Kini, yang menghina, mahasiswa. Dulu, anak tukang sate. Ada peningkatan level pendidikan. Kini, dengan instagram. Dulu, dengan facebook. Ada upgrade media. Inikah penanda peningkatan kecerdasan para penghina?
Pada Kamis (24/08/2017), Presiden Joko Widodo mengumpulkan pegiat media sosial di Istana Negara, Jakarta Pusat. Pertemuan berlangsung tertutup. Pada Kamis (07/09/2017), akun instagram @warga_biasa menghina Ibu Negara, Iriana Jokowi. Hanya di rentang 15 hari, penghina itu menantang Presiden. Ia seakan ingin menunjukkan garis batas yang tegas. Ada pegiat media sosial yang sekubu dengan Presiden dan ada pula pegiat media sosial yang berseberangan dengan Presiden. Yang sekubu menghamburkan puja-puji, yang berseberangan menebar caci-maki.
Puja-puji vs Caci-maki
Puja-puji, meski over dosis, meski di luar nalar, dibiarkan berhamburan. Ada yang muak, ada pula yang sampai muntah. Tapi, tetap saja dibiarkan berhamburan. Sebaliknya, begitu ada caci-maki, seluruh pasang mata serta hidung aparat mengendus ke segala penjuru negeri. Sayang, hukum kita hanya penuh dengan pasal untuk menjerat caci-maki. Tapi, sama sekali tidak ada pasal untuk mem-filter puja-puji yang over dosis dan puja-puji yang di luar nalar. Kenapa? Karena, berjuta pasal di kitab hukum, dirancang serta ditetapkan oleh penguasa.
Dengan kata lain, hukum sesungguhnya juga jauh dari rasa keadilan. Hukum melekat-erat dengan kekuasaan. Siapa dan kelompok siapa yang sedang berkuasa, merekalah yang menentukan, ke arah mana pedang hukum hendak dihunuskan. Meski, para penegak hukum selalu berkoar bahwa mereka senantiasa berjuang menegakkan keadilan. Keadilan yang mana? Keadilan untuk siapa? Para pimpinan penegak hukum bisa duduk di kursi empuknya, karena penguasa. Maka, keadilan yang mereka perjuangkan, tentulah keadilan untuk penguasa.
Puja-puji? Oh, pasti akan dibiarkan berhamburan. Meski over dosis, meski di luar nalar, meski juga memuakkan, penguasa akan tetap membiarkan puja-puji berhamburan. Yang memuja dan memuji ingin menjadi bagian, ingin masuk ke dalam gerbong kekuasaan. Karena itulah like dan share berhamburan di mana-mana. Apakah puja-puji akan meningkatkan daya nalar publik? Menurut saya, tidak. Apakah caci-maki akan meningkatkan daya nalar publik? Menurut saya, juga tidak. Dengan kata lain, puja-puji dan caci-maki, sama-sama membusukkan daya nalar publik. Tapi, penguasa enjoy dengan puja-puji tersebut.
Daya Nalar Publik
Pada Senin (11/09/2017), Presiden Joko Widodo memberikan kuliah umum di Dies Natalis Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, Presiden mengaku beberapa kali ditanyai soal perkembangan media sosial (medsos) di Indonesia, oleh sejumlah pemimpin dunia. Antara lain, Raja Salman dari Arab Saudi dan PM Singapura, Lee Hsien Loong. Kepada mereka, Presiden Joko Widodo mengatakan, media sosial Indonesia kejam banget. Betapa tidak. Ruang publik kita sudah sesak oleh konten negatif. Caci-maki bertebaran di mana-mana, di beragam lini.
Apakah pegiat media sosial yang sekubu dengan penguasa, akan terus mereproduksi puja-puji seperti yang selama ini berjalan? Menurut saya, perlu kajian yang komprehensif, kalau tujuan puja-puji itu untuk meningkatkan daya nalar publik. Tapi, kalau tujuannya untuk menjadi bagian serta ingin masuk ke dalam gerbong kekuasaan, ya monggo. Hak tiap orang untuk memperjuangkan cita-citanya. Toh, sudah banyak contoh para pemuja penguasa, kemudian masuk ke dalam gerbong kekuasaan. Kursi empuk pemberian penguasa, asyik kok.
Sebaliknya, apakah para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, akan terus menebarkan caci-maki dan hinaan? Itu hanya akan mempercepat serta memudahkan aparat untuk menciduk. Ingat, makin gencar caci-maki, maka penguasa makin represif. Tidak ada penguasa di muka bumi ini yang dengan tulus ikhlas menyerahkan kekuasaan mereka kepada pihak lain. Tidak. Mereka pasti akan mempertahankan kekuasaan itu, dengan cara damai maupun dengan cara kekerasan. Para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, harus memiliki strategi berkali lipat dibandingkan dengan para juru puja-puji itu.
Jika kita mencermati kuliah umum Presiden Joko Widodo di Dies Natalis Universitas Padjajaran tersebut, ada kata kunci yang diungkapkan Presiden. Ketika itu, Presiden menceritakan pertemuannya dengan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, dan menanyakan tentang Brexit. Cameron yakin akan menang atau kalah tipis. Ternyata, referendum Brexit memang menang. "Namun, kritik di media sosial, mengubah semuanya," ujar Presiden Joko Widodo memberi contoh, tentang pengaruh kritik di media sosial terhadap lanskap politik.
Kata kuncinya adalah kritik. Para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, sudah seharusnya memiliki strategi tentang kritik. Dalam hal ini, kritik terhadap penguasa di media sosial. Masih cukup terbuka ruang untuk memberikan kritik. Tidak perlu pesimis. Kekuasaan juga membutuhkan kritik, karena pemerintahan yang sehat, akan menjadi kuat oleh kritik. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak sehat, dengan sendirinya akan lemah karena kritik. Para juru puja-puji, tentu saja akan melawan kritik tersebut.
Itulah kehidupan yang dinamis. Kritik yang cermat, dengan sendirinya juga akan meningkatkan daya nalar publik. Kritik yang cermat, juga akan menjaga para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, tidak tergelincir ke area penghinaan. Ketika kritik yang cermat, ditafsirkan oleh para juru puja-puji sebagai penghinaan, ah itu kan memang maunya mereka. Mereka kan maunya semua turut memuja-muja penguasa. Padahal, puja-puji yang over dosis, yang di luar nalar, justru menjerumuskan kekuasaan.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 14 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H