Tender, Kontrak, dan Bagi Hasil
Suatu Kontraktor Migas bisa menggarap suatu wilayah kerja (WK) Migas, melalui mekanisme lelang, dengan sistem tender. SKK Migas adalah institusi yang menjadi pelaksana lelang tersebut. Ada juga yang dengan sistem penawaran langsung. Contohnya, sebagaimana dilansir bisnis.com pada Rabu (21/01/2015) lalu. I Gusti Nyoman Wiratmadja, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, ada empat WK Migas yang akan ditawarkan melalui penawaran langsung dan empat WK lainnya akan ditawarkan melalui lelang reguler.
Kontraktor Migas yang memenangkan penawaran langsung dan lelang tersebut, akan membuat kontrak kerja dengan SKK Migas. Salah satu butir dalam kontrak kerja tersebut adalah skema bagi hasil. Dalam industri hulu Migas, skema bagi hasil itu dikenal sebagai Production Sharing Contract (PSC). Sistem bagi hasil ini pertama kali diperkenalkan Ibnu Sutowo pada 1956, namun PSC baru benar-benar diterapkan pada 1966. Ibnu Sutowo adalah perintis industri minyak di Indonesia dan Direktur Utama Pertamina periode 1972-1976.
Skema Bagi Hasil Migas yang diterapkan saat ini untuk minyak bumi: Negara 85%, Kontraktor 15%. Untuk gas,Negara 65% dan Kontraktor 35%. Pembagian hasil tersebut dilakukan setelah dikurangi biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor, cost recovery. Artinya, hasil Migas yang diperoleh, kemudian dikurangi dengan biaya kontraktor, selanjutnya dibagi dengan mekanisme di atas. Yang dibagi adalah hasil bersih.
Dasar bagi hasil tersebut adalah karena investasi triliunan rupiah, 100% ditanggung penuh oleh Kontraktor. Negara sama sekali tidak menanggung kerugian, bila kontraktor tidak menemukan cadangan Migas di perut bumi, meski kontraktor sudah mengeksplorasi bertahun-tahun dan sudah menghabiskan dana triliunan rupiah. Kerugian itu 100% penuh menjadi tanggungan Kontraktor.
[caption id="attachment_354437" align="aligncenter" width="609" caption="Kontrak Bagi Hasil Migas Perlu Ditinjau Ulang. Ini dilansir kompas.com, Sabtu, 6 Desember 2008, 20:52 WIB, dari Seminar Analisis Kontrak Bagi Hasil Industri Migas di Indonesia dan Alternatifnya, Sabtu (6/12/2008) di Kampus Institut Teknologi Bandung. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Terkait skema bagi hasil tersebut, Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) 2015 akan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dan memberikan peran kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya migas. Foto: kompas.com"]
Bagi Hasil Didebat, Juga Digugat
Skema bagi hasil Migas yang diterapkan SKK Migas tersebut, kerap didebat, juga digugat sejumlah kalangan. Terutama, karena bagi hasil dilakukan setelah dikurangi biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor. Padahal, kontraktor sudah mengeluarkan biaya triliunan rupiah. Bila kontraktor tidak menemukan cadangan Migas di perut bumi, meski sudah menghabiskan dana triliunan rupiah, toh Negara sama sekali tidak menanggung kerugian tersebut.
Negara, melalui perusahaan pemerintah Pertamina, sejauh ini lebih banyak bergerak di sektor hilir Migas, yang tingkat resikonya sangat rendah dibandingkan dengan tingginya tingkat resiko di hulu Migas. Kalaupun memasuki sektor hulu Migas, Pertamina umumnya hanya melanjutkan kilang eks perusahaan asing yang sudah habis masa kontraknya. Istilahnya, hanya mengelola sumur bekas. Artinya, resiko bisnis yang dilakoni Pertamina di hulu Migas relatif sangat rendah. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/02/17/hulu-migas-produksi-849000-barel-konsumsi-19-juta-barel--702215.html
Itu pun, kalau dikalkulasi, total produksinya hanya di kisaran 20 persen dari keseluruhan produksi Migas nasional. Dalam konteks bisnis, perusahaan pemerintah Pertamina, tidak ingin mengambil resiko tinggi dengan menginvestasikan dana triliunan rupiah di sektor hulu Migas. Sebaliknya, perusahaan asing, berani menghadang resiko tinggi tersebut. Dengan demikian, perdebatan dan gugatan tentang skema bagi hasil Migas yang kini diterapkan SKK Migas, justru menjadi kontra produktif, di saat SKK Migas berusaha keras menggaet investor Migas.