Cengkeh dijemur untuk proses pengeringan. Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Pattimura, Ambon, Teddy Ch Leasiwal, mengatakan, dalam jangka panjang, pemerintah perlu memikirkan untuk membuat sebuah lembaga khusus, yang berfungsi menampung atau membeli komoditas petani. Dengan begitu, apabila terjadi penurunan harga akibat gejolak ekonomi dunia atau minimnya permintaan industri dalam negeri, tidak berdampak pada harga komoditas di tingkat petani. Foto: beritadaerah.co.id dan renzatahalele.tumblr.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Petani pala dan cengkeh di Maluku, luar biasa. Mereka berani pinjam uang dengan bunga 10 persen per bulan. Bukan ke bank, tapi ke rentenir[1]. Risiko itu mereka hadang, untuk biaya hidup sehari-hari dan untuk biaya anak-anak, agar mereka tetap bisa sekolah.
Datanglah ke Pulau Seram[2], di sebelah utara Pulau Ambon, Provinsi Maluku. Penduduk di sana sedang memasuki musim panen, panen cengkeh[3]. Baik di Seram Bagian Barat maupun di Seram Bagian Timur. Selain itu, hampir di seluruh wilayah Maluku, saat ini, para petani cengkeh tengah memasuki masa panen. Mereka tidak langsung menjualnya, meski sangat butuh uang. Karena, harga komoditas yang di masa lalu sangat diburu bangsa Eropa tersebut, kini sedang jatuh. Anjloknya tidak tanggung-tanggung. Dari pantauan beberapa pekan terakhir, hingga Rabu (19/8/2015) lalu, harga cengkeh di tingkat petani di sana, Rp 60.000 per kilogram. Harga itu termasuk harga paling rendah, selama 15 tahun terakhir. Bagaimana saudara-saudara kita di sana menyiasatinya?
Memilih Rentenir, Menghadang Risiko
Petani cengkeh di Seram, tetap memanen cengkeh, sebagaimana biasanya mereka menyambut musim panen. Tentang harga jual yang anjlok drastis, mereka melihat itu sebagai bagian dari perubahan zaman, yang tak mungkin terelakkan. Mereka masih menaruh harapan, bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi, harga cengkeh akan bergerak naik. Karena itu, pada panen kali ini, mereka tidak langsung menjualnya. Mereka memilih menyimpan hasil panen tersebut untuk sementara waktu, sembari berharap harga jual cengkeh segera bergerak naik.
Untuk membiayai pemanenan, untuk membiayai kehidupan sehari-hari, serta untuk menutupi kebutuhan anak-anak sekolah, para petani cengkeh Pulau Seram itu meminjam uang dari rentenir[4]. Mereka yang disebut rentenir ini, memang sudah biasa meminjamkan uang kepada petani cengkeh yang membutuhkan. Praktis, kebiasaan meminjam uang dari rentenir, bukan hanya di sana, tapi juga berlangsung di banyak tempat di tanah air. Bunga pinjaman yang ditetapkan oleh rentenir, kemudian disepakati oleh petani peminjam, memang rata-rata di atas suku bunga yang berlaku di bank.
Mereka berani pinjam uang dengan bunga 10 persen per bulan kepada rentenir, karena mereka yakin akan mampu mengembalikannya. Begitu harga cengkeh bergerak naik, mereka melepas cengkeh ke pasar, dan utang langsung dibayar. Ini mekanisme transaksi yang selama ini berlangsung di kalangan petani cengkeh di Seram. Dalam hitung-hitungan petani di sana, minimal harga cengkeh Rp 85.000 per kilogram, baru mereka akan menjual. Biaya produksi mereka di kisaran Rp 80.000-Rp 85.000 per kilogram. Di salah satu lokasi transaksi cengkeh di kawasan Riyool, Jalan Setia Budi, Kota Ambon, pada Jumat (7/8/2015), cengkeh diperdagangkan dengan harga Rp 75.000 per kilogram[5].
Sebagai catatan, pada akhir Oktober 2014, harga cengkeh di tingkat petani di sana, Rp 140.000 per kilogram. Ada perubahan besar yang telah terjadi. Bukan sekadar cuaca ekstrim. Tapi, struktur tata-niaga cengkeh, juga korelasinya dengan sejumlah industri yang menyerap cengkeh, telah mengalami perubahan drastis. Kondisi yang demikian, tentulah melemahkan daya beli masyarakat di sana. Untuk komoditas cengkeh, untuk realitas lemahnya daya beli masyarakat, Pulau Seram barangkali hanya salah satu contoh. Pada komoditas yang lain, di wilayah yang lain, barangkali ada sejumlah contoh lain.
Ada 1,82 Juta Petani Cengkeh
Cengkeh memang bukan pangan pokok. Bukan pula komoditas utama yang digenjot pemerintah untuk swasembada. Tapi, para petani cengkeh di Pulau Seram itu adalah juga saudara-saudara kita, bagian dari bangsa ini. Artinya, mereka tidak ada bedanya dengan para petani padi dan petani jagung, misalnya. Ini kalau kita menyikapi dalam konteks kebangsaan, rasa kebersamaan, dan makna dari pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan. Menteri Pertanian kita, Andi Amran Sulaiman, mungkin energinya dan waktunya, sudah habis tersita untuk menangani padi, beras, jagung, dan belakangan daging sapi serta daging ayam.
