita miliki. Erikson menjelaskan emerging adulthood seseorang tidak
hanya dilihat dari usia. Seseorang yang berumur sekitar 20 tahun bisa dikatakan dewasa
secara umur. Namun, belum tentu dewasa secara sikap dan perilaku.
Ketika seseorang berada pada fase remaja dan mengalami krisis identitas, orang tua
ataupun guru BK dapat memberikan pengarahan terhadap anak. Sehingga anak dapat
memahami identitas dirinya / jati dirinya
Abstrak
Era digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, memperoleh informasi, dan berpartisipasi dalam demokrasi. Artikel ini membahas peran teknologi dalam membentuk warga negara cerdas, yaitu individu yang mampu berpikir kritis, memanfaatkan teknologi secara bijak, dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat. Dengan menggunakan data terbaru dari penelitian 2023--2024, artikel ini menyoroti manfaat, tantangan, dan solusi untuk memaksimalkan potensi teknologi dalam mendukung pembentukan warga negara cerdas.
A.Pendahuluan
Kemajuan teknologi, terutama dalam bidang internet dan perangkat pintar, telah menciptakan berbagai peluang untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun, dampaknya terhadap pembentukan karakter warga negara belum sepenuhnya dipahami, khususnya pada generasi muda. Dalam konteks ini, warga negara cerdas adalah individu yang tidak hanya mahir menggunakan teknologi, tetapi juga memiliki pemahaman kritis terhadap informasi serta mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Artikel ini akan menjawab pertanyaan utama: bagaimana teknologi dapat membantu membentuk warga negara cerdas? Melalui kajian multidisiplin yang mencakup pendidikan, komunikasi, dan partisipasi politik, artikel ini akan memberikan wawasan yang komprehensif mengenai topik ini.
B.Pembahasan
 Teknologi sebagai Sarana Pendidikan Warga Negara
Pendidikan adalah fondasi utama dalam pembentukan warga negara cerdas. Platform pembelajaran digital seperti Google Classroom, Coursera, dan Edmodo telah membuka akses pendidikan untuk semua kalangan. Menurut penelitian UNESCO tahun 2023, penggunaan teknologi dalam pendidikan meningkatkan partisipasi siswa hingga 30% di negara-negara berkembang. Namun, tantangan seperti kesenjangan digital (digital divide) masih perlu diatasi.
Keamanan Data dan Hak Digital Era digital juga membawa risiko terkait privasi dan keamanan data. Banyak warga yang belum memahami hak digital mereka, seperti hak untuk menghapus data pribadi. Pada tahun 2024, sebuah laporan oleh European Digital Rights (EDRi) mencatat peningkatan kasus pelanggaran data sebesar 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Pemerintah dan institusi perlu memperkuat regulasi terkait perlindungan data untuk memastikan bahwa teknologi digunakan secara aman.
 Media Sosial dan Partisipasi Demokrasi
 Media sosial telah menjadi alat penting untuk menyuarakan opini dan memperluas partisipasi demokrasi. Platform seperti Twitter dan Instagram memungkinkan warga negara untuk berdiskusi tentang isu-isu penting secara lebih luas. Penelitian oleh Pew Research Center (2023) menemukan bahwa 65% responden berusia 15-25 tahun di berbagai negara menggunakan media sosial untuk menyuarakan pendapat mereka tentang kebijakan pemerintah.
Namun, literasi digital menjadi tantangan utama. Kurangnya kemampuan untuk membedakan informasi yang benar dari hoaks berpotensi memecah belah masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkenalkan program literasi digital sejak dini.
.
Solusi untuk Mengoptimalkan Teknologi
*Peningkatan Literasi Digital: Program pelatihan untuk siswa dan masyarakat umum tentang cara menggunakan teknologi dengan kritis.
*Pemerataan Akses Teknologi: Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk menyediakan infrastruktur digital yang merata.
*Regulasi yang Ketat: Perlindungan data dan kebijakan penggunaan teknologi harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan.
*Kolaborasi Multisektoral: Kerja sama antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital yang inklusif.
 Media Sosial dan Partisipasi Demokrasi
 Media sosial telah menjadi alat penting untuk menyuarakan opini dan memperluas partisipasi demokrasi. Platform seperti Twitter dan Instagram memungkinkan warga negara untuk berdiskusi tentang isu-isu penting secara lebih luas. Penelitian oleh Pew Research Center (2023) menemukan bahwa 65% responden berusia 15-25 tahun di berbagai negara menggunakan media sosial untuk menyuarakan pendapat mereka tentang kebijakan pemerintah.
Namun, literasi digital menjadi tantangan utama. Kurangnya kemampuan untuk membedakan informasi yang benar dari hoaks berpotensi memecah belah masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkenalkan program literasi digital sejak dini.
usia
Persentase Partisipasi Politik Online
15-18 TAHUN55%
19-25 TAHUN65%
26-35 TAHUN50%
Inisiatif global seperti "Digital Democracy Project" telah membantu mendidik generasi muda tentang pentingnya berpartisipasi dalam politik dengan cara yang bertanggung jawab
Keamanan Data dan Hak Digital
Era digital juga membawa risiko terkait privasi dan keamanan data. Banyak warga yang belum memahami hak digital mereka, seperti hak untuk menghapus data pribadi. Pada tahun 2024, sebuah laporan oleh European Digital Rights (EDRi) mencatat peningkatan kasus pelanggaran data sebesar 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Pemerintah dan institusi perlu memperkuat regulasi terkait perlindungan data untuk memastikan bahwa teknologi digunakan secara aman. Kesadaran masyarakat tentang hak digital juga perlu ditingkatkan.
 Kampanye publik seperti "Your Data, Your Right" telah membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perlindungan privasi.
Kesimpulan dan penutup
Teknologi memiliki potensi besar dalam membentuk warga negara cerdas, tetapi manfaatnya tidak dapat dirasakan secara maksimal tanpa literasi digital yang memadai, pemerataan akses, dan perlindungan privasi. Pendidikan dan regulasi yang tepat menjadi kunci untuk menghadapi tantangan di era digital. Generasi muda sebagai pengguna utama teknologi harus diberdayakan untuk memanfaatkan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab. Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat diperlukan untuk memastikan bahwa teknologi digunakan sebagai alat yang memberdayakan, bukan memecah belah. Dengan pendekatan yang terintegrasi, kita dapat memaksimalkan manfaat teknologi dalam membentuk warga negara yang cerdas, kritis, dan berkontribusi positif bagi masa depan bangsa. Melalui upaya bersama, era digital dapat menjadi peluang, bukan ancaman, bagi perkembangan masyarakat.
C.Daftar pustaka
https://www.unesco.org/en/digital-education
.
https://www.edps.europa.eu/annual-reports_en
.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI