Setelah pemerintah kebobolan menghadapi gejolak harga beras pada Februari 2015[2] lalu, berbagai upaya dilakukan agar pemerintah tidak didikte para saudagar. Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil[3], menargetkan Bulog menyerap 4 juta ton beras pada masa panen raya bulan April 2015 lalu. Stok tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar tak terjadi lagi lonjakan harga seperti pada Februari 2015. Karena, lonjakan harga beras sudah terbukti berdampak luas, menyengsarakan rakyat, juga mengganggu stabilitas politik.
Sukseskah pemerintah mencapai target tersebut? Tidak. Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengakui bahwa pemerintah melalui Bulog, gagal menyerap 4 juta ton beras yang ditargetkan. Pada Senin (8/6/2015), Rachmat Gobel[4] dengan nada pasrah mengatakan, saat ini stok beras dikuasai oleh para pedagang besar, saudagar kakap. Setiap saat, para pedagang itu bisa menjadi spekulan, karena menahan penjualan beras, hingga harga beras melambung.
Realitas ini tentu menyakitkan, di tengah semangat swasembada pangan yang tiada henti digelorakan pemerintah. Petani sudah memproduksi produk pangan. Stoknya ada. Tapi, dikuasai para saudagar. Realitas tersebut sekaligus menunjukkan bahwa para saudagar memang lebih tangkas dari Bulog dalam menyerap beras petani. Mereka sudah lebih piawai dibanding tim kerja Bulog, dalam konteks hitung-hitung dagang.
Perburuan gabah dan beras di beberapa kabupaten di Jawa Barat berikut ini, mungkin bisa menambah pemahaman kita. Dedi[5], pengelola penggilingan beras PB Teguh Karya di Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, bercerita bahwa ia berburu gabah di beberapa tempat. Ketika berburu di Kabupaten Karawang, karyawannya harus berangkat dini hari dan kembali lagi pada dini hari keesokannya. Warjo, pedagang asal Lohbener, Kabupaten Indramayu, mengatakan, bahwa ia akan membeli beras dengan harga berapa pun. Warjo menjual lagi beras tersebut ke penggilingan. Harga yang ia peroleh lebih bagus daripada harga beli Bulog.
Bulog Harus Tambah Amunisi
Sampai sejauh ini, kapasitas Bulog dibandingkan dengan para saudagar produk pangan, sepertinya belum seimbang. Baik dalam hal pembelian produk dari petani, maupun dalam konteks menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen. Bulog, sebagai institusi, berada dalam jaring birokrasi, yang hak serta kewenangannya penuh dengan rambu-rambu. Sementara, yang mereka hadapi di lapangan adalah mekanisme pasar bebas, mekanisme jual-beli yang ditentukan oleh hukum pasar.
Dalam hal pembelian produk dari petani di beberapa kabupaten di Jawa Barat di atas, misalnya. Petani memilih menjual ke pembeli yang menawarkan harga lebih tinggi. Sementara, Bulog memiliki plafon harga beli yang sudah ditetapkan. Situasi ini tentu saja tidak kondusif bagi mekanisme pengadaan Bulog. Ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target pengadaan produk pertanian, yang merupakan ranah Bulog.
Ada 7 produk pertanian, yaitu beras, jagung, kedelai, bawang merah, cabai merah, gula, dan daging, yang dibeli Bulog langsung dari petani. Tiap produk tentulah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Selain berbeda ketersediaan pasokan, juga berbeda pula tingkat persaingan Bulog dengan para saudagar dalam memperebutkan komoditas yang bersangkutan. Persaingan untuk memperebutkan beras, misalnya, barangkali berbeda dengan tingkat persaingan memperebutkan cabai dan bawang merah.
Bahwa Menteri Pertanian Amran Sulaiman sudah meminta Perum Bulog mulai membeli cabai dan bawang merah langsung dari petani, itu tentulah terkait dengan kedua komoditas tersebut yang sudah memasuki musim panen. Konteks membeli langsung dari petani, hendaknya disikapi Bulog dengan benar-benar membeli langsung dari petani. Bukan dari pengepul, yang jangan-jangan sesungguhnya adalah wujud lain dari kaki-tangan tengkulak.
Harap diingat, konteks membeli langsung dari petani ini merupakan bagian dari upaya Menteri Pertanian Amran Sulaiman, untuk memotong mata rantai[6] perdagangan komoditas pertanian. Bila selama ini mata rantainya mencapai 7 titik, maka Amran Sulaiman hendak menjadikannya 3 titik saja. Upaya ini patut diapresiasi, karena dengan meringkas mata rantai perdagangan, terbuka peluang untuk menciptakan harga yang terjangkau di tingkat konsumen. Artinya, Bulog sudah seharusnya konsisten memegang prinsip: membeli langsung dari petani.