Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi, Perekat Rasa Kebersamaan Sebagai Bangsa dalam Pergaulan Dunia

9 Agustus 2015   11:33 Diperbarui: 9 Agustus 2015   11:33 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga dunia dalam Jambore Pramuka Dunia ke-23 di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, akhir Juli 2015, memainkan angklung, musik tradisi kita. Angklung ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia oleh UNESCO, badan dunia yang mengurusi seputar budaya di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sejak November 2010. Tanggal 16 November ditetapkan sebagai Hari Angklung sedunia. Foto: print.kompas.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Tiap kali berhadapan dengan warga dunia, yang kita suguhkan kepada mereka adalah tradisi kita, kebudayaan kita. Menekuni tradisi, tidak akan membuat kita terkucil dari pergaulan dunia. Karena, kebudayaan adalah bahasa yang universal, yang dengan luwes menyentuh nurani lintas benua.

Kang Udjo, seniman angklung asal Jawa Barat, misalnya, sukses menyentuh serta menggerakkan warga dunia di Jambore Pramuka Dunia[1] ke-23 di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, akhir Juli 2015, dengan seni tradisi musik angklung. Puluhan pemimpin pramuka dunia, Asia Pasifik, serta 40 perwakilan negara, turut serta memainkan alat musik tradisional Sunda tersebut[2]. Hanya dalam hitungan hari, sekitar sepekan kemudian, pada 6-8 Agustus 2015, 34 kelompok remaja dari 34 provinsi yang menekuni musik tradisi, menyajikan kesungguhan mereka dalam menggali akar budaya melalui musik. Di halaman Museum Fatahillah, di kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat, para remaja tersebut tampil di Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015[3]. Mereka meyakinkan kita semua, bahwa mereka tak sepenuhnya tercerabut dari akar budaya tanah air.

Merawat Budaya Malah Mendunia

Kalau ada yang menganggap bahwa menekuni budaya masa lalu akan membuat kita terpuruk dan ketinggalan zaman, mungkin anggapan itu tidak berlaku bagi mereka yang beraktivitas di Saung Angklung Udjo[4], yang berada di Jalan Padasuka No. 118, Bandung. Mereka, secara turun-temurun, sejak tahun 1966, telah mengabdikan hidup untuk merawat budaya Sunda, mengembangkan diri bersama seni musik angklung. Sementara, seni musik angklung itu sendiri diperkirakan sudah mulai ada sejak 18 abad silam, pada suku Baduy, yang merupakan leluhur masyarakat Sunda.

Apakah mereka ketinggalan zaman? Apakah mereka tersisih dari pergaulan dunia? Nyatanya, tidak. Saung Angklung Udjo malah sering mewakili Indonesia di ajang Internasional, seperti di event Jambore Pramuka Dunia ke-23 di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, tersebut. Dengan kemahiran menguasai tradisi masa lalu, mereka justru mampu memukau warga dunia, dari berbagai belahan benua. Interaksi mereka yang beraktivitas di Saung Angklung Udjo dengan warga dunia, justru sangat tinggi dan intens. Ada begitu banyak orang asing yang mendalami Angklung di saung mereka.

Itulah kekuatan budaya, yang dengan kokoh telah menjadi perekat hubungan manusia dengan manusia, relasi bangsa dengan bangsa, dari abad ke abad. Maka, tak ada alasan bagi kita untuk tidak peduli pada tradisi budaya sendiri. Dari sepuluh kali melahap fastfood, tentu tak ada salahnya kita sempatkan sekali makan gudeg, misalnya. Setelah terpesona membaca karya-karya Stephenie Meyer, Dean Koontz, Nora Roberts, Jackie Collins, John Grisham, Tom Clancy, James Patterson, Danielle Steel, Stephen King, dan J.K. Rowling, misalnya, tak ada salahnya menyelinginya dengan sejenak membaca Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Siti Nurbaya karya Marah Roesli, atau bahkan Api Di Bukit Menoreh karya S.H.Mintardja.

Untuk apa? Untuk memberi kesempatan kepada jiwa kita, agar tetap bersentuhan dengan nilai-nilai budaya, yang menjadi bagian dari kehidupan kita. Mungkin terasa jadul saat kita membaca karya-karya mereka. Tapi, dari membaca tersebut, mungkin ada bagian yang menggugah kita, yang menuntun kita untuk memahami tradisi budaya negeri kita sendiri. Setidaknya, kita tidak menjadi malin kundang bagi karya-karya anak bangsa.

Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, membuka Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015, dengan memukul kentungan, pada Kamis (6/8/2015). Festival ini adalah bagian dari upaya untuk memotivasi para remaja mendalami budaya tradisi, melalui musik. Menurut Madio Sudarmo, Kepala Subdirektorat Pembinaan Seni Pertunjukan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Festival ini menjadi wadah bagi para pelaku seni di sejumlah daerah di Indonesia, untuk mengembangkan kemampuan mengemas musik tradisi secara kreatif. Foto: nationalgeographic.co.id

Terbuka Tapi Tetap Selektif

Dari para remaja yang tampil di Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015 tersebut, kita bisa belajar, bagaimana mereka sebagai remaja hidup enjoy di masa kini, tapi tidak melupakan tradisi budaya masa lalu. Tradisi itu barangkali menjadi filter, penyaring. Bagaimanapun juga, di dunia yang serba terbuka kini, kita tentulah tak mungkin menutup diri dari serbuan pengaruh asing. Karena kita hidup di zaman ini, bukan di masa lalu. Secara alamiah, sesungguhnya kita tahu, mana yang baik, yang patut kita ikuti dan mana yang buruk, yang mestinya kita hindari. Ada orang tua yang mengingatkan, agar kita tidak kebablasan. Ada guru yang tiada henti mewanti-wanti, supaya kita senantiasa menjaga diri.

Di era internet kini, sesungguhnya guru ada di mana-mana dan kita bisa leluasa berguru, dari banyak guru serta dari beragam bidang ilmu. Di laman Kompasiana, misalnya, ada senior kita, Tjiptadinata Effendi[5], yang tak pernah letih berbagi pengetahuan serta pengalaman, sebagai bagian dari santapan untuk nurani kita. Pada 05 Agustus 2015 lalu, misalnya, Pak Tjip mengingatkan Jangan Biarkan Pikiran Negatif Merampok Diri Kita. Ini wanti-wanti ala Pak Tjip. Bila kita sungguh-sungguh membaca serta mencermati apa yang dituliskan Pak Tjip dari hari ke hari, kita tahu bahwa betapa Pak Tjip adalah sosok yang demikian bijak dalam menjalani kehidupan ini.

Semua itu adalah cerminan, bagaimana keluarga besar Pak Tjip dulu menanamkan nilai-nilai budaya, nilai-nilai kehidupan pada Pak Tjip. Hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang tegar, yang kuat jejak masa lalunya tapi juga kokoh menjalani zaman kini. Sebagai orang yang bermukim di luar negeri, toh Pak Tjip tidak menjadi orang Barat yang sepenuh-penuhnya orang Barat, tapi sangat disiplin menjalani hidup, mengadopsi tradisi orang Barat. Artinya, Pak Tjip selektif memilih: mana yang baik, yang patut ia ikuti dan mana yang buruk, yang mestinya ia hindari.

Kita tentu juga memiliki keluarga besar, memiliki orang tua, dan juga memiliki saudara. Mereka sudah dapat dipastikan, juga menanamkan nilai-nilai yang baik pada diri kita. Dengan nilai-nilai yang mereka tanamkan itulah kita memilih dan selektif. Semua terpulang pada diri kita. Apakah kita akan menempatkan diri sebagaimana para remaja di atas, hidup enjoy di masa kini, tapi tidak melupakan tradisi budaya masa lalu? Atau, berlari menuju masa depan dan sama-sekali tidak peduli pada latar budaya yang melingkupi kita? Semua terpulang kepada diri kita masing-masing.

Suasana kanal di Ibu Kota Majapahit, Trowulan, dalam poster National Geographic Indonesia, pada September 2012. Jaringan kanal kuno ini mulai diketahui, setelah adanya kajian foto udara dan endapan pada tahun 1983. Kanal dibangun sebagai adaptasi musim warga Majapahit. Selain itu, candi atau gapura Bajang Ratu adalah bukti lain dari keberadaan kerajaan besar ini, sekaligus seolah menjadi ruang intip untuk melihat kebesarannya. Bajang Ratu berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Bahkan, dari jalan yang jaraknya sekitar 100 meter, gapura itu tampak sangat indah. Foto: kompas.com

Kejayaan Majapahit di Sidang PBB

Di hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan ini, dalam kaitan dengan tradisi, barangkali tepat saatnya kita mengingat Sutan Sjahrir[6]. Ia adalah Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Ia mungkin satu-satunya orang Indonesia, yang dengan penuh percaya diri, bicara tentang kejayaan Kerajaan Majapahit di Sidang Dewan Keamanan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) di New York. Kala itu, usianya baru menginjak 38 tahun, dan ia berpidato di PBB pada 14 Agustus 1947. Di hadapan para petinggi dunia, Sutan Sjahrir menegaskan bahwa leluhur bangsa Indonesia memiliki tradisi kepemimpinan yang kuat. Itu tercermin pada kejayaan Kerajaan Majapahit.

Kemudian, dengan bahasa Inggris yang fasih, Sutan Sjahrir berkata lantang, ”Karena penjajahan Belanda selama tiga setengah abad, bangsa kami mengalami kemunduran total.” Sikap Sutan Sjahrir mencengangkan sekaligus mengagumkan. Esoknya, harian New York Herald Tribune, edisi 15 Agustus 1947, menuliskan bahwa pidato Sutan Sjahrir sebagai salah satu yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan. Dari semua itu kita tahu bahwa kita sesungguhnya dilingkupi oleh para pendahulu yang kuat secara latar budaya dan cemerlang secara intelektual.

Maka, menggali ilmu dari para pendahulu, melalui buku-buku yang relevan, besar kemungkinan, kita akan tercerahkan. Ada sejumlah buku yang menghimpun buah pikir Sutan Sjahrir. Antara lain, Pikiran dan Perjuangan (1950) dan Sosialisme Indonesia Pembangunan (1983). Bagi yang pernah ke Belanda, kemudian mampir ke kota Leiden, barangkali akan menemukan sebuah jalan kecil di kota itu, yang bernama Sjahrirstraat. Sutan Sjahrir pernah studi di sana, di Leiden School of Indology.

Dengan kata lain, kita sebagai bangsa sesungguhnya tidak kekurangan tradisi budaya yang patut dijadikan panutan. Kita juga tidak kekurangan pendahulu, yang pantas dijadikan tauladan. Tradisi budaya dan para pendahulu adalah bagian dari kekayaan kita sebagai bangsa. Di hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan ini, mungkin ada sedikit waktu luang yang bisa kita manfaatkan untuk memahami tradisi negeri sendiri. Setidaknya, akan menjadi bekal kita, sebelum beranjak jauh, menjelajahi dunia.

Jakarta, 9 Agustus 2015  

---------------------------

Keinginan untuk bersama, bukan hal baru dalam budaya negeri ini. Keinginan untuk bersama itu pulalah yang mendorong para founding fathers negeri ini, berjuang memerdekakan bumi pertiwi.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/buku-merajut-indonesia-warga-biasa-dengan-spirit-bersama_55296620f17e619c698b4591

Pak Tjip adalah kita dan Bu Tjip bagian dari kita. Thamrin Sonata kemudian menyatukan mereka dalam dua buku Beranda Rasa dan Penjaga Rasa.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/pak-tjip-dan-bu-tjip-dalam-rasa-thamrin-sonata_54f360e0745513802b6c7350

--------------------------

[1] Jambore Pramuka Dunia ke-23 di Jepang itu, diikuti 33.000 peserta dari 150 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup besar mengirimkan kontingen, sebanyak 462 orang. Namun, jumlah itu masih kalah besar, dibandingkan Amerika Serikat yang mengirim 4.000 orang dan Inggris dengan 1.500 orang. Sekretaris Jenderal Pramuka Dunia, Scott Teare, mengungkapkan, tema jambore kali ini Spirit of Unity atau semangat membangun kebersamaan. Ketua Kwartir Nasional, Adhyaksa Dault, yang memimpin Pramuka Indonesia sejak tahun 2014, yang merupakan mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, memimpin kontingen kita.

[2] Adalah Udjo Ngalagena atau dikenal sebagai Mang Udjo, yang memutuskan mengabdikan hidupnya untuk melestarikan angklung dan budaya sunda. Semasa muda, Mang Udjo gemar mempelajari musik dan lagu sunda, pencak silat, dan tari- tarian sunda. Mang Udjo lahir pada 5 Maret 1929, dan pada tahun 1966 mulai merintis pembangunan Saung Angklung Udjo, tempat pelestarian dan pendidikan angklung dan budaya sunda. Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang diciptakan dari bambu. Alat musik ini dibunyikan dengan cara digoyangkan. Angklung ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO, badan dunia yang mengurusi seputar budaya di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sejak November 2010. Tanggal 16 November ditetapkan sebagai Hari Angklung sedunia. Saung Angklung Udjo memberikan peranan besar terhadap penetapan ini. Udjo Ngalagena meninggal pada 3 Mei 2001 dan pelestarian angklung diteruskan oleh keluarga besarnya.

[3] Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015 diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini adalah bagian dari upaya untuk menumbuhkan minat kalangan remaja memahami akar budaya dan melestarikannya. Festival ini juga sekaligus menjadi ajang untuk pelaku seni daerah saling berbagi informasi dan bertukar pengalaman dalam mendalami musik tradisional.

[4] Saung Angklung Udjo tidak pernah sepi pengunjung. Baik hari biasa, apalagi pada hari libur. Wisatawan yang berkunjung ke sana, bukan hanya wisatawan lokal namun juga banyak dikunjungi oleh wisatawan asing. Pengunjung dapat belajar bermain angklung, melihat langsung produksi angklung, dan yang paling menarik adalah menonton pertunjukan permainan angklung yang dikemas dengan modern. Selain itu, pengunjung juga bisa menikmati pertunjukan wayang golek dan tari tradisional Sunda lainnya.

[5] Tjiptadinata Effendi aktif menulis di Kompasiana. Saking aktif dan produktifnya menulis, ia dinobatkan sebagai Kompasianer of Year 2014. Sebagian tulisannya sudah diterbitkan sebagai buku. Semasa kanak-kanak, namanya Kim Liong. Namun, dalam surat-surat resmi, termasuk Ijazah, Passport, dan Surat Izin Mengemudi (SIM), namanya Tjiptadinata Effendi. Ia berasal dari Padang, Sumatera Barat. Semasa remaja, ia sekolah di SMA Don Bosco, Padang, yang berdekatan dengan Museum Adityawarman dan tak berapa jauh dari Pusat Kesenian Padang. Istrinya, Roselina Tjiptadinata, juga aktif menulis di Kompasiana. Sang istri adalah adik kelasnya di SMA Don Bosco. Kini, Tjiptadinata Effendi bermukim di Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales, Australia, setelah Sydney dan Newcastle. Wollongong berada sekitar 80 kilometer sebelah selatan Sydney.

[6] Sutan Sjahrir lahir Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 5 Maret 1909. Sjahrir merupakan Perdana Menteri pertama RI yang dijabatnya hingga tiga kali, saat memimpin kabinet parlementer pada 15 November 1945 sampai 27 Juni 1947. Pada 30 Juni 1947 hingga akhir Januari 1950, Sutan Sjahrir menjabat sebagai penasihat presiden. Ia juga pernah menjadi Duta Besar Keliling RI pada 1947. Sjahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, Sumatera Utara. Pada 1926, ia selesai dari MULO dan masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. Ketika sakit, ia berobat ke Swiss dan akhirnya meninggal di Swiss, pada 9 April 1966 dan dikebumikan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun