"Oh, gitu ya! Maklumlah aku nggak sempat nonton tivi. Acaranya padat merayap. Pertemuan ini itu dari pagi sampai malam. Lelah sih! Tapi banyak dapat ilmu dan hadiah gratisan. Lumayan hehehe!" kata saya sambil menraktir Dyah di kantin kampus.
Hadiahnya memang banyak. Makan, minum, hotel, dan akomodasi lainnya ditanggung panitia. Menghadiri pertemuan di Bappenas, IPTN (PTDI sekarang), UI, beberapa kementerian, dll. Diajak jalan-jalan ke Bandung, TMII, Sea World, dan Ancol. Naik berbagai wahana hiburan di Ancol. Saya juga dapat banyak suvenir. Antara lain pulpen eksklusif dari MPR dan sepaket buku biografi Pak Harto, Presiden RI saat itu. Dari kampus Brawijaya dapat uang jajan. Dari panitia nasional diamplopi uang juga. Pokoknya saya jadi mahasiswa berduit saat itu. Seneng banget, dong!
Saya berada di Istana Merdeka adalah sebuah kenyataan. Pintu gerbang kenyataan itu saya awali dengan mimpi berkepanjangan. Yaitu, sejak saya SD saat nonton tivi acara Agustusan seperti cerita saya di awal tulisan ini. Ketika awal kuliah saya sudah aktif di kegiatan Senat Mahasiswa sebagai sekretaris umum. Hobi saya menulis membawa saya menjadi wartawan kampus dan aktif juga mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Prestasi demi prestasi saya ukir satu persatu. Akhirnya, setelah melalui seleksi yang ketat, saya terpilih sebagai mahasiswa berprestasi mewakili almamater saya ke tingkat nasional.
Saya diundang untuk menghadiri momen Upacara Pengibaran Bendera Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI (menjelang pukul 10 pagi) dan Upacara Penurunan Bendera Merah Putih (menjelang pukul 5 sore). Saya hadir di Istana Merdeka, Jakarta, bersama para mahasiswa berprestasi dari provinsi lainnya.
Saya benar-benar berada di Istana Merdeka untuk merayakan impian saya. Ini adalah makna upacara bendera yang sesungguhnya. Bahwa, saya boleh bermimpi besar dan berhak untuk mewujudkannya. Saya berhak untuk setia pada mimpi saya sampai menjadi kenyataan. Hambatan yang ada adalah tantangan untuk saya taklukkan, bukan dihindari.
Ngapain saja saya di Istana Merdeka? Saya duduk di barisan undangan mengikuti seluruh rangkaian upacara. Dari sejak pasukan kehormatan pembawa panji-panji negara masuk lapangan saja suasana sudah hikmat. Jejak langkah Paskibraka seolah-olah menderapkan cita-cita mereka jadi nyata. Bendera merah putih yang berkibar serasa memutar film perjuangan para pahlawan mencapai kemerdekaan. Kumandang lagu Indonesia Raya membuat tenggorokan saya tercekat menahan haru. Mars-mars perjuangan kembali menggugah semangat. Mengheningkan cipta sebagai bentuk penghormatan jasa pahlawan. Berdoa adalah cara paling tepat untuk bersyukur bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi atas kehendak Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Meskipun saya bukan menjadi Paskibraka, tetapi sensasi bangga saya tetap sama. Saya bangga bisa melihat langsung Pak Harto menjadi inspektur upacara. Bangga bisa foto bareng Pak Habibie, Pak Jop Ave, Pak Wardiman, Pak Fadel, Mas Guruh, dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Kebanggaan ini sering saya ceritakan ke murid-murid saya agar mereka terbiasa membangun mimpi besar dan membuat strategi untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Sebab, kesuksesan itu milik siapa saja yang mau sukses.