Mulai 1 Agustus 2015 ini, aliran air dari Waduk Sempor, Kebumen, Jawa Tengah, dihentikan. Foto ini adalah salah satu sisi waduk tersebut yang dipotret pada Jumat (31/7/2015). Memasuki puncak musim kemarau tahun ini, volume air Waduk Sempor menyusut hingga 80 persen, dari kapasitas maksimal 39,9 juta meter kubik menjadi hanya 8,5 juta meter kubik. Foto: print.kompas.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Ini musim kemarau. Sekitar 111.000 hektar lahan petani, kering kerontang. Tak kurang dari 8.000 hektar tanaman petani, gagal panen[1]. Apa yang dilakukan petani? Berdemo ke Istana? Mogok makan di depan Gedung Parlemen?
Tidak. Mereka adalah petani, yang memahami tanah sebagai sumber kehidupan. Mereka adalah pekerja yang ulet, yang mengenal betul apa artinya pergantian musim. Mereka belajar dari alam, karena mereka sepenuhnya menyadari bahwa mereka bagian dari alam itu sendiri. Karena itu, musim kemarau bagi petani bukanlah akhir dari kehidupan, tapi merupakan bagian dari proses kehidupan yang sepenuhnya dilakoni. Ada ketekunan dalam bekerja, ada keikhlasan kepada Ilahi.
Palawija di Musim Kemarau
Datanglah ke Desa Bonosari, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Di sana ada Waduk Sempor, yang menjadi salah satu sumber pengairan lahan pertanian di Kebumen, seluas 39.000 hektar[2]. Area pertanian seluas itu, sudah tidak lagi ditanami padi, karena waduk yang seharusnya menampung air, sejak beberapa bulan terakhir sudah menyusut hingga titik nadir. Sejak 1 Agustus hingga Oktober mendatang, pasokan air dari Waduk Sempor sudah dihentikan oleh pihak yang berwenang.
Maka, para petani di sana, menyiasatinya dengan menanam palawija[3], bukan padi. Kenapa? Karena palawija tidak membutuhkan air sebanyak kebutuhan padi. Selain itu, usia tanam palawija relatif pendek, dibandingkan dengan padi. Dalam 30-50 hari, palawija sudah bisa dipanen. Jagung, kedelai, singkong, kentang, dan ubi adalah beberapa jenis tanaman yang masuk kategori palawija. Dalam bahasa Sansekerta, disebut phaladwija. Secara harfiah bisa diartikan tanaman kedua. Dengan demikian, padi merupakan tanaman pertama dan palawija adalah tanaman kedua.
Para petani di sana, bukan hanya menanam palawija di lahan yang sebelumnya mereka tanami padi. Mereka bahkan memanfaatkan lahan Waduk Sempor yang mengering, untuk menanam palawija. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa tanah adalah sumber penghidupan. Karena tanah adalah berkah dari Ilahi, maka para petani tersebut tak hendak menyia-nyiakannya. Mereka memanfaatkan tiap jengkal tanah, sebagai rasa syukur atas berkah Ilahi. Mereka mengerjakannya dengan tekun, sejak fajar menyingsing hingga matahari terbenam.
Dari para petani Desa Bonosari itu, kita belajar tentang bagaimana menyikapi musim. Tiap musim memiliki jenis tanaman yang relevan. Itulah barangkali yang disebut hidup selaras dengan alam. Bahwa secara finansial penghasilan dari padi lebih besar daripada palawija, itu sepenuhnya tergantung dari cara kita mengelolanya. Apakah kita mengelola tanaman palawija, sesungguh-sungguh kita mengelola padi? Apakah kita menanam palawija secara sambilan, sekadar menunggu datangnya musim hujan?
Hidup Selaras dengan Alam