Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demi Keluarga Sejahtera, Demi Berarti Bagi Sesama, Menikah Dini Bukanlah Pilihan

10 Juli 2015   08:15 Diperbarui: 10 Juli 2015   08:15 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menikah di bawah usia 15 tahun adalah pernikahan yang tergesa-gesa, yang lebih banyak susah daripada senangnya. Yang susah bukan hanya pasangan muda itu, tapi juga orangtua masing-masing pasangan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memang melegalkan perempuan yang sudah berusia 16 tahun untuk menikah. Tapi, melihat kondisi kekinian, usia 16 tahun itu pun sebenarnya masih relatif terlalu dini untuk sebuah pernikahan.

"Usia matang nikah di Indonesia kini, sekitar 25 tahun. Di usia itu, mereka sudah lulus sekolah, sudah bekerja, dan relatif sudah bisa berpikir dewasa," ujar Mochtar Ali, Direktur Urusan Agama Islam dan Pendidikan Syariah, Kementerian Agama, yang mengingatkan agar semua pihak mencegah terjadinya pernikahan dini. Mochtar Ali barangkali ada benarnya. Situasi-kondisi masyarakat kita pada tahun 1974, ketika undang-undang itu disahkan, sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi kini. Tantangan kehidupan yang harus dihadapi keluarga kini, jauh lebih berat dibandingkan dengan masa itu.

Sejumlah data menunjukkan, tiap tahun, ada sekitar 2,5 juta perkawinan dilangsungkan di Indonesia. Sekitar 15 persen di antaranya, perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian. Dan, sebagian besar perceraian tersebut terjadi pada mereka yang menikah dini. Ini salah satu realitas dari risiko pernikahan dini, mengingat belum cukup dewasanya cara berpikir dan mental mereka, hingga belum dewasa pula cara mereka menjalani kehidupan berkeluarga.

Risiko lain adalah kematian bayi yang dilahirkan dan kematian sang ibu yang melahirkan. Di Provinsi Jawa Tengah, misalnya, perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 tahun, termasuk kategori tinggi, mencapai 36 dari 1.000 kelahiran[4]. Kondisi tersebut menjadi salah satu pemicu, meningkatnya angka kematian ibu hamil. Sudibyo Alimoeso, pada tahun 2013, mengatakan, jika diakumulasikan selama setahun, angka ibu hamil yang meninggal karena melahirkan, mencapai 17.520 ibu. Tahun 2014, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi, mencapai 359 per 100.000 kelahiran. Sudibyo Alimoeso, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, pada Selasa (21/10/2014) di Jakarta, mengatakan, penyebab tingginya angka kematian ibu melahirkan, salah satunya adalah karena pernikahan usia dini.

Menurut Pusat Kajian Gender dan Seksualitas (PSGS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Indonesia menempati posisi nomor dua di ASEAN, dalam jumlah pernikahan dini terbanyak setelah Kamboja. Hal tersebut terungkap dalam diskusi Relevansi UU Perkawinan dalam Pemenuhan Hak-hak Anak, di Kampus UI Depok, Jawa Barat, pada Senin (27/4/2015). Foto: print.kompas.com

Bukan Menakuti, Tapi Mengingatkan

Kelahiran dan kematian, memang sepenuhnya atas kehendak Allah. Tapi, sebagai makhluk yang mulia di muka bumi, yang dibekali-Nya dengan akal dan pikiran, sudah seharusnyalah kita menjaga diri demi keberlangsungan kehidupan ini. Maka, sejumlah risiko pernikahan dini tersebut ditampilkan di sini, bukan untuk menakut-nakuti. Tapi, untuk mengingatkan semua pihak, baik gadis remaja maupun orangtua, betapa tingginya risiko yang menghadang, akibat pernikahan dini.

Terkait dengan pernikahan dini, kelahiran, dan kematian ibu hamil tersebut, Abidinsyah Siregar, sebagai Deputi Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Bidang Advokasi, senantiasa mencermatinya dengan seksama. Karena, semua komponen tersebut menyangkut pertumbuhan penduduk dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Ini memang menjadi ranah tanggung jawabnya, sebagai pengendali angka pertumbuhan penduduk di negeri ini.

”Angka pertumbuhan penduduk seharusnya melandai dan angka pertumbuhan ekonomi seharusnya meninggi. Itu indikator masyarakat sejahtera. Yang terjadi saat ini sebaliknya, pertumbuhan penduduk meninggi dan pertumbuhan ekonomi melandai. Artinya, masyarakat belum sejahtera,” ungkap Abidinsyah Siregar sambil menunjukkan curva grafik, dengan kedua tangannya. Karena itu, angka kelahiran harus dikendalikan, angka pernikahan dini harus ditekan, dan pertumbuhan ekonomi terus ditingkatkan untuk mencapai kesejahteraan.

Kesejahteraan keluarga, mencerminkan kesejahteraan bangsa. Karena itulah Membangun Keluarga, Membangun Bangsa menjadi hal yang penting untuk kita camkan bersama. Abidinsyah Siregar menggarisbawahi bahwa dua anak saja cukup, agar orangtua leluasa mendidik mereka menjadi anak-anak yang berkualitas. Baik kualitas pendidikannya, maupun kualitas agamanya. ”Dengan demikian, besar kemungkinan mereka akan menjadi manusia yang berarti bagi sesama, berarti pula bagi negeri tercinta ini,” kata Abidinsyah Siregar.

Walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, membentangkan salah satu poster peringatan Harganas 2015. Kota Tangerang Selatan dipilih dan ditetapkan BKKBN Pusat sebagai tuan rumah Harganas, salah satunya, karena akses sarana transportasi dan akomodasi di Kota Tangerang Selatan, sangat menunjang. Selain itu, karena Tangerang Selatan merupakan Kota Layak Anak (KLA), yang diharapkan bisa menjadi inspirasi kota-kota lain dalam menyediakan fasilitas untuk kesejahteraan anak. Foto: dishubkominfo.tangerangselatankota.go.id  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun