[caption id="attachment_354434" align="aligncenter" width="609" caption="Skema bagi hasil di industri hulu Migas adalah bagian dari posisi tawar Indonesia untuk menggaet investor yang relevan, agar mereka berminat mengeksplorasi sejumlah wilayah kerja Migas. Untuk mendapatkan investor yang kompeten, Indonesia bersaing dengan berbagai negara lain di dunia. Perdebatan skema bagi hasil, bisa menjadi bumerang bagi upaya SKK Migas menarik investor. Foto: skk migas"][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Skema Bagi Hasil Migas, untuk minyak bumi: Negara 85%, Kontraktor 15%. Untuk gas,Negara 65% dan Kontraktor 35%. Investasi triliunan rupiah, 100% tanggung jawab Kontraktor. Kerugian triliunan rupiah, 100% ditanggung Kontraktor. Sekuat apa daya tarik Indonesia untuk menggaet investor Migas?
Dalam konteks bisnis, daya tarik sama dan sebangun dengan capaian keuntungan. Investor, dalam hal ini investor minyak dan gas, tentulah akan menggelontorkan dana mereka ke wilayah yang mendatangkan keuntungan paling besar dan paling cepat. Indonesia bukanlah negara dengan kedua paling itu. Cadangan minyak di Indonesia saat ini hanya sebesar 3,92 miliar barel. Jumlah cadangan tersebut ternyata jauh di bawah Venezuela, dengan cadangan 298,3 miliar barel dan Arab Saudi dengan cadangan 265,9 miliar barel. Posisi tawar Indonesia kepada investor, juga bukan yang terbaik di dunia.
Bagi Hasil Model Sawah
Karena itulah, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengelola skema bagi hasil, yang di satu sisi memiliki daya tarik yang kuat untuk mendatangkan investor dan di sisi lain mendatangkan pemasukan yang besar untuk negara. Pendekatan yang dilakukan SKK Migas adalah kombinasi prinsip birokrat dengan prinsip bisnis industri minyak dan gas.
Rudianto Rimbono, Kepala Humas SKK Migas, menjadikan sistem bagi hasil yang kerap digunakan para petani di sawah, sebagai contoh untuk para blogger Kompasiana yang menghadiri Kompasiana Nangkring di Pisa Kafe, Jl. Mahakam, Jakarta Selatan, pada Sabtu (14/2/2015) lalu. Maklum, bidang pertanian relatif lebih dikenal masyarakat umum, dibandingkan industri hulu Migas.
Artinya, contoh bagi hasil sawah itu digunakan Rudianto Rimbono, tentulah bukan untuk menyederhanakan persoalan, tapi semata-mata agar substansi di industri hulu Migas tersebut bisa dipahami khalayak umum. Kompasiana Nangkring hari itu memang khusus mendiskusikan industri minyak dan gas, dengan tema Membedah Industri Hulu Migas. Setidaknya, ini bisa menggugah kesadaran akan penghematan energi.http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/02/16/kenapa-harus-hemat-energi-realitas-di-hulu-migas--701932.html
Dengan analogi bagi hasil sawah, sebagaimana dicontohkan Rudianto Rimbono, maka yang berada di posisi pemilik sawah adalah Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas, sebagai institusi pemerintah. Posisi petani penggarap sawah adalah para perusahaan yang bergerak di industri minyak dan gas, yang dalam hal ini disebut Kontraktor Migas. Kontraktor ini bisa perusahaan dalam negeri, bisa pula perusahaan asing.
Hingga 12 Februari 2014 lalu, ada 54 Kontraktor Migas di Indonesia yang sudah berhasil memproduksi minyak dan gas. Salah satunya adalah ConocoPhillips, pengilang minyak dan gas terbesar kedua di Amerika Serikat, yang telah beroperasi lebih dari 40 tahun di Indonesia. Joang Laksanto, Vice President Development & Relations ConocoPhillips, juga hadir di Kompasiana Nangkring hari itu. Saat ini, ConocoPhilips Indonesia Ltd merupakan Kontraktor Migas nomor 6 terbesar di Indonesia, dengan produksi 30,641 barel per hari (bph).
[caption id="attachment_354435" align="aligncenter" width="609" caption="Skema bagi hasil di hulu Migas dikenal sebagai Production Sharing Contract (PSC). Sistem bagi hasil ini pertama kali diperkenalkan Ibnu Sutowo pada tahun 1956, namun PSC baru benar-benar diterapkan pada tahun 1966. Ibnu Sutowo adalah perintis industri minyak di Indonesia dan Direktur Utama Pertamina periode 1972-1976. Foto: skk migas "]
Tender, Kontrak, dan Bagi Hasil
Suatu Kontraktor Migas bisa menggarap suatu wilayah kerja (WK) Migas, melalui mekanisme lelang, dengan sistem tender. SKK Migas adalah institusi yang menjadi pelaksana lelang tersebut. Ada juga yang dengan sistem penawaran langsung. Contohnya, sebagaimana dilansir bisnis.com pada Rabu (21/01/2015) lalu. I Gusti Nyoman Wiratmadja, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, ada empat WK Migas yang akan ditawarkan melalui penawaran langsung dan empat WK lainnya akan ditawarkan melalui lelang reguler.
