Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cara Inspiratif Pemkot Jogja Stabilkan Harga Selama Ramadan

28 Mei 2017   04:13 Diperbarui: 29 Mei 2017   16:25 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Jogja asyik belanja kebutuhan bahan pokok di Kios Segoro Amarto, Pasar Kranggan, setelah diresmikan pada Kamis (18/5/2017). Kios ini didirikan Pemkot Jogja untuk menjaga kestabilan harga. Barang langsung dipasok Bulog. Dengan cara ini, Pemkot Jogja melindungi warga sebagai konsumen, secara berkelanjutan. Foto: kompas.com

Ramadhan dan Lebaran selalu mengerucut ke harga. Para pedagang piawai mengelola momen tahunan tersebut. Sebaliknya, pihak berwenang selalu kalah langkah. Warga terpaksa merogoh kocek lebih dalam, membeli barang-barang dengan harga lebih mahal.

Pihak berwenang selalu mengklaim, ini kan hukum ekonomi: permintaan naik ya harga pasti naik. Dalih yang demikian selalu diungkapkan pemerintah, tiap tahun. Apakah itu berarti pemerintah selalu kalah oleh pedagang? Pemerintah tidak berdaya melindungi warga sebagai konsumen? Hmm ini Ramadhan, kita tidak usahlah bersikap sinis. Mari kita apresiasi cara Pemerintah Kota Jogja menstabilkan harga, khususnya harga kebutuhan pokok.

Kios Segoro Amarto

Momen Ramadhan tahun ini disambut Pemkot Jogja dengan meresmikan Kios Segoro Amarto. Kios itu didirikan di salah satu sudut Pasar Kranggan, pada Kamis (18/5/2017). Kita tahu, Pasar Kranggan adalah salah satu dari 31 pasar tradisional yang ada di Kota Jogja. Pasar dengan luas bangunan 7.400 meter per segi itu berada di Jalan Pangeran Diponegoro No. 29, dengan jumlah pedagang mencapai 863 orang.

Kios Segoro Amarto didirikan Pemkot Jogja di Pasar Kranggan, bukan untuk menyaingi para pedagang di pasar tradisional itu. Tapi, untuk menstabilkan harga, khususnya harga kebutuhan pokok. Di kios itu dijual, antara lain, beras dari kualitas medium, premium, hingga super, juga minyak goreng dan gula pasir. Barang-barang yang dijual di kios tersebut langsung dipasok oleh Bulog Divre Daerah Istimewa Yogyakata. Dengan demikian, harga di kios itu bisa dijadikan rujukan oleh warga.

Pedagang Pasar Kranggan, selain berdagang, juga aktif berkesenian. Ini salah satu pentas mereka dalam seleksi Lomba Pentas Seni Antar Paguyuban Pedagang Pasar Tradisional 2016. Pedagang Pasar Kranggan mementaskan lakon tentang serba-serbi kehidupan di pasar, berjudul Mendhem Wedokan. Foto: starjogja.com
Pedagang Pasar Kranggan, selain berdagang, juga aktif berkesenian. Ini salah satu pentas mereka dalam seleksi Lomba Pentas Seni Antar Paguyuban Pedagang Pasar Tradisional 2016. Pedagang Pasar Kranggan mementaskan lakon tentang serba-serbi kehidupan di pasar, berjudul Mendhem Wedokan. Foto: starjogja.com
Bila pedagang menjual harga barang yang sama jauh lebih mahal, maka warga tentu akan beralih belanja ke Kios Segoro Amarto. Konsekuensi ekonominya, para pedagang tentu akan menurunkan harga jualnya, agar barangnya laku. Ini hukum ekonomi yang berlaku di mana-mana. Model persaingan yang diciptakan Pemkot Jogja ini, sungguh kreatif. Di satu sisi, Pemkot Jogja mengajari para pedagang agar mengambil untung yang wajar, tidak jor-joran meraup laba. Di sisi lain, Pemkot Jogja melindungi warga sebagai konsumen, mendapatkan barang dengan harga beli yang wajar.

Dimulai di Pasar Beringharjo         

Kios Segoro Amarto di Pasar Kranggan itu adalah kios kedua. Kios pertama didirikan di Pasar Beringharjo tahun lalu, pada Sabtu (14/5/2016). Kita tahu, Pasar Beringharjo adalah pasar tradisional yang legendaris di Jogja, di Jalan Malioboro. Posisi kios itu cukup strategis, di lantai satu, dekat pintu masuk pasar. Dari keberadaan Kios Segoro Amarto di Pasar Beringharjo, setelah beroperasi selama setahun, Pemkot Jogja menilai, ini cukup ampuh mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok.

Ketersediaan barang terjamin, karena barang-barang yang dijual di kios tersebut langsung dipasok oleh Bulog Divre Daerah Istimewa Yogyakata. Dengan demikian, para pedagang tidak bisa main kucing-kucingan dalam urusan harga. Warga sebagai konsumen dilindungi secara berkelanjutan. Secara jangka panjang, strategi kios ini sekaligus menjadi instrumen untuk mengendalikan harga dan inflasi. 

Bila pedagang pasar melambungkan harga, maka warga segera beralih ke Kios Segoro Amarto. Hukum ekonomi pun berlaku: pedagang pasar menurunkan harga jual barang mereka. Kios Segoro Amarto berfungsi menstabilkan harga, bukan menyaingi pedagang. Ini situasi di Kios Segoro Amarto Pasar Beringharjo. Foto: bulogdiy.blogspot.co.id
Bila pedagang pasar melambungkan harga, maka warga segera beralih ke Kios Segoro Amarto. Hukum ekonomi pun berlaku: pedagang pasar menurunkan harga jual barang mereka. Kios Segoro Amarto berfungsi menstabilkan harga, bukan menyaingi pedagang. Ini situasi di Kios Segoro Amarto Pasar Beringharjo. Foto: bulogdiy.blogspot.co.id
Fungsi kios sebagai penstabil harga senantiasa dijaga oleh Pemkot Jogja. Karena itulah, kios ini tidak buka tiap hari, kecuali jika ada lonjakan harga barang kebutuhan pokok. Dalam kenyataannya, kios di dua pasar tersebut, buka tiga kali sepekan: Jumat, Sabtu, dan Minggu. Yang dilayani oleh kios, hanya warga sebagai konsumen langsung, dengan pembatasan jumlah pembelian. Dengan cara ini, Pemkot Jogja mengedukasi warganya agar tidak jor-joran belanja. Cukup belanja sesuai kebutuhan. Pedagang sama sekali tidak diperbolehkan membeli barang di Kios Segoro Amarto.

Merawat Mekanisme Pasar       

Dari sejumlah kebijakan yang dilakukan Kios Segoro Amarto di atas, saya melihat, Pemkot Jogja sungguh-sungguh merawat mekanisme pasar. Keberadaan kios tersebut tidak merusak alur perdagangan, juga tidak mematikan pedagang. Warga sebagai konsumen senantiasa dilindungi, mendapatkan barang dengan harga yang wajar.

Kita tahu, mengedukasi pedagang dan konsumen, bukanlah hal yang mudah. Tapi, Pemkot Jogja telah membuktikan kepada kita bahwa mereka mampu mengeksekusi hal tersebut secara kreatif. Dalam konteks perdagangan, cara ini sekaligus mempersempit ruang bagi munculnya para spekulan. Karena, para spekulanlah sesungguhnya yang menjadi biang kerok terjadinya gejolak harga.

Kios Segoro Amarto didirikan Tim Pengedali Inflasi Daerah (TPID) Kota Yogyakarta. Anggotanya terdiri dari Pemerintah Kota Yogyakarta, Bank Indonesia, Perum Bulog Divre DIY, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) DIY. Kolaborasi sejumlah pihak ini melindungi konsumen, sekaligus melindungi pedagang. Foto: jognews.com
Kios Segoro Amarto didirikan Tim Pengedali Inflasi Daerah (TPID) Kota Yogyakarta. Anggotanya terdiri dari Pemerintah Kota Yogyakarta, Bank Indonesia, Perum Bulog Divre DIY, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) DIY. Kolaborasi sejumlah pihak ini melindungi konsumen, sekaligus melindungi pedagang. Foto: jognews.com
Karena itu, gerakan Kios Segoro Amarto ini, menurut Gatot Saptadi, Kepala Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY, akan terus berlanjut. Artinya, secara bertahap, kios tersebut akan didirikan di sejumlah pasar tradisional di Jogja. Bila keberadaan kios ini sudah merata, maka dengan sendirinya gejolak harga kebutuhan pokok di Jogja bisa dideteksi serta dikendalikan sejak awal.

Berbeda dengan Operasi Pasar

Di banyak tempat, langkah yang ditempuh untuk menstabilkan harga adalah operasi pasar. Ini juga kerap dilakukan di Jogja, terutama pada Ramadhan, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Untuk jangka panjang, Pemkot Jogja memilih model kios ini dibandingkan dengan operasi pasar. Kenapa? M. Sugit Tedjo Mulyono, Kepala Perum Bulog Divre DIY, memberikan simulasi agar kita mudah memahami perbedaan model kios dengan operasi pasar.

Kalau harga suatu barang di Kios Segoro Amarto Rp 8.500,- maka para pedagang di pasar paling berani menjual Rp 9.000,- Jika pedagang menjual lebih dari itu, secara bertahap, mereka akan menurunkan harga jualnya. Selisihnya hanya di kisaran 500-1.000 rupiah. Pada operasi pasar, selisihnya bisa lebih besar. Misalnya, harga di dalam pasar Rp 9.000,- maka harga operasi pasar bisa Rp 7.500,- Konsumen memang mendapatkan harga yang murah, tapi mekanisme pasar jadi rusak.

Bulog DIY dalam berbagai kesempatan melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga. Diperkirakan, setelah keberadaan Kios Segoro Amarto merata di sejumlah pasar, frekuensi operasi pasar akan menurun. Model kios yang dieksekusi Pemkot Jogja ini merupakan yang pertama di Indonesia. Foto: bulogdiy.blogspot.co.id
Bulog DIY dalam berbagai kesempatan melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga. Diperkirakan, setelah keberadaan Kios Segoro Amarto merata di sejumlah pasar, frekuensi operasi pasar akan menurun. Model kios yang dieksekusi Pemkot Jogja ini merupakan yang pertama di Indonesia. Foto: bulogdiy.blogspot.co.id
Padahal, Pemkot Jogja ingin melindungi konsumen, sekaligus melindungi pedagang. Nah, dengan beroperasi tiga kali sepekan, Kios Segoro Amarto mampu mendeteksi  potensi terjadinya gejolak harga sejak dini. Keberadaan kios di pasar, memungkinkan kios berfungsi sebagai instrumen awal untuk mendeteksi harga. Oh, ya, yang lebih penting lagi, indikator keberhasilan Kios Segoro Amarto bukan dari berapa banyak bahan pangan yang terjual. Tapi, kios ini dianggap berhasil jika menjadi rujukan harga di pasar. Pedagang untung, konsumen membeli dengan harga yang wajar.

isson khairul –dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 28 Mei 2017

Tulisan saya yang lain tentang Jogja

1. Tertawa a la Jogja Versi Komunitas Kompasiana

2. Bakpia Naik Harga: Karena Dollar dan Karena BBM

3. 2.800 Siswa Ikuti Olimpiade Sains Nasional 2015 di Jogjakarta

4. Desa Kreatif Menyambut Rp 1,4 Miliar Dana Desa Cair

5. Strategi Bank BCA Merangkul 8.000 UKM di Pasar Beringharjo

6. Malioboro: Marketing Waktu dalam Keragaman

7. Belajar Kreatif dari Tukang Becak Yogyakarta

8. Pasar Beringharjo, Berjaya karena Swadaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun