Tinggal di desa dengan segala keterbatasannya tidak melulu merugikan. Bisa jadi justru menguntungkan. Ini yang saya alami. Saya tinggal di Klakah sejak SD sampai SMP. Klakah adalah sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Lamongan, Jawa Timur. Gunung Lamongan ini memiliki banyak kawah yang disebut Ranu (danau). Antara lain Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali. Saya dan teman-teman biasa bermain di ranu-ranu ini. Kadang kami mengayuh sepeda untuk menuju ke sana, tetapi seringnya kami berjalan kaki.
Zaman tahun delapan puluhan dulu, tidak banyak warga di desa saya yang mempunyai telepon rumah atau tivi berwarna. Jika ada warga yang memiliki telepon rumah atau tivi berwarna, maka bisa dipastikan dia termasuk orang berada. Bisa dari kalangan pegawai bank, petani pemilik lahan, atau PNS mapan. Keluarga saya tidak memiliki kedua fasilitas itu. Namun, saya tetap bisa menikmati tivi hitam putih yang ada di rumah. Apalagi saat ditayangkan acara upacara bendera 17 Agustus di Jakarta.
Saya, bocah dua belas tahun itu asyik menonton siaran tivi upacara peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diadakan di Istana Merdeka, Jakarta. Saya susah beranjak dari tempat duduk di ruang tamu. Istilah zaman now adalah malas gerak atau mager. Sejak lulus SD, saya tidak melewatkan acara nasional itu terutama menonton pasukan pengibar bendera pusaka pada pagi hari dan penurunan bendera pada sore hari. Mereka dikenal dengan sebutan Paskibraka atau Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Paskibraka nasional anggotanya terdiri dari pasangan putra-putri terbaik dari setiap provinsi. Selain mengikuti latihan fisik baris berbaris, anggota Paskibraka juga mengikuti latihan mental, spiritual, dan kepemimpinan. Biasa disebut Latihan Pandu Ibu-Berpancasila. Latihan ini bertujuan mempersiapkan anggota Paskibraka menjadi putra-putri Indonesia terbaik yang akan menjadi generasi penerus dan calon-calon pemimpin masa depan.
Saya sangat kagum dengan pemuda-pemudi Paskibraka yang berbaris rapi, tegap, dan gagah dalam menjalankan tugas negara. Sudah pasti terbersit keinginan saya untuk menjadi anggota Paskibraka. Tapi apalah daya, peluang anak-anak kota mendapat kesempatan untuk ikut seleksi Paskibraka jauh lebih besar dibanding anak-anak desa seperti saya. Hanya satu yang saya tekadkan bahwa suatu saat nanti saya akan berada di tempat Paskibraka bertugas, Istana Merdeka. Entah dalam acara apa dan dengan cara bagaimana. Bangunan impian ini saya kuatkan selama bertahun-tahun.
***
"Selamat ya Istanti! Keren ih bisa masuk tivi," sambut beberapa sahabat saya di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Kala itu tahun 1994. Tahun di mana saya banyak menorehkan prestasi.
"Maksudnya?" saya balik bertanya.
"Pas di Istana Merdeka tuh, kamera tivi menyorot para undangan. Nah, salah satunya kamu," kata Dyah, sahabat karib saya.
"Oh, gitu ya! Maklumlah aku nggak sempat nonton tivi. Acaranya padat merayap. Pertemuan ini itu dari pagi sampai malam. Lelah sih! Tapi banyak dapat ilmu dan hadiah gratisan. Lumayan hehehe!" kata saya sambil menraktir Dyah di kantin kampus.
Hadiahnya memang banyak. Makan, minum, hotel, dan akomodasi lainnya ditanggung panitia. Menghadiri pertemuan di Bappenas, IPTN (PTDI sekarang), UI, beberapa kementerian, dll. Diajak jalan-jalan ke Bandung, TMII, Sea World, dan Ancol. Naik berbagai wahana hiburan di Ancol. Saya juga dapat banyak suvenir. Antara lain pulpen eksklusif dari MPR dan sepaket buku biografi Pak Harto, Presiden RI saat itu. Dari kampus Brawijaya dapat uang jajan. Dari panitia nasional diamplopi uang juga. Pokoknya saya jadi mahasiswa berduit saat itu. Seneng banget, dong!
Saya berada di Istana Merdeka adalah sebuah kenyataan. Pintu gerbang kenyataan itu saya awali dengan mimpi berkepanjangan. Yaitu, sejak saya SD saat nonton tivi acara Agustusan seperti cerita saya di awal tulisan ini. Ketika awal kuliah saya sudah aktif di kegiatan Senat Mahasiswa sebagai sekretaris umum. Hobi saya menulis membawa saya menjadi wartawan kampus dan aktif juga mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Prestasi demi prestasi saya ukir satu persatu. Akhirnya, setelah melalui seleksi yang ketat, saya terpilih sebagai mahasiswa berprestasi mewakili almamater saya ke tingkat nasional.
Saya diundang untuk menghadiri momen Upacara Pengibaran Bendera Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI (menjelang pukul 10 pagi) dan Upacara Penurunan Bendera Merah Putih (menjelang pukul 5 sore). Saya hadir di Istana Merdeka, Jakarta, bersama para mahasiswa berprestasi dari provinsi lainnya.
Saya benar-benar berada di Istana Merdeka untuk merayakan impian saya. Ini adalah makna upacara bendera yang sesungguhnya. Bahwa, saya boleh bermimpi besar dan berhak untuk mewujudkannya. Saya berhak untuk setia pada mimpi saya sampai menjadi kenyataan. Hambatan yang ada adalah tantangan untuk saya taklukkan, bukan dihindari.
Ngapain saja saya di Istana Merdeka? Saya duduk di barisan undangan mengikuti seluruh rangkaian upacara. Dari sejak pasukan kehormatan pembawa panji-panji negara masuk lapangan saja suasana sudah hikmat. Jejak langkah Paskibraka seolah-olah menderapkan cita-cita mereka jadi nyata. Bendera merah putih yang berkibar serasa memutar film perjuangan para pahlawan mencapai kemerdekaan. Kumandang lagu Indonesia Raya membuat tenggorokan saya tercekat menahan haru. Mars-mars perjuangan kembali menggugah semangat. Mengheningkan cipta sebagai bentuk penghormatan jasa pahlawan. Berdoa adalah cara paling tepat untuk bersyukur bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi atas kehendak Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Meskipun saya bukan menjadi Paskibraka, tetapi sensasi bangga saya tetap sama. Saya bangga bisa melihat langsung Pak Harto menjadi inspektur upacara. Bangga bisa foto bareng Pak Habibie, Pak Jop Ave, Pak Wardiman, Pak Fadel, Mas Guruh, dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Kebanggaan ini sering saya ceritakan ke murid-murid saya agar mereka terbiasa membangun mimpi besar dan membuat strategi untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Sebab, kesuksesan itu milik siapa saja yang mau sukses.
Saya juga bangga melihat teman-teman mahasiswa berprestasi seangkatan dulu yang mewarnai panggung kehidupan Indonesia saat ini. Seperti Fadli Zon, seorang politikus dan mantan aktivis Indonesia yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sejak 2014. Saldi Isra, seorang akademisi dan hakim Indonesia yang menjabat  sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sejak 2023. Atau Usman Kansong, mantan wartawan Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Juga kawan-kawan saya lainnya yang berkiprah di bidang mereka masing-masing. Semoga mereka diberi kemudahan menjalankan amanah untuk Indonesia yang lebih baik.
Terima kasih Kopaja71 atas undangan Lomba Opini Pengalaman dan Makna Upacara Bendera dalam rangka menyambut HUT RI ke-78. Merdeka!
 ***
Biodata Penulis. Istanti Surviani adalah seorang ibu rumah tangguh yang berdomisili di Bandung Barat. Ia suka menulis dan hobi jalan-jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H