Kita mungkin bertanya, apa artinya petani cengkeh dan cengkeh bagi Indonesia? Saat ini, setidaknya, ada 1,82 juta petani cengkeh dengan total luas lahan cengkeh mencapai 331.450 hektar, di tanah air kita. Rata-rata, produksi cengkeh Indonesia di kisaran 73.000 ton per tahun. Menurut Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir[6], pada Selasa (28/10/2014), diperkirakan kebutuhan industri rokok akan cengkeh pada tahun 2015, sekitar 130.000 ton. Artinya, kebutuhan cengkeh untuk industri tersebut, belum terpenuhi oleh produksi cengkeh secara nasional. Kebutuhan jauh lebih tinggi dari ketersediaan pasokan.
Sebagai catatan, nilai perdagangan cengkeh ke industri rokok selama ini, mencapai lebih dari Rp 7 triliun per tahun. Dengan kata lain, petani cengkeh dan cengkeh, adalah komponen bangsa yang bernilai, yang juga patut mendapat perhatian. Dalam hal ini, penanganan tata-niaga yang semestinya, agar petani cengkeh tak sampai terbelit utang dengan rentenir. Agar petani tersebut bisa membiayai kehidupan sehari-hari serta cukup uang untuk menutupi kebutuhan anak-anak mereka ke sekolah. Toh, pada dasarnya, mereka telah bekerja, telah menghasilkan produk komoditas, dan industri dalam negeri juga membutuhkan pasokan cengkeh.
Kalau kita mau urut ke belakang, Indonesia pernah menjadi produsen cengkeh terbesar di dunia, sejak tahun 1964. Kalau kita mau urut lagi ke masa silam, katakanlah ke abad ke-18, Indonesia pernah menjadi satu-satunya penghasil cengkeh di dunia. Habitat asli cengkeh berada di lima pulau di Maluku Utara: Bacan, Makian, Moti, Ternate, dan Tidore. Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda yang menguasai Maluku, menjaga buah dan biji cengkeh dengan sangat ketat, agar tidak lolos keluar Maluku.
Gubernur Tidak Berani Ambil Risiko
Di tengah spirit membangun daerah, meningkatkan potensi kearifan lokal, menaikkan pendapatan masyarakat setempat, tidak adakah jalan bagi pemerintah daerah untuk menolong para petani cengkeh itu, agar mereka tidak terbelit rentenir? Di tingkat Provinsi Maluku, ada Gubernur Maluku, Said Assagaff. Perhatian Said Assagaff pada masyarakat Pulau Seram, sesungguhnya cukup tinggi. Pada Kamis (19/2/2015)[7], misalnya, Said Assagaff sengaja memilih Pulau Seram sebagai pusat perayaan Imlek atau Tahun Baru China 2566.
Kala itu, peringatan Tahun Baru China 2566, dipusatkan di Oping, pedalaman Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam perayaan tersebut, Gubernur Said Assagaff bersama masyarakat Oping, Arara, Besi, dan Huaulu, berbaur dengan manajemen Wahana Lestari Investasi (WLI), milik pengusaha nasional, Burhan Aray. Meski demikian, dalam konteks nasib petani cengkeh dan harga cengkeh di Pulau Seram, Gubernur Said Assagaff[8], sebagaimana dilansir print.kompas.com, pada Kamis (20/8/2015) mengatakan, pemerintah daerah tidak bisa mengintervensi harga cengkeh dan pala. Pemerintah juga tak mau terlibat dalam pemasaran hasil petani melalui badan usaha milik daerah.
"Dulu (pada masa Orde Baru), untuk pemasaran cengkeh, pemerintah bekerja sama dengan perusahaan rokok di Jawa. Sekarang, hal itu tidak bisa dilakukan lagi, karena harga sangat fluktuatif. Kami tidak berani mengambil risiko, sebab khawatir harga yang kami beli dari petani, lebih tinggi daripada harga yang kami jual ke industri. Kami pasti disalahkan, karena telah merugikan keuangan negara," kata Gubernur Said Assagaff, sebagaimana dikutip print.kompas.com, pada Kamis (20/8/2015).
Apa yang diungkapkan Gubernur Said Assagaff tersebut, tentulah mengenaskan bagi para petani cengkeh di sana. Entah bagaimana perasaan mereka, karena pemerintah daerah tak mau terlibat dalam pemasaran hasil pertanian mereka. Tegakah kita membiarkan mereka dibelit para rentenir? Tidak mungkinkah ada kebijakan untuk membantu mereka? Barangkali, sikap Gubernur Said Assagaff tersebut merupakan cerminan dari apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla[9] saat membuka Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Ambon, pada Kamis (26/2/2015) lalu, pemidanaan terhadap kebijakan, akan membuat semua aparat pemerintah, dari daerah sampai pusat, tidak berani mengambil kebijakan dan berakibat pemerintahan tidak berjalan.
Jakarta, 21 Agustus 2015 Â Â
----------------------------
2.800 petani sawit perseorangan di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, menghimpun diri dan akhirnya mendirikan pabrik CPO senilai Rp 130 miliar, secara swadaya.
Petani memahami tanah sebagai sumber kehidupan. Mereka pekerja yang ulet, belajar dari alam, karena mereka sepenuhnya menyadari bahwa mereka bagian dari alam itu sendiri.
----------------------------
[1] Masyarakat meminjam uang ke rentenir, umumnya, karena ketiadaan pilihan mencari sumber uang dalam jangka pendek, untuk kebutuhan mendesak. Mereka terpaksa menempuh risiko, meski bunga dari rentenir tinggi. Laksono Dwionggo dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Maluku, mendorong tumbuhnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di pedesaan, yang belum mendapat akses perbankan. Ini dalam rangka melindungi masyarakat agar terhindar dari lintah darat atau rentenir yang memberikan bunga pinjaman sangat tinggi. Selengkapnya, silakan baca OJK Maluku Dorong LKM Berkembang, yang dilansir neraca.co.id, pada Jumat l 31 Juli 2015.
[2] Dari Ambon ke Pulau Seram, bisa menggunakan kapal cepat. Dari Pelabuhan Tulehu, Ambon, menuju Pelabuhan Amahai di Pulau Seram, waktu tempuh kurang-lebih 1,5 jam. Dari Ambon, bisa juga ke Pulau Seram menggunakan kapal feri dari Pelabuhan Hunimua (Liang) ke Pelabuhan Waipirit, Seram Bagian Barat. Waktu tempuhnya agak lebih lama, sekitar 2 jam.
[3] Hampir di seluruh wilayah Maluku, para petani cengkeh sedang memasuki musim panen. Para petani mengeluh karena harga cengkeh di Maluku semakin hari, semakin merosot. Para petani cengkeh resah. Selengkapnya, silakan baca Harga Cengkih Semakin Merosot, yang dilansir siwalimanews.com, pada Kamis l 20 Agustus 2015.
[4] Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, juga gencar melawan rentenir. Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, pada Rabu, 13 Mei 2015, meluncurkan program yang dinamai Kredit Melati, Melawan Rentenir. Program ini dibuka dengan bunga yang rendah dan proses peminjaman yang mudah. Selengkapnya, silakan baca Ridwan Kamil Segera Cairkan Kredit Murah Melawan Rentenir, yang dilansir tempo.co, pada Selasa l 05 Mei 2015 | 20:43 WIB.
[5] Renny, salah seorang istri petani cengkeh dari Pulau Seram, yang menjual cengkeh ke kawasan Riyool, berharap pemerintah menyikapi penurunan harga cengkeh ini. Petani tidak bisa berbuat banyak. Kondisi itu, bila dibiarkan, akan membuat petani kesulitan menutupi biaya hidup. Selengkapnya, silakan baca Harga Hasil Perkebunan Maluku Turun, yang dilansir tribun-maluku.com, pada Jumat l 07 Agustus 2015.
[6] Cengkeh yang pernah memakmurkan rakyat negeri ini, sekarang ambruk. Impor cengkeh, terus meningkat dari tahun ke tahun. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir, mengungkapkan, cengkeh merupakan komoditas strategis, karena kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, sumber devisa negara, penyediaan bahan baku industri, pendapatan petani, konservasi lingkungan, dan sarana pengembangan wilayah. Selengkapnya, silakan baca Harga Terus Gonjang-ganjing, RI Impor Cengkeh 40 Ribu Ton, yang dilansir agrofarm.co.id, pada Selasa l 28 Oktober 2014 l 21:46:25 WIB.
[7] Ini peristiwa yang bersejarah, karena untuk pertama kalinya perayaan Imlek tingkat Provinsi Maluku, diselenggarakan di luar Kota Ambon, setelah pemerintah Indonesia menyetujui pelaksanaan Tahun Baru China pada 1999. Selengkapnya, silakan baca Perayaan Imlek di Pedalaman Pulau Seram, yang dilansir antaranews.com, pada Senin l 23 Februari 2015 l 14:54 WIB.
[8] Gubernur Maluku, Said Assagaff, mengatakan, pemerintah daerah tidak bisa mengintervensi harga cengkeh dan pala. Selengkapnya, silakan baca Petani Dimodali Rentenir, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis l 20 Agustus 2015.
[9] Para pejabat, baik di level menteri, direksi BUMN, maupun para kepala daerah, tidak perlu gentar mengambil keputusan, sejauh sesuai aturan yang berlaku dan tanpa disertai penyalahgunaan wewenang. Selengkapnya, silakan baca Jangan Takut Membuat Terobosan, yang dilansir sp.beritasatu.com, pada Jumat l 24 Juli 2015 | 10:20 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H