Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Bedah buku tentang Sumpah Pemuda hari ini, Selasa (27/10/2015), pukul 15.30 WIB, di Kantor Kompasiana, tentulah sesuatu yang istimewa. Ada suhu Tjiptadinata Effendi dan dua pendekar: Ismail Suardi Wekke dan Unggul Sagena. Ketiga Kompasianer tersebut akan menginspirasi kita tentang memaknai Sumpah Pemuda.
Ketiga sosok di atas, barangkali sudah kita kenal, setidaknya secara maya di Kompasiana. Mereka adalah tiga dari 24 Kompasianer, yang mengisi buku tentang Sumpah Pemuda ini: Indonesia Kita, Satu. Menampilkan ketiga sosok tersebut dalam forum bedah buku kali ini, jelas bukan sesuatu yang kebetulan. Tapi, sebuah paduan kolaborasi, yang memang sudah disiasati sejak mula oleh Thamrin Sonata, inisiator sekaligus editor buku yang bersangkutan. Ketiganya memaknai Sumpah Pemuda, dengan sudut pandang masing-masing, tapi untuk satu tujuan yang sama: kemajuan Indonesia.
Ada yang tidak bisa kita ingkari, sejarah Indonesia adalah sejarah tentang orang muda. Inilah salah satu titik tekan tulisan Unggul Sagena, Merefleksikan Peran Pemuda Pelajar Indonesia (di Luar Negeri) Melalui PPI (Dunia). Ia dengan detail menjabarkan, bagaimana orang muda tampil menjadi inisiator sekaligus penggerak bagi adanya Indonesia. Kita bisa mencermatinya melalui Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Dengan kata lain, Indonesia ada, karena kontribusi para pemuda, yang dengan gagah-berani berada di garda depan perjuangan.
Bukan hanya perjuangan fisik, tentunya. Tapi, juga perjuangan intelektual, yang dilakukan oleh kaum terdidik pada masa itu. Dalam konteks kekinian, inilah tantangan besar kita untuk menjadikan negeri ini sebagai negara maju. Gerakan kita untuk bersaing dengan negara-negara lain, secara regional maupun global, jelas bertumpu pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Karena, SDM yang terdidik dan berkualitaslah yang akan mampu mengelola berbagai sumber daya alam yang ada. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri, tatkala orang-orang asing mengeruk kekayaan alam kita dengan semena-mena.
Kalaupun kita terlibat, porsi keterlibatan SDM kita pun terbatas. Karena, secara komposisi, pendidikan angkatan kerja di Indonesia, 70 persen hanya lulusan pendidikan dasar setingkat SD-SMP. Ini tentu merupakan hambatan bagi SDM kita untuk meraih peran yang signifikan, meski berbagai perusahaan asing berdiri di negeri ini. Di Malaysia, angkatan kerja yang berpendidikan dasar, hanya 24,3 persen. Pada angkatan kerja berpendidikan menengah setingkat SMA-SMK, yang kita miliki 22,4 persen, sementara Malaysia punya 56,3 persen. Angkatan kerja berpendidikan tinggi, setingkat S1, D3, dan D4, yang dimiliki Indonesia hanya 7,2 persen, sementara Malaysia memiliki sebesar 20,3 persen.
Menghadapi realitas yang demikian, untuk meningkatkan daya saing bangsa, maka dibutuhkan investasi yang sungguh-sungguh di sektor pendidikan, demi melahirkan SDM yang terdidik dan berkualitas. Secara umum, kita bisa berkata bahwa pendidikan yang tinggi belum tentu menjamin kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, kita juga tidak bisa membantah bahwa negara-negara yang memiliki SDM terdidik dan berkualitas, mereka berkontribusi signifikan pada kemajuan negara yang bersangkutan.
