[caption id="attachment_367431" align="aligncenter" width="581" caption="Gerakan mengirim sarjana ke desa, sempat jadi trend. Kementerian Pemuda dan Olahraga menyelenggarakan program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP-3). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Ada juga lembaga non-pemerintah dengan program Indonesia Mengajar, menerjunkan sarjana-sarjana terbaik untuk menjadi pengajar muda yang diterjunkan ke daerah terpencil. Foto: print.kompas.com edisi Sabtu (23/5/2015) "][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)Â
Menjadi sarjana, itu cita-cita. Dapat kerja di kota, itu keberuntungan. Dikirim ke desa, oke juga, karena bisa turut mencerdaskan masyarakat desa. Sarjana telantar di desa? Barangkali, ini di luar perhitungan. Mungkin juga ini bagian dari kompetitifnya dunia kerja.
28 peserta program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP-3) dari sejumlah provinsi yang ditugaskan di Maluku, mengaku kini ditelantarkan pemerintah. Tidak kurang dari 791 fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) di Nusa Tenggara Timur (NTT), juga telantar. Ini adalah bagian dari perjalanan kehidupan sejumlah sarjana, sebagaimana yang diberitakan print.kompas.com hari Sabtu (23/5/2015), Penggerak Pembangun Desa Kini Telantar, PNPM Perdesaan Juga Terhenti.
Desa untuk Kebangkitan Nasional
Mari kita mulai dari Budiman Sudjatmiko. Ia memang bukan peserta program sarjana masuk desa. Ia lahir pada 10 Maret 1970 di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 1996, Budiman Sudjatmiko mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kala itu, usianya baru 26 tahun dan saat itu rezim Suharto masih berkuasa penuh. Ia berada di luar kekuasaan dan menantang penguasa saat itu.
Kini, Budiman Sudjatmiko adalah anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, partai pengusung Presiden Joko Widodo yang kini berkuasa. Budiman Sudjatmiko juga aktif sebagai juru kampanye Joko Widodo saat Pilpres 2014 lalu. Artinya, ia kini bagian dari penguasa yang kini berkuasa. Pada Rabu (20/5/2015), menyambut Hari Kebangkitan Nasional, Budiman Sudjatmiko mengatakan, kebangkitan nasional dapat terwujud apabila tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan mengalami peningkatan. Itu diungkapkan Budiman dalam dialog di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat.
Meski bukan peserta program sarjana masuk desa, ia punya perhatian pada desa. Ia paham, betapa pentingnya masyarakat desa. Ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memberhentikan ribuan fasilitator dan konsultan PNPM MPd tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat, per tanggal 31 Desember 2014, Budiman Sudjatmiko menilai kebijakan pemerintah itu kontraproduktif.
Katanya, kebijakan tersebut akan merugikan masyarakat desa dan meningkatkan jumlah pengangguran, sebagaimana dilansir tribunnews.com, Sabtu (3/1/2015) 17:26 WIB, Budiman Sudjatmiko Kritik Pemberhentian 16 Ribu Pegawai PNPM MPd. Saya belum membaca, apa reaksi Budiman Sudjatmiko terhadap penelantaran 28 peserta program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP-3) dari sejumlah provinsi yang ditugaskan di Maluku. Mereka mulai bertugas di Maluku pada September 2013 hingga Agustus 2015. Hampir lima bulan mereka tak mendapat uang saku. PSP-3 merupakan program unggulan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.
[caption id="attachment_367433" align="aligncenter" width="574" caption="Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di Jakarta, menegaskan, kementerian yang ia pimpin tak memiliki program sarjana penggerak pembangunan perdesaan. PNPM-MPd sebelumnya dikelola Bank Dunia. Setelah UU Desa berlaku, program itu dihentikan. Untuk menindaklanjuti program itu, termasuk fasilitatornya, perlu pembahasan dengan kementerian lain dan pemerintah daerah. Foto: print.kompas.com edisi Sabtu (23/5/2015) dan Minggu (24/5/2015) "]
Demi Desa, Demi Sarjana
Pemerintah Pusat sebenarnya tahu bahwa jumlah desa di Indonesia tercatat 74 ribu desa, hampir setengahnya, sebanyak 32 ribu desa, masuk kategori tertinggal. Di 32 ribu desa tertinggal tersebut bermukim 57,5 juta penduduk. Ini menunjukkan, betapa beragamnya tingkat kesenjangan antara satu desa dengan desa yang lain. Kesenjangan itu bukan hanya di sektor ekonomi dan pendidikan, tapi mungkin di semua sektor.
Adanya program PSP-3, PNPM MPd, SM3T, Indonesia Mengajar, dan program sejenis lainnya sesungguhnya adalah bagian dari upaya untuk mengurangi tingkat kesenjangan tersebut. Keterlibatan sarjana di sejumlah program yang ada, selain memberi nilai tambah pada program, juga menunjukkan kesungguhan untuk mencerdaskan masyarakat desa. Di samping itu, program untuk desa tersebut telah turut pula mengurangi angka pengangguran, khususnya pengangguran di segmen sarjana.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran sarjana atau lulusan universitas pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang. Sementara, jumlah partisipasi kasar penduduk yang mengenyam pendidikan strata 1, baru 20 persen, sekitar 6 juta orang. Hal itu dikemukakan Triyogi Yuwono, Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, periode 2011-2015, dalam Refleksi Tiga Tahun Pelaksanaan MP3EI, Jumat (5/9/2014). MP3EI adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Dalam konteks tidak dilanjutkannya suatu program untuk desa, bila program tersebut adalah program pemerintah, ini adalah bagian dari mekanisme politik pergantian kekuasaan. Dengan demikian, di masa mendatang, para sarjana haruslah lebih cermat memperhatikan kontrak kerja dalam program yang diikuti, termasuk tentang kelanjutan program ketika terjadi pergantian kekuasaan. Jika ada pelanggaran kontrak, tentu bisa ditempuh jalur hukum untuk penyelesaiannya.
Program Desa dengan Agenda Politik
Apa yang dialami pengelola program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP-3) dan pengelola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd), hendaknya menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya mereka yang terkait dengan program tersebut. Karena, bukan tidak mungkin, sejumlah program yang menyasar desa, sesungguhnya merupakan agenda politik penguasa pada saat berkuasa.
Dengan kata lain, program untuk desa sengaja diciptakan sebagai bagian dari penggalangan dukungan massa di desa, untuk melanggengkan kekuasaan, tapi dengan packagingmemberdayakan masyarakat desa. Para politisi tentulah sudah terbiasa memainkan pola bantuan desa ini. Intinya sih sama, meski namanya diganti sesuai kehendak penguasa yang sedang berkuasa. Meskipun ada modifikasi di sana-sini agar nampak berbeda tapi tetap saja sarat dengan kepentingan dan agenda politik.
Demikian pula halnya dengan aliran dana desa yang kini sedang berlangsung. Mekanisme pengucuran dananya pun diolah sedemikian rupa, agar durasinya cukup panjang. Ini bisa dicermati, misalnya, dari pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar, bahwa pencairan dana desa sebesar Rp 1,4 miliar per desa dijadwalkan bertahap hingga tahun 2018. Hal itu ia ungkapkan usai sarasehan dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD), camat, dan kepala desa di aula Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah, pada Kamis (9/4/2015).
Kenapa hingga tahun 2018? Setting periode pencairan dana desa tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari agenda politik penguasa yang sedang berkuasa. Harap diingat, Pemilu dan Pilpres mendatang, rencananya dilaksanakan serentak tahun 2019. Bisa jadi, aliran dana desa tahap akhir tersebut akan dieksekusi penguasa, menjelang atau bertepatan dengan masa kampanye. Hahaha makin kentara deh agenda politik yang dibungkus dengan kemasan dana desa ini.
Artinya, ganti penguasa, ganti pula model program desa yang digulirkan. Model boleh berganti, nama pun bisa berubah rupa, tapi intinya ya tetap agenda politik penguasa. Maka, penghentian program desa periode sebelumnya dan penelantaran para sarjana yang menjadi pelaksana program di lapangan adalah bagian dari realitas politik penguasa. Kondisi ini sudah sepatutnya disadari oleh para sarjana yang terlibat di berbagai program desa yang diciptakan penguasa. Politisi memang aya-aya wae, ana-ana bae.
Jakarta, 24 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H