Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketimpangan Si Kaya dan Si Miskin, dari Andrinof Chaniago hingga Faisal Basri

18 Agustus 2015   17:55 Diperbarui: 18 Agustus 2015   18:04 5037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andrinof Chaniago (kiri), grafik Gini index, dan Faisal Basri (kanan). Menurut Andrinof, kondisi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, sudah dalam situasi berbahaya. Menurut Faisal, jurang kaya-miskin kian menganga. Inilah bagian dari kondisi bangsa kita, memasuki Proklamasi Kemerdekaan 70 Tahun. Menurut Meutia Farida Hatta, putri Mohammad Hatta, pemerintah dan masyarakat hendaknya bahu-membahu bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bangsa, seperti yang diinginkan para Proklamator dan pendahulu bangsa. Foto: berkas:andrinofchaniago, faisalbasri01.files.wordpress.com, dan kompasiana.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Faisal Basri, pada Senin (17/8/2015), menampilkan data yang menunjukkan, bahwa angka ketimpangan di Indonesia semakin memburuk. Dalam tulisan Kemiskinan dan Ketimpangan setelah 70 Tahun Merdeka[1], Faisal Basri menyatakan, sepanjang sejarah, indeks Gini sudah mencapai tingkat tertinggi.

Kita tahu, indeks Gini atau rasio Gini atau koefisien Gini adalah instrumen statistika, yang dirumuskan oleh Corrado Gini. Ia merupakan ahli statistika, sekaligus ahli sosiologi dari Italia. Rumusan tersebut, dipaparkan Corrado Gini pada tahun 1912, melalui tulisan ilmiahnya, Variabilitas dan Mutabilitas. Ringkasnya, indeks Gini menampilkan indikator ketimpangan, ketidakmerataan, serta jurang antara mereka yang berkelebihan dengan mereka yang kurang berpunya dan tidak berpunya. Andrinof Chaniago, ketika masih menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, jauh sebelumnya, pada Sabtu (6/12/2014), sudah mengatakan, bahwa kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin alias rasio Gini negara kita, sudah mencapai 0,43. Kata Andrinof Chaniago waktu itu, kondisi kesenjangan antara si kaya dan si miskin tersebut, sudah dalam situasi berbahaya, yang bisa meledak. Hal itu ia ungkapkan saat menghadiri pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional, di Palu, Sulawesi Tengah[2].

Realitas Ketimpangan di Pendidikan

Ada singkronisasi antara apa yang diungkapkan Andrinof Chaniago pada Sabtu (6/12/2014) tersebut, dengan apa yang dituliskan Faisal Basri pada Senin (17/8/2015). Dengan kata lain, kondisi ketimpangan sejak akhir 2014 tersebut, nyaris belum beranjak baik, hingga kini. Pemerintahan Joko Widodo tentu telah berupaya untuk membenahinya, dengan terus menggelorakan spirit ekonomi kerakyatan dan keberpihakan kepada rakyat. Meski demikian, pemerintah tidak bisa menutupi kagamangannya, yang ditandai dengan menurunkan target pertumbuhan ekonomi secara beruntun: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, kemudian diturunkan lagi menjadi 5,2 persen[3].

Kegamangan pemerintah itu, terbukti dari rendahnya pertumbuhan ekonomi yang digapai Joko Widodo. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 yang 4,7 persen dan triwulan II-2015 yang 4,67 persen, berada di bawah target yang ditetapkan Joko Widodo. Tidak tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan, yang beriringan dengan terus melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, adalah realitas yang mengakibatkan kian melemahnya daya beli masyarakat, yang dampak lanjutannya makin menganganya jurang antara si kaya dan si miskin di negeri ini.

Melalui dunia pendidikan, jurang dan ketimpangan tersebut, bisa kita lihat dengan terang-benderang. Tiap tahun, ada 1,8 juta remaja putus sekolah, karena biaya pendidikan yang mahal. Data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) menunjukkan, tiap menit, ada 4 pelajar putus sekolah[4]. Ini realitas pendidikan di Indonesia, di negeri kita, yang memasuki usia 70 tahun. Mereka yang putus sekolah tersebut adalah bagian dari kita, bagian dari bangsa yang kita cintai ini. Selain itu, ada 900 dari 6.994 kecamatan di negeri kita[5], belum memiliki Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah. Korelasi angka putus sekolah dan belum tersedianya sekolah menengah sampai ke kecamatan, setidaknya menggugah pihak berwenang agar lebih cermat dalam merumuskan kebijakan.

Dalam konteks ketimpangan, seperti apa posisi mereka yang berpunya alias si kaya? Laporan yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2015 berikut ini, mungkin bisa menjawabnya. Hingga Juni 2015, OJK mencatat[6], ada 216.762 rekening di bank di negeri ini, yang memiliki nilai simpanan di atas Rp 2 miliar. Sesuai ketentuan, nilai nominal simpanan masyarakat yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maksimal Rp 2 miliar per rekening. Data itu setidaknya menunjukkan, gambaran ketimpangan secara kongkrit, antara mereka yang tidak mampu membayar biaya sekolah dengan mereka yang berkelebihan, sebagaimana yang dikemukakan Andrinof Chaniago dan Faisal Basri di atas.

Bung Hatta sedang berdiskusi tentang politik perekonomian di Jakarta, pada tahun 1975. Cita-cita Bung Hatta belum tercapai. Masih banyak rakyat Indonesia, yang sejak lahir hingga meninggal dunia, dalam keadaan miskin. Pasal 33 Undang-Undang Dasar dengan jelas menyebutkan, kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama, berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi. Foto: kompas.com

Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi

Faisal Basri mencatat, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih lambat dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Vietnam dan Kamboja. Kita mungkin berpikir, biang keladi utamanya adalah rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Tapi, dengan mencermati apa yang terjadi di Provinsi Bali, mungkin bisa menambah pemahaman kita akan kemiskinan serta ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Mari kita lihat Provinsi Bali, yang pertumbuhan ekonominya pada triwulan I-2015 mencapai 6,20 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional, yang hanya 4,71 persen.  

Ternyata, kemiskinan dan ketimpangan, juga mencolok di Bali. Wayan Windia, Guru Besar Universitas Udayana, Bali, pada Minggu (26/7/2015), mengemukakan, ketimpangan sosial ekonomi di Bali, justru semakin tinggi. Tingkat kemiskinan di Bali, kata Wayan Windia, juga semakin merambah naik[7]. Wah, apa yang terjadi? Bagaimana mungkin, di wilayah yang tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi, angka kemiskinan dan ketimpangan, juga tinggi?[8] Apa yang terjadi di Bali tersebut, bukan lagi sekadar indeks Gini, tapi realitas yang menunjukkan adanya dominasi ekonomi, penguasaan modal.

Ringkasnya, karena aktivitas ekonomi di provinsi tersebut, didominasi oleh sejumlah orang atau beberapa kelompok orang, yang menguasai modal serta menguasai pula arus barang dan jasa. Infrastruktur pariwisata, misalnya hotel dan restoran, memang terus dibangun di Bali. Turis terus berdatangan ke Bali. Tapi, porsi terbesar yang menikmati geliat ekonomi wisata tersebut, tetap saja para pemodal, yang sebagian besar datang dari luar Bali. Porsi berikutnya, dinikmati oleh para profesional, yang sebagian besar juga datang dari luar Bali. Tahun lalu, pada Rabu (27/8/2014), Wayan Windia, mencatat, hanya sekitar 16,21 persen pendapatan Bali dinikmati oleh 40 persen penduduk dengan penghasilan rendah[9].

Kemiskinan? Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, saat menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Provinsi Bali Tahun 2014, pada sidang paripurna DPRD Bali, awal April 2015, menyatakan, pendapatan per kapita penduduk Bali tahun 2014 adalah Rp 25,88 juta per kapita per tahun. Angka ini naik, karena pada tahun 2013, hanya Rp 23,31 juta. Pada saat yang sama, jumlah warga miskin[10] di Pulau Dewata ini, juga naik dari 4,49% pada periode September 2013 menjadi 4,76% pada periode yang sama tahun 2014. I Made Mangku Pastika menyebut, jumlah penduduk miskin di Bali, 195 ribu orang. Wayan Windia mencatat, ada sekitar 125.000 KK miskin di Bali.

Momentum pergantian sejumlah menteri ekonomi dan momentum keyakinan publik, sudah seharusnya dimanfaatkan pemerintah Joko Widodo dengan sebaik-baiknya. Kebijakan yang komprehensif, dengan memperhitungkan arus perubahan global, tentulah sangat ditunggu-tunggu oleh kalangan dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Foto: print.kompas.com

Kebijakan Parsial Bukan Solusi

Dari realitas kemiskinan dan ketimpangan secara nasional, sebagaimana dikemukakan Andrinof Chaniago dan Faisal Basri di atas, juga dari realitas kemiskinan dan ketimpangan di Bali, kita tahu bahwa kebijakan ekonomi tambal-sulam dan langkah ekonomi yang hanya parsial, yang diterapkan pemerintahan Joko Widodo saat ini, tidak cukup ampuh untuk menjadi solusi bagi kemiskinan dan ketimpangan di negeri ini. Hasil survei periodik Litbang Harian Kompas[11], pada 25 Juni 2015 hingga 7 Juli 2015, menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan ekonomi, belum berdampak nyata.

Kemiskinan dan ketimpangan harus dicermati dengan lebih sungguh-sungguh. Faisal Basri menyebut, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, berjumlah 77,6 juta jiwa. Angka itu setara dengan 31 persen atau hampir sepertiga jumlah penduduk negeri ini. Beban dan tanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan serta ketimpangan tersebut, tentulah bukan hanya urusan pemerintah. Tiap elemen bangsa ini, sudah sepatutnya secara bersama-sama turut membenahi, sesuai dengan profesi dan kapasitas masing-masing. Kebiasaan menangguk untung sesaat atau menginjak orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan, sudah seharusnya ditinggalkan.

Bangsa ini milik kita bersama, maka secara bersama-sama pula kita berjuang agar tanah air yang kita cintai ini tidak terpuruk. Meutia Farida Hatta, putri Proklamator dan Wakil Presiden Indonesia pertama Mohammad Hatta, meminta pemerintah dan masyarakat bahu- membahu bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bangsa, seperti yang diinginkan para Proklamator dan pendahulu bangsa. Saat Napak Tilas 70 Tahun Kemerdekaan RI, Meutia Farida Hatta[12] menyebut, masih banyak rakyat Indonesia yang sejak lahir hingga meninggal dunia, dalam keadaan miskin.

Jakarta, 18 Agustus 2015

----------------------------

Lemahnya daya beli masyarakat, sudah berimbas pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Padahal, sektor UMKM adalah tempat bertumpu hidup 98 juta pekerja rakyat.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/zona-waspada-kredit-bermasalah-umkm-pada-maret-4-3-persen-pada-april-4-4-persen_55a6d070b49373c61d8fa7f0

Petani jagung sudah meningkatkan produksi jagung nasional. Impor jagung sudah dihentikan. Industri pakan ternak sudah siap menyerap jagung nasional. Tapi, tata niaganya belum tertangani.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/bulog-siap-impor-jagung-tapi-belum-siap-serap-jagung-dari-petani_55c5ce0a387b617707855ef0

-----------------------------

[1] Penduduk miskin sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Apalagi, mengingat sistem perlindungan sosial di Indonesia sangat buruk. Selengkapnya, silakan baca Kemiskinan dan Ketimpangan setelah 70 Tahun Merdeka, yang dilansir kompasiana.com, pada Senin l 17 Agustus 2015 l 19:44:53 WIB.

[2] Masih banyak daerah yang tingkat rasio Gini-nya lebih tinggi dari rata-rata nasional, yang berada pada kisaran 0,44 dan 0,45. Selengkapnya, silakan baca Kesenjangan Masyarakat Saat Ini Sama dengan Situasi sebelum Krisis 1997, yang dilansir kompas.com, pada Senin l 8 Desember 2014 | 10:10 WIB.

[3] Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015, target pertumbuhan ekonomi disepakati 5,7 persen. Pemerintah kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi 2015. Revisi ini yang kedua, setelah Mei lalu, Kementerian Keuangan mengubah target pertumbuhan menjadi 5,4 persen. Pada 2 Juli, target direvisi lagi menjadi 5,2 persen. Selengkapnya, silakan baca Memaknai Revisi Pertumbuhan, yang dilansir print.kompas.com, pada Senin | 4 Juli 2015.

[4] Setiap tahun sekira 1,8 juta anak Indonesia putus sekolah. Penyebab utama adalah mahalnya biaya sekolah sehingga pendidikan terkesan hanya milik orang kaya. Amanat UUD 1945 belum sepenuhnya dilakukan pemerintah, meski sudah 70 tahun negara ini merdeka. Selengkapnya, silakan baca 1,8 Juta Anak Putus Sekolah Setiap Tahun, yang dilansir okezone.com, pada Sabtu l 2 Mei 2015 l 14:03 WIB.

[5] Untuk mewujudkan wajib belajar 12 tahun, di setiap kecamatan harus ada SMA/SMK pada tahun 2019. Namun, sampai saat ini, dari 6.994 jumlah total kecamatan di Indonesia, masih ada 900 kecamatan yang belum memiliki SMA/SMK. Selengkapnya, silakan baca 900 Kecamatan Belum Memiliki SMA/SMK, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu Siang | 12 Agustus 2015 l 16:11 WIB.

[6] Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, nilai total simpanan mencapai Rp 4.411,686 triliun, hingga akhir Juni 2015. Angka ini naik dari bulan sebelumnya, sebesar Rp 83,52 triliun. Selengkapnya, silakan baca Rakyat RI Simpan Uang Rp 4.411 Triliun di Bank, yang dilansir liputan6.com, pada Selada l 04 Agustus 2015 l 21:56 WIB.

[7] Sekarang, masyarakat Bali sudah sesak, diperparah lagi dengan suasana konflik sosial, khususnya konflik yang terjadi di tengah-tengah kemiskinan yang semakin merambah naik. Selengkapnya, silakan baca Guru Besar Unud nilai Bali dilanda ketimpangan sosial ekonomi, yang dilansir antaranews.com, pada Minggu l 26 Juli 2015 l 11:27 WIB.

[8] Tentang hal ini, pada tahun 2002, dua ekonom Bank Dunia, David Dollar dan Aart Kraay, memublikasikan makalah dengan judul Growth is Good for the Poor. Dengan menggunakan data 92 negara, mereka menunjukkan, bahwa rata-rata pendapatan masyarakat 20 persen termiskin, selalu naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, silakan baca Ketimpangan dan Pertumbuhan, yang dilansir print.kompas.com, pada Selasa | 11 Agustus 2015.

[9] Jumlah rumah tangga petani, terus mengecil, namun jumlah petani gurem terus meningkat. Hal itu membuktikan bahwa konsep pembangunan yang tidak seimbang di Bali, ternyata telah gagal mensejahterakan masyarakat setempat. Selengkapnya, silakan baca Bali Perlu Mengubah Paradigma Pembangunan Tidak Seimbang, yang dilansir beritasatu.com, pada Rabu l 27 Agustus 2014 | 09:28 WIB.

[10] Selengkapnya, silakan baca Pendapatan Perkapita Penduduk Bali Meningkat, Jumlah Warga Miskin Juga Bertambah, yang dilansir balisaja.com, pada Kamis l 9 April 2015.

[11] Tantangan kelesuan di bidang ekonomi yang mulai mendera sejak awal tahun, ternyata belum berhasil diatasi sepenuhnya oleh pemerintah. Selengkapnya, silakan baca Kebijakan Ekonomi Masih Parsial, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu | 29 Juli 2015.

[12] Selengkapnya, silakan baca Masih Banyak Kemiskinan, Cita-cita Bung Hatta Belum Tercapai, yang dilansir kompas.com, pada Senin l 17 Agustus 2015 | 12:30 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun