Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Rupiah Melemah, Ekspor Produk Olahan Ikan, dan Berkah Nelayan Menjaga Laut

27 Agustus 2015   05:52 Diperbarui: 27 Agustus 2015   06:36 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang juga patut kita apresiasi, perusahaan multinasional ini bukan hanya mengekspor ikan mentah, sebagaimana yang dilakukan banyak eksportir ikan. Mereka telah melakukan hilirisasi, dengan mengolah sumber daya laut menjadi produk makanan berbahan ikan. Mereka telah menciptakan nilai tambah, yang artinya mereka juga telah turut menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang. Produk makanan tersebut mereka ekspor. Data terbaru 2015 menunjukkan, dari 1.848 ton produk makanan yang terjual, sebanyak 1.548 ton atau senilai Rp 131,47 miliar di antaranya, terjual di pasar ekspor.

Aktivitas ekspor tersebut tentulah mendatangkan devisa untuk negara. Bahwa kini pendapatan mereka melompat tinggi, di saat rupiah menembus level 14.050 per dollar AS, sesungguhnya hal itu berkat ketekunan dan kesungguhan mereka selama puluhan tahun menekuni sektor maritim. Bukan sesuatu yang tiba-tiba dan seketika. Optimistis mereka melakoni sektor perikanan dan kelautan, menunjukkan kepada kita bahwa mereka sudah berpikir jauh ke depan. Sekali lagi, optimistis memang tidak bisa tumbuh dalam sekejap.

Optimistis pada hari depan, karena itulah segala sesuatunya harus dijaga dan dipersiapkan, bukan hal baru dalam tradisi kita, khususnya yang terkait dengan perikanan dan kelautan. Tradisi menyikapi dan memperlakukan laut, sudah berkembang serta melembaga di berbagai suku di tanah air, terutama pada mereka yang bermukim di pesisir. Salah satunya, kita pahami melalui pepatah, kalau tak sanggup menghadang gelombang, jangan berumah di tepi pantai.

Tradisi Sasi Laut adalah puasa menangkap ikan yang diterapkan masyarakat gugusan Kepulauan Raja Ampat. Ini merupakan cara unik mereka untuk menjaga kelestarian kekayaan laut dan terumbu karang. Upacara untuk tradisi tersebut, dilakukan dengan sangat sederhana. Namun, nelayan setempat sangat menghormati tradisi ini, dan patuh dengan tidak menangkap ikan dan biota laut lainnya dalam waktu yang telah ditentukan. Mereka percaya, musibah besar akan datang, bila aturan yang telah diterapkan sejak zaman nenek moyang tersebut, dilanggar. Foto: brilio.net

Tradisi Ketekunan Nelayan

Industri perikanan dan kelautan, bukan hanya membutuhkan kucuran modal. Tradisi yang telah diwariskan para kaum nelayan, sesungguhnya telah mengingatkan kita, bahwa ada gelombang yang akan menghadang. Seringkali, gelombang itu menghadang di saat kita tidak siap, meski kita sudah berupaya sedetail mungkin mencermati tanda-tanda alam. Juga, memahami tanda-tanda pergantian musim dan arah angin. Namun, gelombang di lautan memiliki cara-cara tersendiri untuk mengingatkan kita, bahkan mungkin menghukum kita, karena ketidakpedulian kita pada laut.

Mereka yang peduli pada laut, mereka yang sungguh-sungguh menjaga laut, terbukti mampu mewariskan kekayaan laut hingga ke anak-cucu, dari generasi ke generasi. Lihatlah kini gugusan Kepulauan Raja Ampat, di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kabupaten yang terdiri dari 610 pulau itu, telah menjadi salah satu magnet terkuat untuk wisata laut Indonesia. Sedikitnya, sekitar seribu jenis terumbu karang dan seribu lima ratus jenis ikan di perairan laut Raja Ampat, menjadi pesona yang sungguh tak terkalahkan.

Bagaimana mereka menjaganya? Bagaimana mereka mengelolanya? Kita tahu, ada empat pulau besar di kawasan ini: Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misol. Tradisi dan adat-istiadat mereka benar-benar sangat ketat untuk menjaga kekayaan alam dan kekayaan laut. Mereka memegang teguh tradisi yang disebut Sasi Laut[11]. Artinya, para nelayan di sana, berhenti untuk sementara waktu menangkap ikan dan biota laut lainnya, agar kekayaan laut tidak punah dan stok ikan kembali melimpah.

Puasa menangkap ikan di laut ini, diterapkan selama tiga hingga lima bulan. Waktunya ditentukan serta disepakati melalui rapat adat. Mereka percaya, musibah besar akan datang, bila aturan yang telah diterapkan sejak zaman nenek moyang tersebut dilanggar. Masyarakat setempat patuh dan taat akan hukum adat tersebut. Dengan adanya periode puasa menangkap ikan tersebut, ikan-ikan di laut memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang-biak secara leluasa, tanpa khawatir terjerat oleh jaring nelayan. Semua ini, setidaknya, menginspirasi kita dalam menyikapi serta memperlakukan kekayaan laut.

Jakarta, 27 Agustus 2015

----------------------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun