Cabai dan bawang merah, kini sedang memasuki masa panen. Pada Rabu (24/6/2015), Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, memanen cabai rawit di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, pada Jumat (19/6/2015), Andi Amran Sulaiman melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mengikuti panen raya bawang merah di Desa Jia, Kecamatan Sape. Foto ini menunjukkan Amran berdialog dengan petani setempat. Foto: kompas.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Menteri Pertanian, Amran Sulaiman[1], pada Rabu (24/6/2015), meminta Perum Bulog mulai membeli cabai dan bawang merah langsung dari petani. Ini sebuah permintaan yang patut diapresiasi, supaya petani tak selamanya didikte para saudagar. Supaya petani merasa yakin bahwa pemerintah benar-benar hadir untuk petani.
Kita tahu, selama ini, petani selalu berada di bawah tekanan. Didikte pihak-pihak yang melingkupinya. Pertama, petani didikte oleh tengkulak, yang meminjamkan uang kepada petani, kemudian memborong hasil panen petani dengan harga yang ditentukan para tengkulak tersebut. Ini kerap disebut sebagai mekanisme transaksi ijon. Kedua, petani didikte para padagang pupuk, yang seenaknya memainkan harga pupuk dan seenaknya pula melangkakan pupuk dari pasaran. Menghadapi kedua tekanan tersebut, petani nyaris tak berkutik, apalagi melawan.
Konsumen Didikte Saudagar
Kita juga tahu, tengkulak, pedagang pupuk, dan saudagar di pasar, telah menjalin persekongkolan yang rapi. Persekongkolan mereka telah berlangsung bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Mereka memiliki libido laba yang sama, sebagai penghalus kata untuk menggambarkan betapa rakusnya mereka. Setelah sukses mendikte petani, giliran berikutnya, konsumen di pasar yang mereka dikte. Mereka mengatur tempo permainan harga, mengondisikan barang langka, serta melambungkan harga semau mereka.
Kenapa? Pertama, karena mereka sudah menguasai produk pertanian dari petani, dalam jumlah besar. Kedua, mereka sudah membeli produk pertanian dari petani dengan harga yang rendah. Sebagai contoh, petani menjual cabai ke tengkulak dengan harga Rp 6.000 hingga Rp 8.000 per kilogram. Pada kurun waktu yang sama, saudagar di pasar, baik di pasar tradisional maupun di pasar modern, menjual cabai kepada konsumen dengan harga Rp 36.000 per kilogram.
Selisih harga beli dengan harga jual yang menggunung itulah, yang menunjukkan libido laba para saudagar. Mereka dengan rakus meraup untung, tanpa peduli bahwa tindakan mereka telah menimbulkan keguncangan ekonomi masyarakat. Tindakan kerakusan tersebut, praktis mereka lakukan untuk semua kategori produk pertanian. Mulai dari beras, jagung, kedelai, bawang merah, cabai merah, gula, dan daging.
Selama puluhan tahun, poduk pertanian dikuasai para saudagar. Petani tidak berkutik, konsumen pun tak berdaya. Bahkan, Badan Urusan Logistik (Bulog), yang jelas-jelas institusi pemerintah, pun dibuat tak berkutik. Kenapa? Karena Bulog kalah tangkas oleh saudagar. Padi, misalnya, sudah dikuasai para tengkulak. Akibatnya, Bulog bukan membeli langsung dari petani tapi justru membeli dari tangan kedua atau tangan ketiga di penggilingan padi, dari para tengkulak.
Saudagar Masih Perkasa
Setelah pemerintah kebobolan menghadapi gejolak harga beras pada Februari 2015[2] lalu, berbagai upaya dilakukan agar pemerintah tidak didikte para saudagar. Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil[3], menargetkan Bulog menyerap 4 juta ton beras pada masa panen raya bulan April 2015 lalu. Stok tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar tak terjadi lagi lonjakan harga seperti pada Februari 2015. Karena, lonjakan harga beras sudah terbukti berdampak luas, menyengsarakan rakyat, juga mengganggu stabilitas politik.
Sukseskah pemerintah mencapai target tersebut? Tidak. Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengakui bahwa pemerintah melalui Bulog, gagal menyerap 4 juta ton beras yang ditargetkan. Pada Senin (8/6/2015), Rachmat Gobel[4] dengan nada pasrah mengatakan, saat ini stok beras dikuasai oleh para pedagang besar, saudagar kakap. Setiap saat, para pedagang itu bisa menjadi spekulan, karena menahan penjualan beras, hingga harga beras melambung.
Realitas ini tentu menyakitkan, di tengah semangat swasembada pangan yang tiada henti digelorakan pemerintah. Petani sudah memproduksi produk pangan. Stoknya ada. Tapi, dikuasai para saudagar. Realitas tersebut sekaligus menunjukkan bahwa para saudagar memang lebih tangkas dari Bulog dalam menyerap beras petani. Mereka sudah lebih piawai dibanding tim kerja Bulog, dalam konteks hitung-hitung dagang.
Perburuan gabah dan beras di beberapa kabupaten di Jawa Barat berikut ini, mungkin bisa menambah pemahaman kita. Dedi[5], pengelola penggilingan beras PB Teguh Karya di Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, bercerita bahwa ia berburu gabah di beberapa tempat. Ketika berburu di Kabupaten Karawang, karyawannya harus berangkat dini hari dan kembali lagi pada dini hari keesokannya. Warjo, pedagang asal Lohbener, Kabupaten Indramayu, mengatakan, bahwa ia akan membeli beras dengan harga berapa pun. Warjo menjual lagi beras tersebut ke penggilingan. Harga yang ia peroleh lebih bagus daripada harga beli Bulog.
Bulog Harus Tambah Amunisi
Sampai sejauh ini, kapasitas Bulog dibandingkan dengan para saudagar produk pangan, sepertinya belum seimbang. Baik dalam hal pembelian produk dari petani, maupun dalam konteks menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen. Bulog, sebagai institusi, berada dalam jaring birokrasi, yang hak serta kewenangannya penuh dengan rambu-rambu. Sementara, yang mereka hadapi di lapangan adalah mekanisme pasar bebas, mekanisme jual-beli yang ditentukan oleh hukum pasar.
Dalam hal pembelian produk dari petani di beberapa kabupaten di Jawa Barat di atas, misalnya. Petani memilih menjual ke pembeli yang menawarkan harga lebih tinggi. Sementara, Bulog memiliki plafon harga beli yang sudah ditetapkan. Situasi ini tentu saja tidak kondusif bagi mekanisme pengadaan Bulog. Ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target pengadaan produk pertanian, yang merupakan ranah Bulog.
Ada 7 produk pertanian, yaitu beras, jagung, kedelai, bawang merah, cabai merah, gula, dan daging, yang dibeli Bulog langsung dari petani. Tiap produk tentulah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Selain berbeda ketersediaan pasokan, juga berbeda pula tingkat persaingan Bulog dengan para saudagar dalam memperebutkan komoditas yang bersangkutan. Persaingan untuk memperebutkan beras, misalnya, barangkali berbeda dengan tingkat persaingan memperebutkan cabai dan bawang merah.
Bahwa Menteri Pertanian Amran Sulaiman sudah meminta Perum Bulog mulai membeli cabai dan bawang merah langsung dari petani, itu tentulah terkait dengan kedua komoditas tersebut yang sudah memasuki musim panen. Konteks membeli langsung dari petani, hendaknya disikapi Bulog dengan benar-benar membeli langsung dari petani. Bukan dari pengepul, yang jangan-jangan sesungguhnya adalah wujud lain dari kaki-tangan tengkulak.
Harap diingat, konteks membeli langsung dari petani ini merupakan bagian dari upaya Menteri Pertanian Amran Sulaiman, untuk memotong mata rantai[6] perdagangan komoditas pertanian. Bila selama ini mata rantainya mencapai 7 titik, maka Amran Sulaiman hendak menjadikannya 3 titik saja. Upaya ini patut diapresiasi, karena dengan meringkas mata rantai perdagangan, terbuka peluang untuk menciptakan harga yang terjangkau di tingkat konsumen. Artinya, Bulog sudah seharusnya konsisten memegang prinsip: membeli langsung dari petani.
Jakarta, 26 Juni 2015
---------------------------------------------------------------------------------------
[1] Amran Sulaiman menyampaikan hal tersebut pada Rabu (24/6/2015), seusai memanen cabai rawit di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
[2] Amran Sulaiman menyebutkan fenomena kenaikan harga beras pada Februari 2015 tersebut, lantaran adanya mafia beras yang bermain. Ada permainan tengkulak. Hal itu dikemukakan Amran Sulaiman saat mengunjungi panen raya di Desa Dempet, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, pada Selasa (24/2/2015).
[3] Sofyan Djalil mengatakan hal itu seusai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, pada Senin (6/4/2015) malam.
[4] Rachmat Gobel mengatakan hal itu dalam diskusi Pangan Kita di Cikini, Jakarta Pusat, pada Senin (8/6/2015) yang disiarkan secara langsung oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Dalam diskusi tersebut, Rahmat Gobel tampil bersama tiga narasumber lainnya.
[5] Tentang betapa sengitnya perburuan gabah dan beras, silakan baca Bisnis Beras Tak Terkendali, Perum Bulog di Sejumlah Daerah Kesulitan Melakukan Pengadaan, yang dilansir print.kompas.com pada Senin, 4 Mei 2015.
[6] Amran Sulaiman menegaskan, Perum Bulog mulai sekarang membeli cabai dari petani. Perum Bulog menjadi stabilisator. Kita potong rantai pasokan. Pemotongan rantai penjualan produk pertanian itu akan menguntungkan petani dan konsumen. Hal itu dikatakan Amran pada Rabu (24/6/2015), seusai memanen cabai rawit di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H