Cengkeh memang bukan pangan pokok. Bukan pula komoditas utama yang digenjot pemerintah untuk swasembada. Tapi, para petani cengkeh di Pulau Seram itu adalah juga saudara-saudara kita, bagian dari bangsa ini. Artinya, mereka tidak ada bedanya dengan para petani padi dan petani jagung, misalnya. Ini kalau kita menyikapi dalam konteks kebangsaan, rasa kebersamaan, dan makna dari pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan. Menteri Pertanian kita, Andi Amran Sulaiman, mungkin energinya dan waktunya, sudah habis tersita untuk menangani padi, beras, jagung, dan belakangan daging sapi serta daging ayam.
Kita mungkin bertanya, apa artinya petani cengkeh dan cengkeh bagi Indonesia? Saat ini, setidaknya, ada 1,82 juta petani cengkeh dengan total luas lahan cengkeh mencapai 331.450 hektar, di tanah air kita. Rata-rata, produksi cengkeh Indonesia di kisaran 73.000 ton per tahun. Menurut Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir[6], pada Selasa (28/10/2014), diperkirakan kebutuhan industri rokok akan cengkeh pada tahun 2015, sekitar 130.000 ton. Artinya, kebutuhan cengkeh untuk industri tersebut, belum terpenuhi oleh produksi cengkeh secara nasional. Kebutuhan jauh lebih tinggi dari ketersediaan pasokan.
Sebagai catatan, nilai perdagangan cengkeh ke industri rokok selama ini, mencapai lebih dari Rp 7 triliun per tahun. Dengan kata lain, petani cengkeh dan cengkeh, adalah komponen bangsa yang bernilai, yang juga patut mendapat perhatian. Dalam hal ini, penanganan tata-niaga yang semestinya, agar petani cengkeh tak sampai terbelit utang dengan rentenir. Agar petani tersebut bisa membiayai kehidupan sehari-hari serta cukup uang untuk menutupi kebutuhan anak-anak mereka ke sekolah. Toh, pada dasarnya, mereka telah bekerja, telah menghasilkan produk komoditas, dan industri dalam negeri juga membutuhkan pasokan cengkeh.
Kalau kita mau urut ke belakang, Indonesia pernah menjadi produsen cengkeh terbesar di dunia, sejak tahun 1964. Kalau kita mau urut lagi ke masa silam, katakanlah ke abad ke-18, Indonesia pernah menjadi satu-satunya penghasil cengkeh di dunia. Habitat asli cengkeh berada di lima pulau di Maluku Utara: Bacan, Makian, Moti, Ternate, dan Tidore. Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda yang menguasai Maluku, menjaga buah dan biji cengkeh dengan sangat ketat, agar tidak lolos keluar Maluku.
Gubernur Tidak Berani Ambil Risiko
Di tengah spirit membangun daerah, meningkatkan potensi kearifan lokal, menaikkan pendapatan masyarakat setempat, tidak adakah jalan bagi pemerintah daerah untuk menolong para petani cengkeh itu, agar mereka tidak terbelit rentenir? Di tingkat Provinsi Maluku, ada Gubernur Maluku, Said Assagaff. Perhatian Said Assagaff pada masyarakat Pulau Seram, sesungguhnya cukup tinggi. Pada Kamis (19/2/2015)[7], misalnya, Said Assagaff sengaja memilih Pulau Seram sebagai pusat perayaan Imlek atau Tahun Baru China 2566.
Kala itu, peringatan Tahun Baru China 2566, dipusatkan di Oping, pedalaman Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam perayaan tersebut, Gubernur Said Assagaff bersama masyarakat Oping, Arara, Besi, dan Huaulu, berbaur dengan manajemen Wahana Lestari Investasi (WLI), milik pengusaha nasional, Burhan Aray. Meski demikian, dalam konteks nasib petani cengkeh dan harga cengkeh di Pulau Seram, Gubernur Said Assagaff[8], sebagaimana dilansir print.kompas.com, pada Kamis (20/8/2015) mengatakan, pemerintah daerah tidak bisa mengintervensi harga cengkeh dan pala. Pemerintah juga tak mau terlibat dalam pemasaran hasil petani melalui badan usaha milik daerah.
"Dulu (pada masa Orde Baru), untuk pemasaran cengkeh, pemerintah bekerja sama dengan perusahaan rokok di Jawa. Sekarang, hal itu tidak bisa dilakukan lagi, karena harga sangat fluktuatif. Kami tidak berani mengambil risiko, sebab khawatir harga yang kami beli dari petani, lebih tinggi daripada harga yang kami jual ke industri. Kami pasti disalahkan, karena telah merugikan keuangan negara," kata Gubernur Said Assagaff, sebagaimana dikutip print.kompas.com, pada Kamis (20/8/2015).
Apa yang diungkapkan Gubernur Said Assagaff tersebut, tentulah mengenaskan bagi para petani cengkeh di sana. Entah bagaimana perasaan mereka, karena pemerintah daerah tak mau terlibat dalam pemasaran hasil pertanian mereka. Tegakah kita membiarkan mereka dibelit para rentenir? Tidak mungkinkah ada kebijakan untuk membantu mereka? Barangkali, sikap Gubernur Said Assagaff tersebut merupakan cerminan dari apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla[9] saat membuka Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Ambon, pada Kamis (26/2/2015) lalu, pemidanaan terhadap kebijakan, akan membuat semua aparat pemerintah, dari daerah sampai pusat, tidak berani mengambil kebijakan dan berakibat pemerintahan tidak berjalan.
Jakarta, 21 Agustus 2015 Â Â