Apa pentingnya teater bagi pendidikan anak? Anies Baswedan[2], Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menjawabnya dalam Festival Nasional Teater Anak-anak 2015, yang digelar 31 Agustus hingga 3 September lalu, di TIM. ”Kalau ada anak-anak yang berminat di bidang teater, tolong didorong. Ini kesempatan untuk menumbuhkan kreativitas mereka,” pesan Mendikbud, Anies Baswedan, saat itu. Teater, menurut Anies Baswedan, adalah bagian dari pendidikan kesenian, yang menumbuhkan banyak potensi pada anak.
Ketika tampil di panggung, kata Anies Baswedan, itu adalah proses bagi anak untuk menumbuhkan rasa percaya dirinya. Melalui teater, anak-anak latihan olah fisik sekaligus berlatih olah rasa. Tubuh, pikiran, kata-kata, perbuatan, dan imajinasi mereka menyatu dalam aktivitas teater. Karena itulah, Anies Baswedan menyayangkan, dalam pendidikan kesenian di berbagai sekolah, teater sering diabaikan. Sampai di sini, kita tahu, kesungguhan Jose Rizal Manua mengayomi anak-anak melalui teater, adalah sesuatu yang patut kita apresiasi.
Dalam Festival Nasional Teater Anak-anak 2015, Jose Rizal Manua menjadi salah seorang juri. Mendikbud Anies Baswedan, sebagaimana dituturkan Jose Rizal Manua, mengajaknya berdiskusi untuk mengembangkan pendidikan sains kepada pelajar melalui teater. Menurut Anies Baswedan, melalui teater, anak-anak terlibat aktif secara fisik, rasio, dan emosi. Hal ini tentu akan membantu mereka memahami materi pelajaran yang diajarkan. Wah, sebuah langkah pendidikan yang menggembirakan.
Apresiasi Seni untuk Anak
Kita mengenal Tika Bravani, yang memerankan tokoh Fatmawati, dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka. Ia lulusan Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Semasa SMP dan SMA, Tika Bravani menyukai seni peran dan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler teater. Perempuan kelahiran Denpasar, 17 Februari 1990 tersebut, juga mengikuti ajang pemilihan Abang None Jakarta, tahun 2009. Tika Bravani barangkali menjadi salah satu contoh, dari apa yang dikemukakan Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kacung Marijan.
Ia mengatakan, mendorong anak-anak berteater, bukan berarti pendidikan kita diarahkan untuk mencetak seniman, melainkan agar anak-anak mampu mengapresiasi kesenian. Agar mereka mampu menyerap nilai-nilai dari seni dan budaya[3]. Kacung Marijan mengungkapkan hal itu ketika menghadiri Festival Nasional Teater Anak-anak 2015, yang diikuti 34 kelompok teater dari 34 provinsi di Indonesia[4]. Festival ini wujud apresiasi kepada kelompok teater di daerah, khususnya teater anak-anak. Lewat kegiatan seperti ini, jiwa seni anak-anak ditumbuhkan.
Dari pengalaman Jose Rizal Manua mengelola Teater Tanah Air sejak 14 September 1988, ia mendapatkan banyak apresiasi dari orangtua yang mengikutkan anak mereka di Teater Tanah Air. ”Mereka bilang, anak mereka jadi lebih percaya diri. Selain itu, mereka juga jadi lebih toleran saat bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya,” ujar Jose Rizal Manua, yang juga meluangkan waktu untuk berdialog dengan para orangtua dari anak-anak asuhannya.
Para orangtua tersebut umumnya menunggui anak mereka latihan teater. Anak-anak itu sudah merasa menjadi keluarga besar. Karena rentang usia anak-anak di Teater Tanah Air 6-14 tahun, Jose Rizal Manua selalu menanamkan kesadaran kepada anak asuhannya, agar yang lebih tua membimbing yang lebih muda. Ini sisi lain dari proses pendidikan yang berlangsung alamiah di sana. Yang mengesankan, meski mereka berasal dari latar belakang yang beragam, dengan jenjang pendidikan yang juga beragam, toh mereka senantiasa kompak dalam berteater.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 28 November 2015