Itu peristiwa yang menyedihkan, juga merisaukan. Lebih menyedihkan lagi, karena peristiwa itu terjadi di Surabaya, di kota kelahiran Presiden Soekarno, sang Proklamator negara ini. Kita tahu, Soekarno lahir di Surabaya, pada 6 Juni 1901. Rumah kelahirannya berada di Kampung Pandean, Gang IV Nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Jarak Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan dengan rumah kelahiran Presiden Soekarno di Kampung Pandean, hanya sekitar 3,8 kilometer. Hanya butuh sekitar 12 menit berkendara, melalui Jalan Kusuma Bangsa, untuk menjangkau jarak tersebut. Sayang, spirit kemerdekaan justru punah di asrama mahasiswa tersebut, di hari perayaan kemerdekaan.
Mereka yang menembakkan gas air mata, menjebol pintu pagar asrama, mengangkut paksa, dan melakukan aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua, sesungguhnya telah mencederai kemerdekaan ini. Saya jadi ingat pidato Bung Karno tentang Kebangkitan Nasional pada tahun 1958 dan tahun 1963 di Alun-alun Bandung, Jawa Barat.
Aktor dan sutradara teater Wawan Sofwan menampilkan monolog pidato Bung Karno tersebut di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada Senin (20/05/2019) malam. Sungguh merinding mendengar orasi Bung Karno: persatuan dan kesatuan adalah satu-satunya cara agar bangsa ini lepas dari hinaan serta penindasan bangsa lain.
Merangkul, Menyejahterakan
Bung Karno merinci dalam pidatonya, bahwa bangsa Indonesia adalah kesatuan dari barat sampai ke timur. Imperialisme telah memecah belah kesatuan itu lewat adu domba. Antar suku dibuat saling membenci, pun antar golongan. Dan, peristiwa di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya tersebut menunjukkan bahwa sebagian dari kita belum sepenuhnya lepas dari masa imperialisme.
Maka, ketika Jokowi Ingin Rangkul Warga Papua dan Papua Barat dengan Pendekatan Kesejahteraan, sebagaimana dilansir papua.tribunnews.com pada Kamis (22/08/2019), sudah seharusnya keinginan itu juga menjadi keinginan kita bersama. Mari kita rangkul saudara-saudara kita dari Papua, untuk bersama-sama berkontribusi pada bangsa ini.
Presiden Joko Widodo telah memilih pendekatan kesejahteraan, sebagai upaya untuk tujuan tersebut. Dari penelusuran saya, pendekatan kesejahteraan sesungguhnya sudah sejak lama digaungkan. Bacalah Papua Butuh Pendekatan Kesejahteraan, Bukan Keamanan di aburizalbakrie.id, pada Kamis (22/09/2011). Juga Pemerintah akan Lakukan Pendekatan Kesejahteraan di Papua pada Kamis (31/03/2016) 06:57 WIB, di republika.co.id.
Bukan hanya itu. Kita juga bisa mencermati Pendekatan Kesejahteraan Jokowi Didukung Masyarakat Papua pada Selasa (04/12/2018) 19:55 WIB di mediaindonesia.com. Termasuk Status Nduga Papua Merah, Jokowi Gunakan Pendekatan Kesejahteraan pada Rabu (05/12/2018) 12:01 WIB di tempo.co. Dan Masyarakat Papua Masih Butuh Pendekatan Kesejahteraan pada Kamis (06/12/2018) 16:04 WIB di beritasatu.com.
Artinya, pendekatan kesejahteraan terhadap Papua, sudah menjadi kesadaran para pemangku kepentingan di negeri ini. Bahkan sudah sejak lama. Pertanyaannya, apakah eksekusi pendekatan tersebut, sudah tepat untuk Papua? Apakah warga Papua sudah terlibat dalam pendekatan itu atau baru sebatas obyek semata? Barangkali hal itu patut dicermati dengan saksama oleh para pemangku kepentingan.
Tokoh Katolik dan Budayawan Indonesia, Franz Magnis Suseno, punya pertanyaan yang signifikan tentang Papua. Ia bertanya: sudah hampir 60 tahun Papua dan Papua Barat selalu jadi bagian di bawah pemerintah Indonesia, kok tetap belum damai? Pertanyaan itu diajukan Franz Magnis Suseno dalam konferensi pers tentang Papua dari Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/08/2019).