Kontraktor Migas yang memenangkan penawaran langsung dan lelang tersebut, akan membuat kontrak kerja dengan SKK Migas. Salah satu butir dalam kontrak kerja tersebut adalah skema bagi hasil. Dalam industri hulu Migas, skema bagi hasil itu dikenal sebagai Production Sharing Contract (PSC). Sistem bagi hasil ini pertama kali diperkenalkan Ibnu Sutowo pada 1956, namun PSC baru benar-benar diterapkan pada 1966. Ibnu Sutowo adalah perintis industri minyak di Indonesia dan Direktur Utama Pertamina periode 1972-1976.
Skema Bagi Hasil Migas yang diterapkan saat ini untuk minyak bumi: Negara 85%, Kontraktor 15%. Untuk gas,Negara 65% dan Kontraktor 35%. Pembagian hasil tersebut dilakukan setelah dikurangi biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor, cost recovery. Artinya, hasil Migas yang diperoleh, kemudian dikurangi dengan biaya kontraktor, selanjutnya dibagi dengan mekanisme di atas. Yang dibagi adalah hasil bersih.
Dasar bagi hasil tersebut adalah karena investasi triliunan rupiah, 100% ditanggung penuh oleh Kontraktor. Negara sama sekali tidak menanggung kerugian, bila kontraktor tidak menemukan cadangan Migas di perut bumi, meski kontraktor sudah mengeksplorasi bertahun-tahun dan sudah menghabiskan dana triliunan rupiah. Kerugian itu 100% penuh menjadi tanggungan Kontraktor.
[caption id="attachment_354437" align="aligncenter" width="609" caption="Kontrak Bagi Hasil Migas Perlu Ditinjau Ulang. Ini dilansir kompas.com, Sabtu, 6 Desember 2008, 20:52 WIB, dari Seminar Analisis Kontrak Bagi Hasil Industri Migas di Indonesia dan Alternatifnya, Sabtu (6/12/2008) di Kampus Institut Teknologi Bandung. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Terkait skema bagi hasil tersebut, Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) 2015 akan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dan memberikan peran kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya migas. Foto: kompas.com"]
Bagi Hasil Didebat, Juga Digugat
Skema bagi hasil Migas yang diterapkan SKK Migas tersebut, kerap didebat, juga digugat sejumlah kalangan. Terutama, karena bagi hasil dilakukan setelah dikurangi biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor. Padahal, kontraktor sudah mengeluarkan biaya triliunan rupiah. Bila kontraktor tidak menemukan cadangan Migas di perut bumi, meski sudah menghabiskan dana triliunan rupiah, toh Negara sama sekali tidak menanggung kerugian tersebut.
Negara, melalui perusahaan pemerintah Pertamina, sejauh ini lebih banyak bergerak di sektor hilir Migas, yang tingkat resikonya sangat rendah dibandingkan dengan tingginya tingkat resiko di hulu Migas. Kalaupun memasuki sektor hulu Migas, Pertamina umumnya hanya melanjutkan kilang eks perusahaan asing yang sudah habis masa kontraknya. Istilahnya, hanya mengelola sumur bekas. Artinya, resiko bisnis yang dilakoni Pertamina di hulu Migas relatif sangat rendah. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/02/17/hulu-migas-produksi-849000-barel-konsumsi-19-juta-barel--702215.html
Itu pun, kalau dikalkulasi, total produksinya hanya di kisaran 20 persen dari keseluruhan produksi Migas nasional. Dalam konteks bisnis, perusahaan pemerintah Pertamina, tidak ingin mengambil resiko tinggi dengan menginvestasikan dana triliunan rupiah di sektor hulu Migas. Sebaliknya, perusahaan asing, berani menghadang resiko tinggi tersebut. Dengan demikian, perdebatan dan gugatan tentang skema bagi hasil Migas yang kini diterapkan SKK Migas, justru menjadi kontra produktif, di saat SKK Migas berusaha keras menggaet investor Migas.
Harap dicatat, yang berburu investor Migas, bukan hanya Indonesia, tapi banyak negara di dunia berusaha menggaet investor Migas kelas kakap agar mau mengeksplorasi Migas di negara mereka. Mohammed Hamad Al Rumhy, Menteri Migas Oman, misalnya, bahkan menyediakan skema bagi hasil Migas, 60% untuk pemerintah Oman dan 40% persen untuk kontraktor. Oman merupakan negara dengan cadangan minyak bumi terbesar di Timur Tengah, sebesar 5,5 miliar barel. Bandingkan dengan cadangan minyak di Indonesia saat ini yang hanya sebesar 3,92 miliar barel. Bandingkan pula skema bagi hasil yang mereka tawarkan.
Jakarta, 07-03-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H