Dari sejumlah kebijakan yang dilakukan Kios Segoro Amarto di atas, saya melihat, Pemkot Jogja sungguh-sungguh merawat mekanisme pasar. Keberadaan kios tersebut tidak merusak alur perdagangan, juga tidak mematikan pedagang. Warga sebagai konsumen senantiasa dilindungi, mendapatkan barang dengan harga yang wajar.
Kita tahu, mengedukasi pedagang dan konsumen, bukanlah hal yang mudah. Tapi, Pemkot Jogja telah membuktikan kepada kita bahwa mereka mampu mengeksekusi hal tersebut secara kreatif. Dalam konteks perdagangan, cara ini sekaligus mempersempit ruang bagi munculnya para spekulan. Karena, para spekulanlah sesungguhnya yang menjadi biang kerok terjadinya gejolak harga.
Berbeda dengan Operasi Pasar
Di banyak tempat, langkah yang ditempuh untuk menstabilkan harga adalah operasi pasar. Ini juga kerap dilakukan di Jogja, terutama pada Ramadhan, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Untuk jangka panjang, Pemkot Jogja memilih model kios ini dibandingkan dengan operasi pasar. Kenapa? M. Sugit Tedjo Mulyono, Kepala Perum Bulog Divre DIY, memberikan simulasi agar kita mudah memahami perbedaan model kios dengan operasi pasar.
Kalau harga suatu barang di Kios Segoro Amarto Rp 8.500,- maka para pedagang di pasar paling berani menjual Rp 9.000,- Jika pedagang menjual lebih dari itu, secara bertahap, mereka akan menurunkan harga jualnya. Selisihnya hanya di kisaran 500-1.000 rupiah. Pada operasi pasar, selisihnya bisa lebih besar. Misalnya, harga di dalam pasar Rp 9.000,- maka harga operasi pasar bisa Rp 7.500,- Konsumen memang mendapatkan harga yang murah, tapi mekanisme pasar jadi rusak.
isson khairul –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 28 Mei 2017
Tulisan saya yang lain tentang Jogja
1. Tertawa a la Jogja Versi Komunitas Kompasiana