Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Merangkul Papua, Menyejahterakan Papua

24 Agustus 2019   17:23 Diperbarui: 24 Agustus 2019   17:26 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara, Iriana Widodo, membeli jambu di Pasar Mama-mama, Papua. Mari kita rangkul saudara-saudara kita dari Papua, untuk bersama-sama berkontribusi pada bangsa ini. Foto: Biro Pers Media Kepresidenan/Agus Suparto dari beritasatu.com

Jokowi Ingin Rangkul Warga Papua dan Papua Barat dengan Pendekatan Kesejahteraan. Itulah content yang dilansir papua.tribunnews.com, pada Kamis (22/08/2019) pukul 11:33. Merangkul serta menyejahterakan tentulah langkah yang positif, karena warga Papua dan Papua Barat adalah saudara kita.

Mahasiswa dalam Asrama

Kita tahu, reaksi Joko Widodo tersebut adalah bagian dari upaya untuk meredakan situasi. Itu bermula dari peristiwa pada Sabtu (17/08/2019), ketika 43 mahasiswa Papua dibawa ke Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur, dari Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya. Polisi membawa mereka, untuk mendalami kasus perusakan dan pembuangan bendera Merah Putih ke dalam selokan, yang diduga dilakukan oleh oknum mahasiswa Papua.

Bacalah Polisi Angkut Paksa 43 Orang dari Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya yang dilansir kompas.com pada Sabtu (17/08/2019) pukul 20:37 WIB. Itu adalah 1 dari 3 content tentang peristiwa di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya, yang dilansir kompas.com pada Sabtu (17/08/2019) tersebut. Pada hari itu, ada 13 content tentang Papua, dari 338 total content di kompas.com.

Esoknya, pada Minggu (18/08/2019) pukul 21:04 WIB, saya mem-posting tulisan Ingat Christian Ansaka, Sahabat Saya dari Papua di Kompasiana. Tulisan itu tentang persahabatan serta persaudaraan saya dengan Christian Ansaka, yang berasal dari Papua. Tiga hari kemudian, pada Rabu (21/08/2019) pukul 00:39 WIB, Kompasiana melansir Topik Pilihan: Kita Semua Bersaudara.

Kemudian, pada Kamis (22/08/2019) pukul 11:33, papua.tribunnews.com melansir Jokowi Ingin Rangkul Warga Papua dan Papua Barat dengan Pendekatan Kesejahteraan. Setidaknya, semua itu menggugah kita untuk kembali memaknai, betapa pentingnya merawat persahabatan serta persaudaraan, dengan saudara kita yang berasal dari Papua.

Dalam Polisi Angkut Paksa 43 Orang dari Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya di atas, kita bisa mencermati, ada penembakan gas air mata, ada menjebol pintu pagar asrama, dan ada angkut paksa. Itu kan asrama mahasiswa yang dihuni oleh mahasiswa. Mereka datang dari Papua ke Surabaya, tentulah untuk belajar, untuk menimba ilmu. Patut kah tindakan yang demikian ditimpakan kepada mereka selaku mahasiswa?

Menurut saya, penembakan gas air mata, menjebol pintu pagar asrama, dan angkut paksa jauh dari rasa persaudaraan. Apalagi mereka sedang berada dalam asrama, bukan di jalanan. Dalam content yang dilansir kompas.com tersebut, saya tidak menemukan tindakan mahasiswa Papua itu, yang mencederai orang lain.

Mencederai Hari Kemerdekaan

Pada Kamis (22/08/2019) pukul 15:01 WIB, kompas.com melansir Jokowi Minta Panglima Tindak Oknum Anggota TNI yang Rasis ke Mahasiswa Papua dan pada Jumat (23/08/2019) pukul 11:17 WIB, kompas.com juga melansir Menanti Polri Usut Aksi Rasisme ke Mahasiswa Papua Sesuai Perintah Jokowi... Kedua content tersebut menunjukkan kepada kita bahwa memang telah terjadi tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya.

Dengan demikian, selain penembakan gas air mata, menjebol pintu pagar asrama, dan angkut paksa, juga ada aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di asrama tersebut. Semua perlakuan itu tentulah sangat jauh dari rasa persaudaraan. Dan, semua itu terjadi pada Sabtu (17/08/2019), di saat kita semua sedang merayakan Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan.

