Barangkali, ilmu memahami pergantian musim, sebagaimana yang sudah dilakoni para petani Desa Bonosari itu, terasa kampungan. Tradisi tanaman pertama dan tanaman kedua, yang menjadi bagian dari keselarasan dengan alam, mungkin cara bertani yang kuno, yang disepelekan kaum intelektual. Okelah, mari kita sejenak menyimak The Father of Lateral Thinking and Creativity, Edward de Bono[4], yang dengan gemilang menegaskan: do a thing at one time. Artinya, perbuatan dan waktu memiliki korelasi yang sangat erat. Dengan kata lain, kita tidak bisa memaksakan kehendak menanam padi di musim kemarau atau sebaliknya memaksakan diri menanam palawija di musim hujan.
Kita memang bisa merekayasa alam, memanipulasi kondisi alam, tapi itu sifatnya hanya temporer, tidak permanen[5]. Maka, bijaksanalah mereka yang bersahabat dengan alam, hidup selaras dengan alam. Bukan melawan alam, bukan pula merusak alam. Secara konseptual, waduk dibangun untuk menampung air, sebagai tabungan air ketika musim kemarau tiba. Dalam realitasnya, ketika musim kemarau lebih panjang dari yang kita proyeksikan, toh tabungan air itu ludes, sementara hujan belum juga turun. Itu salah satu contoh rekayasa alam yang bersifat temporer, yang tak sepenuhnya menjawab keadaan.
Tapi, sebagai berbuat dalam kerangka waktu ala Edward de Bono, sebagai antisipasi untuk menghadapi pergantian musim, itu adalah upaya yang memang sepatutnya kita tempuh. Karena, hidup selaras dengan alam, tidak sama artinya dengan menyerah sepenuhnya pada alam. Bagaimanapun, alam memberikan ruang yang lapang bagi kita untuk berbuat, untuk mengekspresikan daya hidup kita. Kalangan industri penerbangan, yang senantiasa mencermati cuaca serta memprediksi arah angin, memiliki rumusan yang menakjubkan: luasnya langit tak menyisakan ruang untuk kesalahan.
Artinya, di langit yang mahaluas, kalangan penerbangan bekerja dengan ketelitian tingkat tinggi, tak boleh ada kesalahan sekecil apa pun. Salah, akibatnya fatal. Karena itulah, Edward de Bono menggarisbawahi kemahiran berpikir yang kemudian diiringi dengan do a thing at one time. Tujuannya, agar kita menyikapi suatu masalah dengan berbagai perspektif. Langkah ini diperlukan untuk meminimalkan akibat lanjutan, yang datang kemudian. Dengan kata lain, mengendalikan pikiran, juga mengendalikan emosi, tentunya akan mengantarkan kita pada titik yang tepat.
Menyikapi Berbagai Arus Perubahan
Apa yang sudah dilakoni para petani Desa Bonosari itu, menunjukkan kepada kita bagaimana mereka berupaya mengendalikan diri dalam menyikapi pergantian musim. Mereka menyadari, sungai memang ada tapi sungai juga bisa kering. Waduk memang ada tapi waduk juga bisa kerontang. Dari mereka, kita bisa belajar, sesuai dengan profesi masing-masing, tentang bagaimana mengendalikan diri untuk menyikapi berbagai arus perubahan yang terjadi. Para pemikir tentang perubahan[6], memiliki rumusan yang juga menakjubkan: kita tidak bisa menyelesaikan persoalan hari ini dengan rumus hari kemarin.
Waktu berganti, hari berganti. Bersamaan dengan pergantian waktu tersebut, ada segenap pergantian lain yang terjadi. Juga, ada serangkaian perubahan yang menyertai. Penyair kenamaan kita, WS Rendra[7], menggambarkan pergantian serta perubahan tersebut secara komprehensif: Kemarin dan esok, adalah hari ini, bencana dan keberuntungan, sama saja, langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa. Maka, pada akhirnya, berbagai arus perubahan yang terjadi akan terpulang kepada kita, bagaimana kita mengelola diri menghadapinya.
Bagaimana kita menempatkan diri kala dilanda bencana dan bagaimana kita membawakan diri di tengah keberuntungan. Dramawan kenamaan kita, Putu Wijaya[8], menunjukkan, bagaimana ia mengendalikan diri, dalam konteks melakoni profesinya. Suatu hari, pada Maret 1994, istrinya keguguran di Bandung, Jawa Barat. Lalu, ia singgah ke rumah Harry Roesli[9] untuk mencari teman ngobrol. Tapi, yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat. Setelah itu, Putu Wijaya ke Jakarta, menulis skenario sinetron komedi Warung Tegal untuk Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Malam itu, ketika sedang menulis, ibu dan ayah Harry Roesli menelepon, menasihati Putu Wijaya, agar bersabar. Ia terharu dan menangis. Setelah itu, Putu kembali ke komputer, meneruskan menulis skenario komedi tersebut. Sementara air matanya bercucuran, ia terus menulis skenario komedi yang tentu saja harus lucu[10]. Putu Wijaya menunjukkan bahwa apa yang ia alami adalah urusan pribadinya. Sementara, menulis skenario adalah profesi yang ia lakoni. Ia menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mengelola diri, mengendalikan diri, meski benturan dari dalam dan luar dirinya datang secara bersamaan. Barangkali, ada makna yang bisa kita petik dari pengendalian diri Putu Wijaya ini.
Jakarta, 3 Agustus 2015