Tantangan untuk mengejar ketertinggalan dalam kualitas SDM tersebut, salah satunya, bergantung pada kebijakan pemerintah di sektor pendidikan. Kalau secara semangat untuk maju dan berkembang, sesungguhnya bangsa ini memiliki kekuatan yang besar, meski terdiri dari ratusan etnis. Ini adalah anugerah yang luar biasa. Inilah salah satu titik tekan tulisan Ismail Suardi Wekke, Meneropong Indonesia: Sebuah Anugerah Berbangsa Satu. Dengan kata lain, semua itu adalah anugerah dari Sumpah Pemuda, yang telah meletakkan fondasi yang kuat bagi persatuan bangsa ini.
Secara kongkrit, para pemuda kita di masa itu, dengan suara bulat mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia, di tengah masih eksisnya 546 bahasa ibu yang digunakan oleh 1.128 suku. Alangkah luar biasa hakekat serta anugerah Sumpah Pemuda menjaga kerukunan kita, dalam konteks bahasa. Bandingkan dengan Filipina, yang para pengguna bahasa Tagalog, tidak sepakat dengan penutur bahasa Inggris. Akibatnya, Manila harus terbagi pada perbedaan bahasa yang dituturkan warganya.
Hal yang hampir serupa, juga terjadi di Malaysia. Sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah, dibedakan berdasarkan pengguna bahasa, yaitu Melayu, India, dan Tionghoa. Di negeri kita, meski di sejumlah wilayah diajarkan bahasa daerah masing-masing, tapi bahasa Indonesia tetaplah menjadi bahasa utama, bahasa persatuan. Dalam konteks kekinian, kekuatan persatuan tersebut merupakan modal penting untuk mengejar sejumlah ketertinggalan kita. Memang, untuk semua itu, dibutuhkan kesungguhan semua pihak.
Dengan kata lain, adanya 546 bahasa ibu yang digunakan oleh 1.128 etnis di negeri ini, adalah potensi besar yang patut kita telaah secara kreatif. Dengan dukungan pemerintah terhadap tumbuhnya industri kreatif kini, tentulah dibutuhkan SDM yang terdidik dan berkualitas untuk mengolah semua itu secara kreatif, hingga memiliki nilai ekonomis demi kesejahteraan orang banyak. Bila dikorelasikan pendekatan Unggul Sagena dan Ismail Suardi Wekke di atas, maka menjadi jelas bagi kita bahwa kekayaan sumber daya alam serta kekayaan sosial-budaya, membutuhkan SDM yang terdidik dan berkualitas untuk mengeksplorasinya.
Sebagai bangsa, negeri ini terdiri dari individu-individu. Para pemuda pendahulu kita yang mencetuskan Sumpah Pemuda, bisa bersatu serta mengikrarkan terwujudnya Indonesia, karena secara individu, tiap-tiap pemuda masa itu memiliki kesadaran yang tinggi untuk mencapai kemajuan. Artinya, kesadaran kelompok serta kebersamaan dalam masyarakat, tergantung pada tiap individu di dalamnya. Dalam konteks itulah, Tjiptadinata Effendi mengingatkan kita dengan kata-kata bijak yang tentu saja sangat bijak: bila ingin mengubah dunia, maka mulailah terlebih dulu dari diri sendiri.
Ya, mulai dari diri sendiri. Dalam tulisan Sebuah Langkah Kecil dalam Mengaplikasikan Indonesia Bersatu, Pak Tjip bukan menggambarkan, tetapi telah melakukan dengan kongkrit, bagaimana caranya menjadi individu, agar menjadi inspirasi bagi lingkungan sekitar. Ia, misalnya, dengan ayah seorang supir truk dan kemudian beralih jadi kusir delman, berjuang untuk menjadi lebih baik, dengan bekerja keras secara cerdas. Menyalahkan kondisi orangtua, mempersalahkan keterbatasan fasilitas, serta mengambinghitamkan segala hambatan, tidak ada dalam kamus Pak Tjip.
Kemandirian para pemuda di era Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, itulah yang tercermin dari perilaku keseharian Pak Tjip. Bukan hanya itu. Sekat antar etnis, dalam konteks pertalian anggota keluarga melalui pernikahan, dengan mulus ia kelola dengan seksama. Itu berlangsung dalam keluarga Pak Tjip pada puluhan tahun yang lalu, tatkala perkawinan antar suku masih menjadi perdebatan sengit. Itu tidak akan mungkin terjadi, tanpa didasari oleh kematangan berpikir serta keyakinan bahwa pembauran adalah bagian penting dari keberlangsungan bangsa yang multi etnis ini.
Sebagai keluarga Tionghoa, Pak Tjip sekeluarga dengan sengaja menerobos sekat etnis, dengan memilih tinggal di lingkungan yang saat itu belum ada seorang pun etnis Tionghoa di sana. Inisiatifnya dalam konteks pembauran, tentulah wujud dari hakekat Sumpah Pemuda: merawat rasa kebangsaan dengan perbuatan. Dalam konteks memulai dari diri sendiri, Pak Tjip menulis kami sudah mempertimbangkan dengan matang, bila tidak ada yang mengawali, maka akan selamanya ada jurang pemisah antara pribumi dan non-pribumi.
Jakarta, 27 Oktober 2015
> Foto-foto: dokumentasi Thamrin Sonata
----------------------------
Sumpah Pemuda diikrarkan pada Senin malam, 28 Oktober 1928, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan diproklamirkan, pada 17 Agustus 1945. Spirit persatuan inilah yang harus senantiasa kita rawat.
Buku tentang Sumpah Pemuda ini, ditulis oleh 24 Kompasianer. Buku ini mendapat kehormatan untuk dibahas oleh Tjiptadinata Effendi, Kompasianer of the Year 2014.
--------------------------
[1] Unggul Sagena adalah mahasiswa pascasarjana di sebuah sekolah kebijakan dan sekolah perencanaan di Bogor, Jawa Barat. Pernah menjadi delegasi PPI di sebuah negara kecil di Eropa dan delegasi alumni PPI untuk mengikuti Kongres dalam rangkaian International Symposium of OISAA (Simposium Internasional PPI Dunia) di Thailand (2013), Jepang (2014), dan Singapura (2015). PPI adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia, organisasi pelajar (biasanya pelajar universitas alias mahasiswa) Indonesia, yang sedang belajar di luar negeri.
[2] Ismail Suardi Wekke saat ini bermukim di Sorong, Papua Barat. Berpartisipasi dalam kegiatan nasional maupun internasional, sejak diamanahkan sebagai Ketua Pelaksana Unit Hubungan Internasional IAIN Alauddin, Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 2002. Setelah menyelesaikan program doktoral di Universiti Kebangsaan Malaysia, diangkat menjadi Pelaksana Tugas Kepala Pusat Bahasa, sekaligus Kepala Pusat Penjaminan Mutu, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong, tahun 2010. Sejak tahun 2012, menjadi Kepala Pusat Penjaminan Mutu STAIN Sorong. Bersama-sama dengan Kompasianer menerbitkan buku 36 Kompasianer Merajut Indonesia (2013), dan Pancasila Rumah Kita Bersama (2014).
[3] Tjiptadinata Effendi aktif menulis di Kompasiana, sejak 15 Oktober 2012. Saking aktif dan produktifnya menulis, ia dinobatkan sebagai Kompasianer of The Year tahun 2014. Sebagian tulisannya sudah diterbitkan sebagai buku. Semasa kanak-kanak, namanya Kim Liong. Namun, dalam surat-surat resmi, termasuk Ijazah, Passport, dan Surat Izin Mengemudi (SIM), namanya Tjiptadinata Effendi. Ia berasal dari Padang, Sumatera Barat. Semasa remaja, ia sekolah di SMA Don Bosco, Padang, yang berdekatan dengan Museum Adityawarman dan tak berapa jauh dari Pusat Kesenian Padang (Taman Budaya Padang). Istrinya, Roselina Tjiptadinata, juga aktif menulis di Kompasiana. Sang istri adalah adik kelasnya di SMA Don Bosco. Kini, Tjiptadinata Effendi bermukim di Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales, Australia, setelah Sydney dan Newcastle. Wollongong berada sekitar 80 kilometer sebelah selatan Sydney.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H