Itu peristiwa yang menyedihkan, juga merisaukan. Lebih menyedihkan lagi, karena peristiwa itu terjadi di Surabaya, di kota kelahiran Presiden Soekarno, sang Proklamator negara ini. Kita tahu, Soekarno lahir di Surabaya, pada 6 Juni 1901. Rumah kelahirannya berada di Kampung Pandean, Gang IV Nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Jarak Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan dengan rumah kelahiran Presiden Soekarno di Kampung Pandean, hanya sekitar 3,8 kilometer. Hanya butuh sekitar 12 menit berkendara, melalui Jalan Kusuma Bangsa, untuk menjangkau jarak tersebut. Sayang, spirit kemerdekaan justru punah di asrama mahasiswa tersebut, di hari perayaan kemerdekaan.

Mereka yang menembakkan gas air mata, menjebol pintu pagar asrama, mengangkut paksa, dan melakukan aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua, sesungguhnya telah mencederai kemerdekaan ini. Saya jadi ingat pidato Bung Karno tentang Kebangkitan Nasional pada tahun 1958 dan tahun 1963 di Alun-alun Bandung, Jawa Barat.

Aktor dan sutradara teater Wawan Sofwan menampilkan monolog pidato Bung Karno tersebut di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada Senin (20/05/2019) malam. Sungguh merinding mendengar orasi Bung Karno: persatuan dan kesatuan adalah satu-satunya cara agar bangsa ini lepas dari hinaan serta penindasan bangsa lain.

Merangkul, Menyejahterakan

Bung Karno merinci dalam pidatonya, bahwa bangsa Indonesia adalah kesatuan dari barat sampai ke timur. Imperialisme telah memecah belah kesatuan itu lewat adu domba. Antar suku dibuat saling membenci, pun antar golongan. Dan, peristiwa di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya tersebut menunjukkan bahwa sebagian dari kita belum sepenuhnya lepas dari masa imperialisme.

Maka, ketika Jokowi Ingin Rangkul Warga Papua dan Papua Barat dengan Pendekatan Kesejahteraan, sebagaimana dilansir papua.tribunnews.com pada Kamis (22/08/2019), sudah seharusnya keinginan itu juga menjadi keinginan kita bersama. Mari kita rangkul saudara-saudara kita dari Papua, untuk bersama-sama berkontribusi pada bangsa ini.

Presiden Joko Widodo telah memilih pendekatan kesejahteraan, sebagai upaya untuk tujuan tersebut. Dari penelusuran saya, pendekatan kesejahteraan sesungguhnya sudah sejak lama digaungkan. Bacalah Papua Butuh Pendekatan Kesejahteraan, Bukan Keamanan di aburizalbakrie.id, pada Kamis (22/09/2011). Juga Pemerintah akan Lakukan Pendekatan Kesejahteraan di Papua pada Kamis (31/03/2016) 06:57 WIB, di republika.co.id.

Bukan hanya itu. Kita juga bisa mencermati Pendekatan Kesejahteraan Jokowi Didukung Masyarakat Papua pada Selasa (04/12/2018) 19:55 WIB di mediaindonesia.com. Termasuk Status Nduga Papua Merah, Jokowi Gunakan Pendekatan Kesejahteraan pada Rabu (05/12/2018) 12:01 WIB di tempo.co. Dan Masyarakat Papua Masih Butuh Pendekatan Kesejahteraan pada Kamis (06/12/2018) 16:04 WIB di beritasatu.com.

Artinya, pendekatan kesejahteraan terhadap Papua, sudah menjadi kesadaran para pemangku kepentingan di negeri ini. Bahkan sudah sejak lama. Pertanyaannya, apakah eksekusi pendekatan tersebut, sudah tepat untuk Papua? Apakah warga Papua sudah terlibat dalam pendekatan itu atau baru sebatas obyek semata? Barangkali hal itu patut dicermati dengan saksama oleh para pemangku kepentingan.

Tokoh Katolik dan Budayawan Indonesia, Franz Magnis Suseno, punya pertanyaan yang signifikan tentang Papua. Ia bertanya: sudah hampir 60 tahun Papua dan Papua Barat selalu jadi bagian di bawah pemerintah Indonesia, kok tetap belum damai? Pertanyaan itu diajukan Franz Magnis Suseno dalam konferensi pers tentang Papua dari Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/08/2019).

Franz Magnis Suseno kemudian menjelaskan, masyarakat Papua merasa tak dianggap, sehingga insiden rasisme yang terjadi di Surabaya berujung pada kerusuhan. Mereka sering merasa tidak dianggap dan itu terlihat dalam security approach. Kalau ada kerusuhan di Papua, selalu banyak orang tewas daripada di tempat lain. Mereka merasa bahwa mereka tak dianggap.

Jabaran Franz Magnis Suseno tersebut, sudah sepatutnya kita cermati bersama, untuk bersama merangkul Papua.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 24 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun