Dari para remaja yang tampil di Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015 tersebut, kita bisa belajar, bagaimana mereka sebagai remaja hidup enjoy di masa kini, tapi tidak melupakan tradisi budaya masa lalu. Tradisi itu barangkali menjadi filter, penyaring. Bagaimanapun juga, di dunia yang serba terbuka kini, kita tentulah tak mungkin menutup diri dari serbuan pengaruh asing. Karena kita hidup di zaman ini, bukan di masa lalu. Secara alamiah, sesungguhnya kita tahu, mana yang baik, yang patut kita ikuti dan mana yang buruk, yang mestinya kita hindari. Ada orang tua yang mengingatkan, agar kita tidak kebablasan. Ada guru yang tiada henti mewanti-wanti, supaya kita senantiasa menjaga diri.
Di era internet kini, sesungguhnya guru ada di mana-mana dan kita bisa leluasa berguru, dari banyak guru serta dari beragam bidang ilmu. Di laman Kompasiana, misalnya, ada senior kita, Tjiptadinata Effendi[5], yang tak pernah letih berbagi pengetahuan serta pengalaman, sebagai bagian dari santapan untuk nurani kita. Pada 05 Agustus 2015 lalu, misalnya, Pak Tjip mengingatkan Jangan Biarkan Pikiran Negatif Merampok Diri Kita. Ini wanti-wanti ala Pak Tjip. Bila kita sungguh-sungguh membaca serta mencermati apa yang dituliskan Pak Tjip dari hari ke hari, kita tahu bahwa betapa Pak Tjip adalah sosok yang demikian bijak dalam menjalani kehidupan ini.
Semua itu adalah cerminan, bagaimana keluarga besar Pak Tjip dulu menanamkan nilai-nilai budaya, nilai-nilai kehidupan pada Pak Tjip. Hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang tegar, yang kuat jejak masa lalunya tapi juga kokoh menjalani zaman kini. Sebagai orang yang bermukim di luar negeri, toh Pak Tjip tidak menjadi orang Barat yang sepenuh-penuhnya orang Barat, tapi sangat disiplin menjalani hidup, mengadopsi tradisi orang Barat. Artinya, Pak Tjip selektif memilih: mana yang baik, yang patut ia ikuti dan mana yang buruk, yang mestinya ia hindari.
Kita tentu juga memiliki keluarga besar, memiliki orang tua, dan juga memiliki saudara. Mereka sudah dapat dipastikan, juga menanamkan nilai-nilai yang baik pada diri kita. Dengan nilai-nilai yang mereka tanamkan itulah kita memilih dan selektif. Semua terpulang pada diri kita. Apakah kita akan menempatkan diri sebagaimana para remaja di atas, hidup enjoy di masa kini, tapi tidak melupakan tradisi budaya masa lalu? Atau, berlari menuju masa depan dan sama-sekali tidak peduli pada latar budaya yang melingkupi kita? Semua terpulang kepada diri kita masing-masing.
Kejayaan Majapahit di Sidang PBB
Di hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan ini, dalam kaitan dengan tradisi, barangkali tepat saatnya kita mengingat Sutan Sjahrir[6]. Ia adalah Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Ia mungkin satu-satunya orang Indonesia, yang dengan penuh percaya diri, bicara tentang kejayaan Kerajaan Majapahit di Sidang Dewan Keamanan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) di New York. Kala itu, usianya baru menginjak 38 tahun, dan ia berpidato di PBB pada 14 Agustus 1947. Di hadapan para petinggi dunia, Sutan Sjahrir menegaskan bahwa leluhur bangsa Indonesia memiliki tradisi kepemimpinan yang kuat. Itu tercermin pada kejayaan Kerajaan Majapahit.
Kemudian, dengan bahasa Inggris yang fasih, Sutan Sjahrir berkata lantang, ”Karena penjajahan Belanda selama tiga setengah abad, bangsa kami mengalami kemunduran total.” Sikap Sutan Sjahrir mencengangkan sekaligus mengagumkan. Esoknya, harian New York Herald Tribune, edisi 15 Agustus 1947, menuliskan bahwa pidato Sutan Sjahrir sebagai salah satu yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan. Dari semua itu kita tahu bahwa kita sesungguhnya dilingkupi oleh para pendahulu yang kuat secara latar budaya dan cemerlang secara intelektual.
Maka, menggali ilmu dari para pendahulu, melalui buku-buku yang relevan, besar kemungkinan, kita akan tercerahkan. Ada sejumlah buku yang menghimpun buah pikir Sutan Sjahrir. Antara lain, Pikiran dan Perjuangan (1950) dan Sosialisme Indonesia Pembangunan (1983). Bagi yang pernah ke Belanda, kemudian mampir ke kota Leiden, barangkali akan menemukan sebuah jalan kecil di kota itu, yang bernama Sjahrirstraat. Sutan Sjahrir pernah studi di sana, di Leiden School of Indology.
Dengan kata lain, kita sebagai bangsa sesungguhnya tidak kekurangan tradisi budaya yang patut dijadikan panutan. Kita juga tidak kekurangan pendahulu, yang pantas dijadikan tauladan. Tradisi budaya dan para pendahulu adalah bagian dari kekayaan kita sebagai bangsa. Di hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan ini, mungkin ada sedikit waktu luang yang bisa kita manfaatkan untuk memahami tradisi negeri sendiri. Setidaknya, akan menjadi bekal kita, sebelum beranjak jauh, menjelajahi dunia.
Jakarta, 9 Agustus 2015