Hal yang hampir serupa, juga terjadi di Malaysia. Sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah, dibedakan berdasarkan pengguna bahasa, yaitu Melayu, India, dan Tionghoa. Di negeri kita, meski di sejumlah wilayah diajarkan bahasa daerah masing-masing, tapi bahasa Indonesia tetaplah menjadi bahasa utama, bahasa persatuan. Dalam konteks kekinian, kekuatan persatuan tersebut merupakan modal penting untuk mengejar sejumlah ketertinggalan kita. Memang, untuk semua itu, dibutuhkan kesungguhan semua pihak.
Dengan kata lain, adanya 546 bahasa ibu yang digunakan oleh 1.128 etnis di negeri ini, adalah potensi besar yang patut kita telaah secara kreatif. Dengan dukungan pemerintah terhadap tumbuhnya industri kreatif kini, tentulah dibutuhkan SDM yang terdidik dan berkualitas untuk mengolah semua itu secara kreatif, hingga memiliki nilai ekonomis demi kesejahteraan orang banyak. Bila dikorelasikan pendekatan Unggul Sagena dan Ismail Suardi Wekke di atas, maka menjadi jelas bagi kita bahwa kekayaan sumber daya alam serta kekayaan sosial-budaya, membutuhkan SDM yang terdidik dan berkualitas untuk mengeksplorasinya.
Sebagai bangsa, negeri ini terdiri dari individu-individu. Para pemuda pendahulu kita yang mencetuskan Sumpah Pemuda, bisa bersatu serta mengikrarkan terwujudnya Indonesia, karena secara individu, tiap-tiap pemuda masa itu memiliki kesadaran yang tinggi untuk mencapai kemajuan. Artinya, kesadaran kelompok serta kebersamaan dalam masyarakat, tergantung pada tiap individu di dalamnya. Dalam konteks itulah, Tjiptadinata Effendi mengingatkan kita dengan kata-kata bijak yang tentu saja sangat bijak: bila ingin mengubah dunia, maka mulailah terlebih dulu dari diri sendiri.
Ya, mulai dari diri sendiri. Dalam tulisan Sebuah Langkah Kecil dalam Mengaplikasikan Indonesia Bersatu, Pak Tjip bukan menggambarkan, tetapi telah melakukan dengan kongkrit, bagaimana caranya menjadi individu, agar menjadi inspirasi bagi lingkungan sekitar. Ia, misalnya, dengan ayah seorang supir truk dan kemudian beralih jadi kusir delman, berjuang untuk menjadi lebih baik, dengan bekerja keras secara cerdas. Menyalahkan kondisi orangtua, mempersalahkan keterbatasan fasilitas, serta mengambinghitamkan segala hambatan, tidak ada dalam kamus Pak Tjip.
Kemandirian para pemuda di era Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, itulah yang tercermin dari perilaku keseharian Pak Tjip. Bukan hanya itu. Sekat antar etnis, dalam konteks pertalian anggota keluarga melalui pernikahan, dengan mulus ia kelola dengan seksama. Itu berlangsung dalam keluarga Pak Tjip pada puluhan tahun yang lalu, tatkala perkawinan antar suku masih menjadi perdebatan sengit. Itu tidak akan mungkin terjadi, tanpa didasari oleh kematangan berpikir serta keyakinan bahwa pembauran adalah bagian penting dari keberlangsungan bangsa yang multi etnis ini.
Sebagai keluarga Tionghoa, Pak Tjip sekeluarga dengan sengaja menerobos sekat etnis, dengan memilih tinggal di lingkungan yang saat itu belum ada seorang pun etnis Tionghoa di sana. Inisiatifnya dalam konteks pembauran, tentulah wujud dari hakekat Sumpah Pemuda: merawat rasa kebangsaan dengan perbuatan. Dalam konteks memulai dari diri sendiri, Pak Tjip menulis kami sudah mempertimbangkan dengan matang, bila tidak ada yang mengawali, maka akan selamanya ada jurang pemisah antara pribumi dan non-pribumi.
Jakarta, 27 Oktober 2015
> Foto-foto: dokumentasi Thamrin Sonata
----------------------------
Sumpah Pemuda diikrarkan pada Senin malam, 28 Oktober 1928, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan diproklamirkan, pada 17 Agustus 1945. Spirit persatuan inilah yang harus senantiasa kita rawat.