Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Presiden Dihina, Ibu Negara Dihina

14 September 2017   08:29 Diperbarui: 14 September 2017   21:23 2264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ujaran tak patut di media sosial, sudah lama mengusik banyak pihak. Tahun 2012 bahkan sudah ada ajakan, bagaimana melakukan kritik sosial melalui media kreatif. Agar tidak tergelincir menjadi penghinaan, tingkatkan kecerdasan dan kreativitas, demi meningkatkan daya nalar publik. Foto: bppmpsikomedia

Kini, yang menghina, mahasiswa. Dulu, anak tukang sate. Ada peningkatan level pendidikan. Kini, dengan instagram. Dulu, dengan facebook. Ada upgrade media. Inikah penanda peningkatan kecerdasan para penghina?

Pada Kamis (24/08/2017), Presiden Joko Widodo mengumpulkan pegiat media sosial di Istana Negara, Jakarta Pusat. Pertemuan berlangsung tertutup. Pada Kamis (07/09/2017), akun instagram @warga_biasa menghina Ibu Negara, Iriana Jokowi. Hanya di rentang 15 hari, penghina itu menantang Presiden. Ia seakan ingin menunjukkan garis batas yang tegas. Ada pegiat media sosial yang sekubu dengan Presiden dan ada pula pegiat media sosial yang berseberangan dengan Presiden. Yang sekubu menghamburkan puja-puji, yang berseberangan menebar caci-maki.

Puja-puji vs Caci-maki
Puja-puji, meski over dosis, meski di luar nalar, dibiarkan berhamburan. Ada yang muak, ada pula yang sampai muntah. Tapi, tetap saja dibiarkan berhamburan. Sebaliknya, begitu ada caci-maki, seluruh pasang mata serta hidung aparat mengendus ke segala penjuru negeri. Sayang, hukum kita hanya penuh dengan pasal untuk menjerat caci-maki. Tapi, sama sekali tidak ada pasal untuk mem-filter puja-puji yang over dosis dan puja-puji yang di luar nalar. Kenapa? Karena, berjuta pasal di kitab hukum, dirancang serta ditetapkan oleh penguasa.

Dengan kata lain, hukum sesungguhnya juga jauh dari rasa keadilan. Hukum melekat-erat dengan kekuasaan. Siapa dan kelompok siapa yang sedang berkuasa, merekalah yang menentukan, ke arah mana pedang hukum hendak dihunuskan. Meski, para penegak hukum selalu berkoar bahwa mereka senantiasa berjuang menegakkan keadilan. Keadilan yang mana? Keadilan untuk siapa? Para pimpinan penegak hukum bisa duduk di kursi empuknya, karena penguasa. Maka, keadilan yang mereka perjuangkan, tentulah keadilan untuk penguasa.

Komitmen pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla memperbaiki penegakan hukum masih terasa kuat, tetapi berbagai persoalan yang muncul kerap menampar wibawa pemerintah. Grafik ini menunjukkan respon publik terkait upaya penegakan hukum, selama 2,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, berdasarkan survei enam bulanan Litbang Kompas. Foto: dicapture isson khairul dari laman kompas.id edisi Senin, 19 Juni 2017.
Komitmen pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla memperbaiki penegakan hukum masih terasa kuat, tetapi berbagai persoalan yang muncul kerap menampar wibawa pemerintah. Grafik ini menunjukkan respon publik terkait upaya penegakan hukum, selama 2,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, berdasarkan survei enam bulanan Litbang Kompas. Foto: dicapture isson khairul dari laman kompas.id edisi Senin, 19 Juni 2017.
Pertanyaannya, apakah keadilan untuk penguasa, sama dan sebangun dengan keadilan untuk rakyat? Jawabanya, pasti tidak. Ada begitu banyak rakyat yang berjuang untuk menegakkan keadilan, tapi ambruk oleh keadilan versi penguasa. Ada begitu banyak rakyat yang berjuang untuk kepentingan rakyat, tapi keok oleh kepentingan rakyat versi penguasa. Demikian pula halnya dengan caci-maki. Apa pun wujudnya caci-maki itu, pasti segera ditumpas oleh penguasa. Demi penguasa, demi melanggengkan kekuasaan penguasa.

Puja-puji? Oh, pasti akan dibiarkan berhamburan. Meski over dosis, meski di luar nalar, meski juga memuakkan, penguasa akan tetap membiarkan puja-puji berhamburan. Yang memuja dan memuji ingin menjadi bagian, ingin masuk ke dalam gerbong kekuasaan. Karena itulah like dan share berhamburan di mana-mana. Apakah puja-puji akan meningkatkan daya nalar publik? Menurut saya, tidak. Apakah caci-maki akan meningkatkan daya nalar publik? Menurut saya, juga tidak. Dengan kata lain, puja-puji dan caci-maki, sama-sama membusukkan daya nalar publik. Tapi, penguasa enjoy dengan puja-puji tersebut.

Daya Nalar Publik
Pada Senin (11/09/2017), Presiden Joko Widodo memberikan kuliah umum di Dies Natalis Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, Presiden mengaku beberapa kali ditanyai soal perkembangan media sosial (medsos) di Indonesia, oleh sejumlah pemimpin dunia. Antara lain, Raja Salman dari Arab Saudi dan PM Singapura, Lee Hsien Loong. Kepada mereka, Presiden Joko Widodo mengatakan, media sosial Indonesia kejam banget. Betapa tidak. Ruang publik kita sudah sesak oleh konten negatif. Caci-maki bertebaran di mana-mana, di beragam lini.

Presiden Joko Widodo melayani tamu undangan yang meminta swafoto, usai menyampaikan orasi pada puncak perayaan Dies Natalis ke-60 Universitas Padjadjaran, di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Bandung. Foto dicapture isson khairul dari laman kabar24.bisnis.com dan judul dari cnn.com edisi Senin (11/09/2017).
Presiden Joko Widodo melayani tamu undangan yang meminta swafoto, usai menyampaikan orasi pada puncak perayaan Dies Natalis ke-60 Universitas Padjadjaran, di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Bandung. Foto dicapture isson khairul dari laman kabar24.bisnis.com dan judul dari cnn.com edisi Senin (11/09/2017).
Pada saat yang sama, ruang publik kita juga penuh sesak oleh puja-puji kepada penguasa. Meski over dosis, meski di luar nalar, puja-puji kepada penguasa tersebut, juga berhamburan di mana-mana, di beragam lini. Apakah itu konten positif? Positif menurut siapa? Menurut penguasa? Menurut saya, puja-puji dan caci-maki, sama-sama membusukkan daya nalar publik. Waktu sudah membuktikan, bahwa puja-puji kepada penguasa, tidak mampu meredam caci-maki. Malah mungkin menaikkan skala caci-maki tersebut. Secara jumlah, frekuensi, dan substansi.

Apakah pegiat media sosial yang sekubu dengan penguasa, akan terus mereproduksi puja-puji seperti yang selama ini berjalan? Menurut saya, perlu kajian yang komprehensif, kalau tujuan puja-puji itu untuk meningkatkan daya nalar publik. Tapi, kalau tujuannya untuk menjadi bagian serta ingin masuk ke dalam gerbong kekuasaan, ya monggo. Hak tiap orang untuk memperjuangkan cita-citanya. Toh, sudah banyak contoh para pemuja penguasa, kemudian masuk ke dalam gerbong kekuasaan. Kursi empuk pemberian penguasa, asyik kok.

Sebaliknya, apakah para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, akan terus menebarkan caci-maki dan hinaan? Itu hanya akan mempercepat serta memudahkan aparat untuk menciduk. Ingat, makin gencar caci-maki, maka penguasa makin represif. Tidak ada penguasa di muka bumi ini yang dengan tulus ikhlas menyerahkan kekuasaan mereka kepada pihak lain. Tidak. Mereka pasti akan mempertahankan kekuasaan itu, dengan cara damai maupun dengan cara kekerasan. Para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, harus memiliki strategi berkali lipat dibandingkan dengan para juru puja-puji itu.

Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, mengatakan, pesan permusuhan yang beredar di media sosial semakin menguat. Hal ini menjadi pemicu tindakan di dunia nyata. Ini musuh kami. Kami menolak ini. Hal tersebut dikemukakan Alissa Wahid di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (27/02/2017). Foto: wartakota-tribunnews.com
Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, mengatakan, pesan permusuhan yang beredar di media sosial semakin menguat. Hal ini menjadi pemicu tindakan di dunia nyata. Ini musuh kami. Kami menolak ini. Hal tersebut dikemukakan Alissa Wahid di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (27/02/2017). Foto: wartakota-tribunnews.com
Kritik di Media Sosial   
Jika kita mencermati kuliah umum Presiden Joko Widodo di Dies Natalis Universitas Padjajaran tersebut, ada kata kunci yang diungkapkan Presiden. Ketika itu, Presiden menceritakan pertemuannya dengan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, dan menanyakan tentang Brexit. Cameron yakin akan menang atau kalah tipis. Ternyata, referendum Brexit memang menang. "Namun, kritik di media sosial, mengubah semuanya," ujar Presiden Joko Widodo memberi contoh, tentang pengaruh kritik di media sosial terhadap lanskap politik.

Kata kuncinya adalah kritik. Para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, sudah seharusnya memiliki strategi tentang kritik. Dalam hal ini, kritik terhadap penguasa di media sosial. Masih cukup terbuka ruang untuk memberikan kritik. Tidak perlu pesimis. Kekuasaan juga membutuhkan kritik, karena pemerintahan yang sehat, akan menjadi kuat oleh kritik. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak sehat, dengan sendirinya akan lemah karena kritik. Para juru puja-puji, tentu saja akan melawan kritik tersebut.

Itulah kehidupan yang dinamis. Kritik yang cermat, dengan sendirinya juga akan meningkatkan daya nalar publik. Kritik yang cermat, juga akan menjaga para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, tidak tergelincir ke area penghinaan. Ketika kritik yang cermat, ditafsirkan oleh para juru puja-puji sebagai penghinaan, ah itu kan memang maunya mereka. Mereka kan maunya semua turut memuja-muja penguasa. Padahal, puja-puji yang over dosis, yang di luar nalar, justru menjerumuskan kekuasaan.

Ujaran tak patut di media sosial, sudah lama mengusik banyak pihak. Tahun 2012 bahkan sudah ada ajakan, bagaimana melakukan kritik sosial melalui media kreatif. Agar tidak tergelincir menjadi penghinaan, tingkatkan kecerdasan dan kreativitas, demi meningkatkan daya nalar publik. Foto: bppmpsikomedia
Ujaran tak patut di media sosial, sudah lama mengusik banyak pihak. Tahun 2012 bahkan sudah ada ajakan, bagaimana melakukan kritik sosial melalui media kreatif. Agar tidak tergelincir menjadi penghinaan, tingkatkan kecerdasan dan kreativitas, demi meningkatkan daya nalar publik. Foto: bppmpsikomedia
Tidak ada kata terlambat. Segera berbalik, tingkatkan kecerdasan, dari penghina menjadi pengritik. Dengan menghina, seseorang akan menjadi terhina. Dan, di media sosial, urusannya bisa panjang: diciduk, kemudian dipenjara. Sebaliknya, pengritik yang cermat, memiliki kesempatan untuk menjaga martabat. Ini bila dibandingkan dengan juru puja-puji, yang dengan mudah tergelincir menjadi hamba sahaya. Lebih dari semua itu, kritik yang cermat, selain menyehatkan pikiran, juga sekaligus meningkatkan daya nalar publik.   

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 14 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun